Musim ini adalah nasib buruk bagi kami. Di luar, angin begitu kencang. Dedaunan berbaring di sepanjang jalan, toko-toko tutup lebih awal, dan pejalan kaki terburu-buru pulang.
Sekarang masih pukul tiga siang, waktu yang tepat untuk mengurung diri lebih lama di kantor atau secepat mungkin kembali tidur karena hujan akan tiba. Di media sosial pun banyak berseliweran berita-berita tentang bencana yang akan terjadi mulai dari tsunami, erupsi, gempa bumi, hujan badai, dan banjir bandang. Semua masih prediksi atau hanya ilusi, tentu masih ada waktu untuk mencegahnya.
Satu-satunya bencana yang bisa dicegah adalah banjir. Belakangan warga kota mulai sadar untuk bersikap bersih dan tanggap sampah. Mereka mulai kewalahan untuk mengurus banjir. Saluran-saluran air sudah dibersihkan dan diperbarui. Dua hari sekali petugas kebersihan sudah mengambil gumpalan sampah yang mengendap di kali. Anehnya, kali itu tepat ada di depan kantor pejabat kota. Setiap pagi udara sejuk menggiring bau amis kali itu ke masing-masing hidung pejalan kaki dan pekerja kantor.
Mengeluh karena bau amis, itu terasa sia-sia saja. Pejalan kaki, pekerja kantor, dan pengendara yang melintasi jalan utama itu sudah malas. Ketabahan mereka cukup teruji karena situasi ini dihadapi hari demi hari. Setidaknya pemerintah sudah berupaya untuk mempekerjakan petugas kebersihan.
Masalah bau tak sedap dan jalanan macet akibat truk sampah pagi hari masih bisa diampuni asalkan warga tidak terkena dampak dari banjir itu. Aksi saling menyalahkan adalah warisan yang tidak ada habisnya. Bagi pejabat itu, selama warga belum punya sikap, maka bau ini akan makin parah. Sedangkan warga acuh karena tidak ada solusi yang efektif dari pejabat.
Nampaknya pejabat belum cukup puas dengan riuh tepuk tangan dan sanjungan dari warga. Bagi mereka, jasa dan pengorbanannya sudah maksimal. Terlebih saat mereka berusaha mencegah erupsi gunung api. Bukan hal yang mengejutkan lagi. Kehebatan pejabat itu sudah tersiar ke pelosok negeri. Erupsi yang semakin besar mampu diredam.
Berbagai cara dilakukan mulai dari membuat ritual besar-besaran, memohon pada dewa agar membatalkan rencananya, memainkan level darurat bencana, sampai mengontrol berita heboh dari para jurnalis. Retorika-retorika palsu yang disebar semata agar acara akbar berstandar internasional tetap digelar. Nyatanya hanya soal melindungi ladang devisa yang terguncang.
Kami juga berkeyakinan bahwa mereka pun mampu mencegah tsunami. Rencana demi rencana diluncurkan. Mereka mencoba melindungi kota ini dengan membuat gerbang. Alih-alih membuat gerbang sebagai menara perlindungan, justru daerah baru dibangun.
Pasir dari negara lain datang dan menimbun sedikit demi sedikit terumbu karang. Tentu ada kematian masal di laut. Hewan laut itu mati seketika. Mungkin hanya beberapa orang yang berduka, selebihnya masih tetap fokus pada urusan masing-masing yang tentu lebih penting. Semisal bekerja lebih giat agar disayang atasan, atau mempercantik diri agar mampu menjadi artis media sosial.
Sikap tidak peduli ini adalah bentuk ketabahan. Tentu ketabahan ini sangat amis seperti bau sampah di depan kantor pejabat. Anak-anak makin tahu cara mengasingkan diri dari polusi ini. Mereka memilih mengurung diri di kamar sambil menyantap mie instan dan menonton drama korea. Keasikan yang sangat intim. Sudah tidak ada waktu lagi mengeluh. Waktunya kini hanya diam, santai, dan curhat di media sosial.
“Tulisanmu sangat pesimis. Tidakkah lebih pantas kamu membuat sesuatu yang memiliki pengaruh penting?” kata @bagusgenjing mengomentari unggahan perempuan itu.
“Sudah seharusnya kita fokus bekerja. Lebih baik selamatkan dirimu sebelum tulisan ini dilaporkan!” kata pemilik akun @ajegjegeg18 dengan emoticon yang tidak bisa ditranskripkan.
“Santai saja! Masih ada hukum karma. Roda berputar kok!” sahut @panjoul91 dengan melampirkan link tentang hukum karma menurut ajaran Budha.
Perempuan yang mengunggah tulisan tersebut merasa keributan ini berlebihan. Baginya tak ada salahnya membuat tulisan tentang bau selokan di depan kantor walikota. Mungkin saat itu yang dia pikirkan hanya bau yang tak kunjung hilang karena banyak hal yang sudah busuk tersimpan.
Bencana awal tahun, bau amis dan busuk di kantor pejabat. Truk sampah yang mengganggu dan hal-hal yang tak bisa disampaikan.
Tulisan yang sederhana. Berkata hal remeh yang tidak ada pengaruhnya dan tidak ada bentuk provokasi. Entah kenapa sangat ribut mempergunjingkan hal remeh ini. Cukuplah angin di luar saja yang kencang. Biarkan dedaunan saja yang berserakkan, tidak perlulah kita membuat sampah lagi. Keracunan sampah di media sosial lebih berbahaya daripada mencium bau amis selokan.
Keesokan harinya, prestasi baru bagi pejabat kota. Kini, mereka pun mampu mencegah polusi emosi di media sosial. Beberapa akun yang dicurigai palsu sudah hilang. Beberapa tulisan pesimis telah sirna. Dan beberapa puisi anarkis tidak muncul. Di mesin pencarian tidak ditemukan lagi kata-kata sampah dan hal-hal yang mengundang polusi.
Tidak hanya itu, beberapa tayangan anak-anak yang bersifat kekerasan dan tak patuh aturan segera dilarang. Foto-foto artis internasional diatur sedemikian rupa agar tidak menimbulkan demonstrasi. Konser artis luar negeri yang mengundang aksi anarkis secepat mungkin ditutup. Terlebih buku-buku sejarah yang dipandang menganut ajaran terlarang, menentang idelogi, dan memicu keributan disita sampai tuntas.
Tidak ada bencana yang tidak bisa dicegah oleh mereka. Kalau begitu, sudah seharusnya daerah ini lebih baik.
Selasa akhir bulan, perempuan itu menulis lagi. Kini dengan membagikan tautan tentang bebasnya pembunuh nomor satu dari jeruji penjara. Orang-orang diam. Jemari tidak mampu lagi mengetik beberapa kata. Lelah sudah mengumpat.
Orang-orang bermimpi. Bermalam-malam mimpi yang sama. Ingatan itu mendatangi mereka, di saat dentuman terdengar, ambulan sibuk, rumah sakit bergelimpangan mayat, dan pemadam kebakaran akhirnya bekerja. Saat monumen dibentuk, saat polisi mengincar pelaku, dan saat toko-toko bangkrut. Ekonomi yang lesu itu adalah musim terburuk bagi warga. Kerja yang nyata bertahun-tahun terbakar dalam ledakan semalam.
Malam yang sial, musim yang malang bagi warga. Sedangkan kini pelaku tersenyum girang hendak menghirup polusi ibu kota kembali. Kebebasannya sungguh mulia. Kemanusiaan yang sangat filosofis. Ini juga bukti yang cukup bahwa pejabat mampu mencegah bencana politik.
“Tidak bisa dipercaya! Keputusan ini pasti ada tujuannya!” komentar akun@novayanax dengan emoticon bulat merah bertanduk.
“Ini permainan politik. Ini sebuah seni. Lihat bagaimana nanti,” tulis akun @oontyoopa tanpa emoticon.
“Percayalah ini hanya berita yang tidak benar. Berita ingin menjatuhkan pejabat,” sahut akun @damaipeaace2 dengan tautan bandingan Prestasi Kabinet 4 Tahun Terakhir.
“Ingatkah kalian kata Pakde?” tanya akun @golongankita17 sambil mengunggah meme bertuliskan enakan jaman ku toh?.
Kami hanya butuh ketabahan. Menghadapi dunia maya, melewati hidup di dunia kerja, juga menghalau bau amis di kantor pejabat. Kami menyalakan dupa, memohon untuk kali ini, semusim saja agar tidak ada bencana. Mungkinkah cahaya itu kembali?
Angin di luar semakin lebat, hujan perlahan turun. Sebelum siang, cahaya telah terbit menyibak mendung. Menyibak gelap. Tak ingin ribut. Cahaya keluar dengan santun dan lembut.
Doa kami dikabulkan. Walau semusim saja, kami cukup merasakannya. Kami pikir cahaya bukan bencana, dan tak ada yang bisa mencegahnya bahkan pejabat sekalipun.