CENING Liadi adalah penari yang ‘pendiam’. Dia tak pernah berbicara kalau tidak ditanya. Dia tak pernah berbicara jika tidak diminta. Dia pelit bercerita kecuali merasa harus dan perlu. Saya adalah satu dari mungkin sangat sedikit orang yang pernah mendengarnya bercerita, itupun karena saya tanya-tanya dan wawancara. Itupun karena saya tahu dirinya lebih banyak dari orang lain. Kata orang, Bu Cening suka membantu orang. Penasaran, membantu dalam hal apa?
Ternyata diam diam Bu Cening punya banyak hal yang mungkin tidak akan dia ceritakan kepada siapapun kecuali ditanya. Bu Cening punya lembaga sosial khusus untuk perempuan, yang mengajarkan perempuan mandiri, berkarya dan bermartabat sebagai perempuan. Nama lembaganya Rumah Yadnya Tri Laksmi.
Di lembaga ini ia mengajar menari, megambel, mejejahitan, menyanyi, dan konsultasi kehidupan perempuan, khususnya perempuan Bali, secara gratis. Ia akan tekun mendengar, apapun persoalan perempuan. Baginya perempuan adalah kekuatan. Perempuan adalah poros hidup semesta. Perempuan harus kuat dan harus dibantu. Menjadi versi terbaik diri mereka.
Selain memiliki lembaga Rumah Yadnya Tri Laksmi, bersama suami beliau membangun koperasi yang dijalankan untuk membantu perekonomian perempuan dan keluarga Bali. Dengan memulai usaha dari nol, koperasinya tetap stabil membantu yang memerlukan. Namun jangan harap beliau bercerita banyak tentang semua pencapaian. Beliau memilih lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Keterlibatannya di project 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah diawali dengan pertemuan saya dengannya lima tahun yang lalu ketika menggarap sebuah festival di Buleleng, kami berinteraksi karena bekerja untuk event kebudayaan. Lalu lima tahun berselang tanpa kabar, saya kembali dipertemukan dengan Bu Cening untuk sebuah pekerjaan kebudayaan pula.
Dari sanalah cerita mengalir, tentang pertemuan awal dan pertemuan kini, lalu yang terjadi selama rentang waktu kami tak bertemu. Semua bagaikan sudah diatur oleh semesta, saat itu saya sedang mencari sosok ibu yang akan saya angkat profilnya menjadi salah satu aktor 11 Ibu, dan Bu Cening sedikit terkejut. Dia merasa belum pantas, belum siap, belum percaya diri, dan belum-belum yang lainnya. Saya rasa hal itu bukanlah bentuk penolakan, namun kerendahhatian.
Lama pula saya ‘merayu’nya agar mau bercerita. Akhirnya beliau bercerita. Soal hidupnya, soal anaknya, soal kecemasannya, soal doa-doanya, soal misi sosial yang dikembangkannya. Saya takjub. Diam-diam Bu Cening menyimpan banyak cerita. Bahkan yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya, beliau pernah hidup berjuang sebagai pegawai honor dengan gaji kecil, mengontrak sebuah kamar sempit dan menjalankan hidup dari honor les menari di berbagai tempat. Hujan lebat, terik matahari tidak menghalangi upayanya terus mengajar menari. Bahkan sedang hamil besarpun Bu Cening tetap menari. Hanya untuk bertahan hidup, semua ujian sudah dilaluinya.
Setelah perekonomian semakin stabil, cobaan datang. Teror demi teror dialamatkan padanya. Mulai dari teror sms dari orang tak dikenal yang ingin mengganggu rumah tangganya hingga teror ilmu hitam yang hampir membuatnya kehilangan anak tercinta.
Namun dia tak membalas. Dia meyakini hidup itu indah jika dihadapi dan dijalani. Alih-alih balas dendam, dia mendirikan lembaga untuk berbagi, baik di bidang ekonomi melalui koperasi, maupun di bidang budaya melalui lembaga seni dan sosial untuk perempuan Bali. Dia tetap menari. Baginya menari adalah upaya melatih keseimbangan, kewaspadaan, kejujuran dan keihlasan mengabdi pada sesama dan semesta.
Dia adalah penari kehidupan. Namanya adalah Cening Liadi. (T)