12 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Generasi Zaman Now Harus Sadar Politik, Bukan Mabuk Politik

JaswantobyJaswanto
November 23, 2018
inEsai
Generasi Zaman Now Harus Sadar Politik, Bukan Mabuk Politik
69
SHARES

Buta terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik.

  • Bertolt Brecht

 

SEMENJAK rezim Soeharto menyerang, Daoed Joesoef sebagai Menteri Pendidikan kala itu, membuat kebijakan yang dikenal dengan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Kebijakan ini dianggap kontroversi karena dituding sebagai upaya Pemerintah Soeharto dalam “mematikan” daya kritis mahasiswa terhadap pemerintah. Saya curiga, efek dari kebijakan itu, menjadi salah satu sebab hilangnya daya kritis pemuda dan mahasiswa sampai hari ini (dan sekarang saya juga curiga dengan Permenristekdikti No. 55 Tahun 2018). Ya walaupun, masih banyak sebab yang lain juga, si. Curiga itu ‘kan boleh, menuduh yang nggak boleh. Bukan begitu, My Love?

Dengan sangat taktis, pemuda di zaman Orde Baru (Pemerintaha Soeharto) dikonstruksi ulang. Di era ini pula kita mengenal istilah “remaja”, bukan. Dalam Solo in the New Order, seorang antropolog bernama James Siegel mengatakan bahwa “remaja” punya selera dan aspirasi tertentu yang dibentuk beda dengan “pemuda”. Kita semua pasti tahu dan bisa ‘kan membedakan istilah “pemuda” dan “remaja”?

Mendengar kata “pemuda” kita selalu ingat dengan kata semangat, idealisme, demonstrasi, perubahan, tekad baja, Soe Hok Gie… eh, dan sebagainya. Sementara kesan yang keluar dari kata “remaja” adalah: pacaran, cinta monyet, tawuran, seks bebas, narkoba, rental playstation, dan Si Boy Anak Jalanan. Miris, bukan? Kok malah nglantur ke mana-mana, ya. Oke fokus!

Namun serius, dirasakan atau tidak, di kalangan pemuda zaman now ini, pemuda maupun mahasiswa memang sedang adem-adem saja. Kalau dalam bahasa Jawa, mlempem. Ada kejadian ini-itu, tak peduli. Dianggapnya angin lalu saja. Nggak mau ikut-ikutan, begitu kata mereka. Padahal, sejatinya kaum muda juga harus ikut serta dalam memikirkan kemajuan bangsa ini. Coba kita tengok ke belakang (nggak usah memutar kepala juga). Sejarah mencatat bahwa anak muda juga sanggup membuat perubahan. Tapi sekarang, mereka cenderung apatis terhadap permasalahan bangsa, tak terkecuali dalam masalah politik, misalnya.

Banyak kawan saya yang dengan lantang berbicara bahwa tidak mau terjun di dunia politik dan memilih menjadi wirausaha saja. Mengembangkan usaha dan bisnis sejak dini jauh lebih kongret daripada ikut-ikutan membahas politik, atau menjadi politisi, karena politik itu sangat kotor dan sering menggunakan cara-cara yang tidak baik. Pernyataan itu tidak salah. Mengingat, secara kasat mata, panggung politik di negara ini memang terkesan sangat menjijikan. Apalagi kalau sudah dibumbui oleh media, yang busuk jadi semakin tambah busuk.

Bagi generasi zaman now ini, bayangan kata “politik” hampir sama dengan bayangan pada kata “tinja”. Nista dan tercela. Politikus dipandang sebagai profesi yang paling antagonis di semesta ini. Walaupun memang kebanyakan begitu. Profesi yang penuh tipu muslihat dan harapan palsu. Berbeda dengan panggung enterpreneur (bener nggak si tulisannya?) atau panggung pencarian bakat jauh lebih menarik bagi pemuda zaman now ini daripada ajang politik—dalam hal ini Anang Hermansyah, dkk, lebih menarik daripada Fadli Zon, dkk, atau Pak Amin Rais sekali pun—dan lebih menarik lagi jadi selebgram dan yutubers—yang sedikit-sedikit bilang gaes-gaes.

Generasi zaman now memang diharapkan peduli dengan perkembangan politik di tanah air. Terlebih, generasi era ‘now’ ini mendominasi jumlah pemilih pada Pemilu 2019 yang akan datang. Masalahnya, seperti kata Michael Victor Sianipar, mantan Staff Ahok sekaligus penulis buku Ahok dan Hal-Hal yang Belum Terungkap, di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Jumat 6 April 2018 bahwa, “Mereka itu sadar politik. Tapi belum paham apa tujuan politik. Jadi mereka tahu ada Pilkada dan Pilpres.”

Michael menyebut, generasi milenial saat ini apatis dengan perkembangan politik di Indonesia. Apalagi, media sekarang lebih doyan memberitakan gaduhnya ketimbang esensi dan subtansi politik itu sendiri. Bagi Michael, generasi milenial ini masih belum terlalu minat pada politik. Karena politik yang mereka tahu yang ribut-ribut saja. Yang cebong yang kampret dan yang cebong berkepala kampret dengan segala kebenarannya.

***

Memasuki akhir tahun ini, orang-orang menyebut bahwa kita sudah masuk tahun-tahun politik. Pamflet disebar. Iklan di koran jor-joran. Baliho didirikan. Membual pun rutin dilakukan. Jargon-jorgon ditampilkan, dll. Namun sayang, pemudanya tidak sadar politik, masih asyik main ML-an, candu obat batuk, rebusan pembalut, lem, dan obat mabuk perjalanan. Tidak sadar bahwa sudah ada rencana politik untuk lima tahun ke depan. Tidak sadar umur mereka lebih mendominasi pada saat pemilihan.

Sadar politik yang saya maksud adalah hal-hal yang berkaitan dengan wawasan, ketajaman analisa, kritis, kontrol sosial, dan pengendalian emosi. Semua itu bertujuan untuk menuntun kita secara rasional untuk menentukan keberpihakan—atau setidaknya bersikap—dalam konflik kekuasaan dan bijak untuk mengartikulasikannya.

Sebelum lebih jauh, mari sama-sama sepakat bahwa setidaknya ada tiga jenis golongan anak muda dalam relasinya dengan kesadaran politik. Pertama, mereka yang benar-benar sadar politik. Kedua, mereka yang apolitis. Dan ketiga, mereka yang tidak tahu politik tapi sok tahu tentang politik (orang-orang Dunning-Kruger Effect).

Dari tiga golongan anak muda itu, jelas yang pertama yang sama-sama kita harapkan. Sementara golongan ketiga ini yang membahayakan. Bagaimana yang kedua? Saya yakin, tidak ada dalam kehidupan bermasyarakat ini manusia bisa lepas dari politik. Wong Aristoteles pernah bilang kok, politik dalam esensinya adalah upaya untuk mewujudkan kebaikan bersama. Kebijakan politik berdampak dan melibatkan seluruh aspek kehidupan kita. Jadi, sikap apolitis itu mungkin terjadi, tapi kecil kemungkinannya.

Saya pikir, di samping masalah banyaknya pemuda yang apatis terhadap politik, golongan yang sok tahu politik ini juga sangat berbahaya. Apalagi di lalu lintas media sosial yang tanpa tedeng aling-aling ini. Hal itu akan diperuncing dengan fakta bahwa generasi zaman now ini memang punya watak yang lebih vokal dan doyan berekspresi di media sosial. Mulai mengumbar isu yang sangat personal, sampai yang merugikan banyak orang.

Dalam dunia politik modern, tak ada media yang punya daya penetrasi dan dampak yang luar biasa melebihi media sosial. Efektivitas dan efesiensinya semakin di depan (kalah kalau cuma Yamaha aja). Berbeda di Zaman Orde Baru, misalnya, cukup menungganggi TVRI dan RRI untuk memenangkan segalanya. Kini, media sosial adalah medan tempur yang haqiqi. Dan anak muda adalah yang paling banyak berselancar di dalamnya.

Di zaman ingar-bingar media sosial ini, anak muda sangat rentan dijadikan pion atau boneka perebutan kekuasaan. Enteng dikontrol dan digiring untuk membenci atau mendukung sesuatu. Menjadi kerbau-kerbau yang dicocok hidungnya. Atau seperti Sarimin yang mau disuruh pergi ke pasar dengan tabuhan musik seadanya. Mahasiswa dikontrol sedemikian rupa oleh dosen dan birokrat kampus. Kritis sedikit siap-siap nilai jeblok. Berbeda pemikiran siap-siap banyak musuh, dijauhi dan diasingkan (setidaknya saya pernah merasakan demikian).

Pemuda sekarang—mungkin juga termasuk saya—kehilangan kepekaan skeptis, kritis, dan rasional yang ditutup oleh kepercayaan buta. Bahkan tak jarang sifat fanatisme ditanam dalam-dalam sehingga kita gencar berbicara, bertindak, hanya untuk menegaskan identitas. Gagah-gagahan. Egoisme. Akibatnya, kita saling menjatuhkan satu sama lain. Gampang diadu domba, dan tentu saja juga gapang dipecah belah.

Generasi muda adalah aktor masa depan. Harus tampil di depan. Harus menjadi pelopor bukan pengekor. Tapi kenyatan yang tampak sekarang adalah pemuda yang dikontrol oleh sutradara, dalang. Kita hanya sebagai wayang saja. Seperti kata Soe Hok Gie, “Pemuda kita itu umumnya hanya mempunyai kecakapan untuk menjadi serdadu, yaitu berbaris menerima perintah menyerang, menyerbu, dan berjibaku dan tidak pernah diajar memimpin.” Kenapa begitu? Sebab kita tidak sadar atau bahkan tidak mau sadar dengan politik kebijakan.

Pendidikan politik, berorganisasi dan khazanah pengetahuan sejarah sangat penting untuk memahami relasi-relasi sosial yang ada di masyarakat. Tidak perlu juga hafal nama-nama Menteri atau DPR yang korupsi (buang-buang waktu), yang utama adalah dapat membaca situasi-situasi skenario politik, situasi rasisme, fasis, memahami akar masalah sosial, dan siapa yang diuntungkan serta dirugikan dalam setiap kebijakan politik.

Mulai membuka diri untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan pembelajaran politik. Mempelajari ilmu politik sebagai bekal atau modal untuk menyikapi masalah-masalah politik di negara ini. Agar tidak terpengaruh oleh skenario-skenario pengusa: isu komunisme, politisasi agama, bangkitnya Orde Baru, dan skenario yang ujung-ujung kembali pada perkara kekuasaan dan ekonomi, urusan perut.

Kalau kita mau melihat data, menurut Badan Pusat Statistik, demografi Indonesia akan melonjak pada rentang waktu tahun 2020-2030 dengan angka sekitar 305,6 juta jiwa dengan persentase angkatan kerja produktif dari generasi milenial mencapai 66,6 persen. Praktis, keberpihakan suara kaum milenial akan diperebutkan. Di sini kita tinggal memilih, menjadi pemain atau penonton. Menjadi dalang, atau wayang yang pasrah dimainkan.

Sudah saatnya kita menjadi subjek yang bergerak, tidak menjadi objek yang statis, diam. Menjadi golongan generasi yang sadar untuk melakukan perubahan, melakukan kontrol sosial, pengawasan, dan koreksi-koreksi terhadap pemerintahan yang berkaitan dengan segala kebijakan. Sudah saatnya membuka telinga lebar-lebar untuk mendengar jeritan kaum papa. Membuka mata lebar-lebar untuk melihat ironi negeri. Membuka hati nurani untuk bersimpati dan tergerak membela yang lemah. Kita harus punya sikap agar tidak digeret ke sana dan ke mari.

Tidak harus menunggu menjadi orang beranak tiga, untuk sadar politik. Dan mulai sadar, bahwa politik sejatinya tidak selalu berkonotasi tentang birokrasi, pencitraan, suap-menyuap. Pun sadar politik juga tidak harus menjadi politisi. Kita bisa menjadi seorang petani sambil merangkap menjadi pengamat politik. Menjadi penjual online sambil menjadi pengamat sosial media nirlaba. Menjadi tukang becak yang pantang dengan serangan fajar. Menjadi mahasiswa yang berani mengatakan: Mahasiswa takut dengan dosen. Dosen takut dengan rektor. Rektor takut dengan menteri. Menteri takut dengan presiden. Sedangkan presiden takut dengan mahasiswa di depan birokrasi kampus yang korup.

Sudah saatnya generasi zaman now sadar politik, tidak mabuk keracunan politik. (T)

Tags: Generasi Zaman NowpemudaPolitikRemajawacana politik
Previous Post

Impresi Payakumbuh

Next Post

Teater Koma, Brodway-ne Jakarta, Nok!

Jaswanto

Jaswanto

Editor/Wartawan tatkala.co

Next Post
Teater Koma, Brodway-ne Jakarta, Nok!

Teater Koma, Brodway-ne Jakarta, Nok!

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Krisis Literasi di Buleleng: Mengapa Ratusan Siswa SMP Tak Bisa Membaca?

by Putu Gangga Pradipta
May 11, 2025
0
Masa Depan Pendidikan di Era AI: ChatGPT dan Perplexity, Alat Bantu atau Tantangan Baru?

PADA April 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh laporan yang menyebutkan bahwa ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng,...

Read more

Animal Farm dalam Interpretasi Pemalsuan Kepercayaan

by Karisma Nur Fitria
May 11, 2025
0
Animal Farm dalam Interpretasi Pemalsuan Kepercayaan

PEMALSUAN kepercayaan sekurangnya tidak asing di telinga pembaca. Tindakan yang dengan sengaja menciptakan atau menyebarkan informasi tidak valid kepada khalayak....

Read more

Enggan Jadi Wartawan

by Edi Santoso
May 11, 2025
0
Refleksi Hari Pers Nasional Ke-79: Tak Semata Soal Teknologi

MENJADI wartawan itu salah satu impian mahasiswa Ilmu Komunikasi. Tapi itu dulu, sebelum era internet. Sebelum media konvensional makin tak...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co