Ibu Sabar
Bulan November, tak terasa pentas 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah sebuah karya teater dokumenter saya yang merupakan Hibah Ford Foundation melalui Cipta Media Ekspresi sudah memasuki pentas ke delapan. Saya memilih momen Hari Pahlawan sebagai tanggal pementasan sebab memang pentas ini diniatkan sebagai sebuah peringatan bahwa 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah adalah sebuah dedikasi bagi dunia Ibu yang adalah pahlawan sejati di dunia nyata.
Pentas kedelapan ini memang istimewa, seistimewa pentas lainnya. Namun plusnya adalah karena bertepatan dengan hari pahlawan. Aktor yang bermain di pentas ke delapan ini adalah Sumarni Astuti Dirgha, seorang ibu, penulis, dan guru. Dari Ibu Sumarni Astuti, saya belajar tentang dunia seni, tentang puisi. Ibu Sumarni adalah salah satu orang yang menyebabkan saya menjadi penulis, sutradara, pemikir yang kritis dan manusia penyabar.
Semua berawal jauh di sebuah masa di tahun 1990an, ketika saya SD, beliau adalah wali kelas saya di kelas 1 dan kelas 4. Bayangkan, dari belajar mengeja kata, menyambung kata, menyusun kalimat, menyusun ide, dan belajar menulis beliau ajarkan sendiri. Hingga kini, saya masih hafal betul bentuk tulisan tangan beliau di tugas-tugas masa SD saya, juga di raport saya. Kala itu semua angka dan keterangan di raport ditulis dengan tangan. Sebuah privasi yang istimewa.
Karena tulisan tangan seperti sebentuk kasih sayang langsung sang guru kepada siswanya. Saya ingat, tulisan Ibu bentuk-bentuk hurufnya sempurna, dengan bentuk a yang bulat dan bentuk i yang ramping, juga s yang sederhana serta t yang efektif. Saya mengingat nama beliau dan bentuk tulisan yang tertera di raport saya.
Tentu masih banyak kenangan lain. Ibu mengajari saya membaca puisi, sejak kelas empat SD, hingga belasan tahun setelahnya, bahkan hingga saya menjadi dosen dan menjadi ibu.
Saya belajar menjadi diri saya sendiri karena Ibu meyakinkan saya, tak ada yang bisa menjadi diri saya, kecuali diri saya sendiri. Saya tidak akan pernah bisa meniru orang lain, karena saya bukanlah orang lain, dan orang lain bukanlah saya. Saya kerap merasa Ibu tidak hanya mengajarkan membaca puisi, namun juga mengamalkan puisi dalam hidup sehari-hari. Ibu memiliki 6 anak, satu meninggal dalam usia 6 bulan, yang membuat ibu sempat down, namun bangkit lagi. Anak-anak ibu bertumbuh bersama saya dalam semua proses, sedih maupun senang.
Saya tahu Ibu terlalu banyak menyimpan cerita, yang kadang saya tahu namun ibu tidak menceritakannya. Saya tahu Ibu sedih, namun ibu selalu tampak baik-baik saja. Ke sekolah selalu anggun, dengan rambut tergelung rapi, tas yang mengkilat, sepatu yang bersih dan sesuai dengan pakaiannya. Ibu tidak pernah menampakkan diri susah, meski saya tahu Ibu susah. Kehilangan demi kehilangan bertubi-tubi Ibu rasakan. Setelah kehilangan anak, Ibu juga kehilangan suami, mertua dan ipar-ipar yang hidup bersamanya. Sebuah kehilangan yang hampir beruntun, yang seolah tidak memberi jeda sedikitpun kepada Ibu untuk menarik nafas.
Kenyataannya Ibu selalu bangkit lagi. Semua dihadapi dengan tegar. Pentas Ibu yang kedelapan ini dimaknai Ibu sebagai pentas dedikasi kepada keluarganya. Sebuah pembuktian bahwa teater dan puisi tak lagi hanya sekadar kata, namun menjadi dan bermakna. Saksikan pentasnya mala mini di Puri Buleleng pukul 20.00 WITA.
Ibu Tarot
Erna Dewi adalah seorang ibu 3 anak yang menggantungkan diri sepenuhnya dari memberi pelayanan pembacaan kartu tarot. Selain berani mengambil resiko sebagai pembaca tarot yang tentu menyerap banyak energy dan waktu, Erna juga bertaruh pada semesta tentang pembacaannya. Ia tak hanya sekedar membaca namun juga memberi konsultasi, memberikan solusi dan memikirkan masa depan kliennya. Ia melayani konsultasi rumah tangga, perpecahan, perselingkuhan, KDRT, hingga hal-hal serius lainnya yang berhubungan dengan dunia bisnis, ekonomi, hingga hukum.
Ia kerap mengambil waktu lebih banyak bagi klien yang memang membutuhkan penanganan serius. Ia melakukan dengan ikhlas kadang tanpa dibayar jika memang ia merasa perlu membantu. Bukan tanpa sebuah kisah dia melakukan pelayanan ini, ia pernah mengalami tantangan hidup berkali-kali.
Sejak kecil ia sudah ditempa menjadi perempuan kuat. Ayahnya adalah pria flamboyant yang kerap gonta ganti perempuan, yang disaksikannya sendiri. Ibunya adalah perempuan kuat yang bertahan demi anak-anaknya. Dari kisah keluarga dan masa kecil yang menggugah emosi, ia tumbuh menjadi pekerja keras sepanjang hidupnya. Sejak masa sekolah hingga kuliah ia sudah menghasilkan uang sendiri dengan menjadi guru les Bahasa Inggris dan beberapa pekerjaan lain yang menunjang penghasilannya.
Pun ketika bersuami, ia menjadi istri yang tak pernah berpangku tangan, bahkan selalu menjadi tulang punggung keluarga. Tak jarang ia mendapat tantangan hebat di keluarganya yang menguji kesabarannya, namun ia tetap bertahan. Ia juga pernah jatuh sakit secara misterius, yang hanya dapat disembuhkan dengan jalan spiritual.
Hingga kemudian ia pindah ke Singaraja, memulai semua dari nol. Ia memastikan diri menjadi pengabdi di dunia tarot, sebuah dunia yang ia maknai sebagai jembatan untuk memperbaiki diri dan menebar kebaikan pada orang lain. Ia percaya, kartu tarot hanyalah perantara untuk menjadikannya manusia yang lebih baik. Menjadi pahlawan keluarga adalah sebutan yang pantas untuknya, karena ia senantiasa menjadi tumpuan hidup anak-anaknya. Perjuangannya keras dan layak dihargai.
Pentas teater di 11 Ibu adalah pentas persembahannya sekaligus debut pertamanya sebagai aktor utama di dunia teater, dimana Erna meyakini bahwa teater adalah sarana berbagi dan sarana mendengar. Dengan berteater, Erna menjadi lebih peka dan sensitive terhadap isu di sekitarnya. Ia telah pentas pada tanggal 24 Juli 2018 di rumahnya di Gang Balbo kompleks perumahan Pantai Penimbangan.
Ibu Tukang Batu
Watik adalah tukang batu dari Banyuwangi. Sejak lima tahun terakhir ia menjadi buruh di Bali. Tukang batu adalah pekerjaan yang jarang diambil perempuan karena cukup berat secara fisik. Watik memecah batu hingga pernah percikan batu ke matanya hampir membuatnya buta. Ia tak berhenti. Ia tak mau berhenti. Semua karena ia ingin menjadi ibu yang lebih baik lagi, menghidupi dan mengayomi keluarga. Ia korbankan diri jauh dari keluarga demi membanting tulang di pulau seberang. Watik adalah perempuan sederhana, pikirannya hanya kerja cukup untuk makan keluarga. Tak ada cita-cita lebih banyak kecuali kesehatan keluarga, karena semua toh akan kembali kepada Yang Kuasa.
Menjadi buruh yang tak memiliki jaminan keselamatan, sangat berbahaya baginya. Kerap ia mengalami kecelakaan di tempat kerja, namun ia tetap bertahan dengan segala resiko yang ditanggungnya sendiri. Watik menikah muda, 15 tahun, dengan segenap isu domestik yang ia tak tahu bagaimana menghadapinya. Ia menikah dua kali. Kini ia menjanda dengan tanggung jawab satu orang ibu, dua anak dan satu cucu.
Watik adalah tipikal perempuan yang keras seperti batu. Ia tidak lantas menyerah dengan segenap persoalannya. Bagi dia, hidup adalah pertaruhan sekali saja. Hidup hanya sekali ini ia isi dengan bekerja dan mengabdi untuk keluarga.
Teater bagi Watik adalah dunia yang sangat asing dan jauh darinya. Ia tak pernah membayangkan akan ditonton orang di youtube karena pentasnya. Jangankan pentas, kata pentas saja tak pernah terlintas di benaknya. Watik mungkin hanya satu dari sekian ibu lain yang juga menjadi pahlawan keluarga yang kerap diabaikan. Watik mungkin hanya sebuah contoh bahwa sekecil apapun pengorbanan seorang ibu, ia tetaplah seorang pahlawan. Watik telah pentas di Rumah Belajar Komunitas Mahima tanggal 12 Agustus 2018.
Ibu Pencari Rumah Jiwa
Hermawati, adalah seorang keturunan China yang lahir di Jawa dan besar di beberapa daerah di Jawa, lalu menikah dengan orang Bali. Ia berjuang dalam segala bentuk. Berjuang secara ekonomi, berjuang secara nyata dan juga tak nyata karena ia berjuang mencari rumah bagi jiwanya, mencari siapa leluhurnya dan sejarah reinkarnasi pertemuan karma dua keluarganya.
Lahir dalam budaya akulturasi yang beragam, Hermawati pertama memeluk agama Kristen, lalu setelah menikah dengan lelaki Bali ia memeluk Hindu meski belum paham total, lalu perjalanan hidupnya membawanya pada agama leluhurnya yaitu agama Konghucu.
Pernikahannya membawa ia rindu pada definisi rumah yang sesungguhnya. Rumah yang tidak semata fisik, namun jiwa. Dalam perjalanan mencari kawitan atau akar keturunan, ia menemukan banyak tantangan perjalanan yang berat. Namun ia tetap bertahan. Hingga ia menemukan bahwa sesungguhnya yang ia cari adalah kedamaian, seperti langit luas tak terbatas. Ia berjuang mencari kedamaian itu dengan mendamaikan keluarga yang sepertinya masih perlu perjalanan panjang.
Dalam berjuang ia juga mendirikan Krya Chanty sebuah lembaga di bidang kursus kecantikan yang mendidik perempuan menjadi mandiri dan berharga bagi dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Teater adalah ruang baginya untuk berbagi dan mendengar perempuan lain. Cita-citanya mencari rumah jiwa sebagian ditemukannya dalam proses berteater dimana 11 ibu adalah rumah ketika dia ingin bercerita bebas sebagai dirinya sendiri. Ia telah pentas di halaman belakang rumah tuanya sekaligus pemakaman keluarganya di WR Supratman, 31 Agustus 2018.
Ibu Pencipta Jubah Keinginan
Diah Mode adalah desainer yang menciptakan tak hanya baju namun jubah keinginan. Ia melayani dan mewujudkan jubah-jubah atau busana yang lahir dari keinginan manusia yang berbeda-beda. Ia melayani imajinasi dan mewujudkan imajinasi dengan teknik pola, potong, dan jahit yang berbeda. Ia berjuang menciptakan keinginan yang absurd menjadi nyata dan bisa dipakai. Ia menyakini bahwa busana tak hanya untuk menutupi tubuh, namun juga memunculkan jiwa yang memakai.
Dalam menjahit jubah keinginan, ia menyelami jiwa pelanggan sehingga memunculkan refleksi yang kuat dari baju yang dijahitnya. Ia kerap kali merasa perjuangan ini berat, mengingat ia tak mengenyam pendidikan busana secara formal. Yang ia kejar adalah belajar otodidak dan belajar mengeksekusi imajinasinya sendiri. Ia menyelami dunia kain, dunia serat, dunia warna, dunia pola, dunia selera, dan berbagai perangai manusia.
Jika ada yang menduga menjadi desainer adalah mudah, tentu sangat tidak beralasan. Desainer adalah perancang, pengeksekusi dan pengevaluasi sekaligus. Tentu ia tak akan berhenti berjuang dan belajar.
Perjuangan sebagai ibu dan istri juga tak mudah. Ia pernah gagal dalam pernikahan, mencoba lagi dan tertatih-tatih dalam pernikahan kedua. Namun anak-anaknya adalah semangat yang tak pernah membuatnya padam. Ia berjuang untuk keluarga dan anak-anaknya.
11 ibu adalah rumah bagi Diah untuk mendengar dan didengar. Teater adalah hal yang tidak terlalu asing baginya. Berhubungan dengan manusia dan panggung juga bukan hal asing. Namun menjadi aktor utama dalam pentas adalah hal baru baginya. Ia berharap dunia teater tak hanya menjadi milik sekelompok seniman yang memang bergelut di teater namun juga bagi siapa saja yang memaknai teater sebagai refleksi, dan bukan sekadar unjuk akting berpura-pura. Ia telah pentas pada tanggal 11 September 2018 di rumah Krya Chanty.
Ibu Single Parent
Menjadi janda adalah predikat yang cukup berat bagi perempuan. Janda seringkali identik dengan penggoda, pengganggu rumah tangga orang dan bermoral rendah. Seorang Desak Putu Astini membuktikan dirinya bahwa anggapan itu keliru. Ia adalah bukti bahwa menjadi single parent adalah sebuah keistimewaan bahkan kebanggaan dimana ia menjadi satu-satunya tumpuan keluarga.
Ia pernah menikah dua kali, gagal dua kali. Dan kini memilih sendiri. Hidup di tengah tuntutan ekonomi yang tinggi, Ibu Desak berjuang menjadi ibu yang tangguh. Ia menyekolahkan anak-anaknya hingga kuliah.
Ia tahu, tak ada jalan lain baginya untuk membuat taraf hidup keluarga lebih baik yaitu melalui jalur pendidikan. Ia mendidik empat anaknya menjadi tangguh dan bertanggung jawab. Mereka semua menjadi anak-anak yang berprestasi dan membanggakannya sebagai ibu.
Ibu Desak tentu juga memiliki perjuangan berat membangun rumah bagi dirinya sendiri dan anak-anaknya, membangun karirnya sendiri dan menyelesaikan persoalan sendiri. Ia pernah ditipu, pernah kecurian, pernah merasakan tak punya beras untuk dimasak. Namun di balik itu semua, ia berubah menjadi lebih kuat.
Teater adalah caranya berdamai dengan keadaan dan berbagi cerita dengan orang lain. Keteguhan dan ketegaran dalam menjalani hidup patut menjadi inspirasi bagi perempuan single parent di luar sana yang masih ragu berjuang sendiri. Ibu Desak adalah salah satu contoh dari sekian ibu single parent yang terbukti bisa bertahan dan membuat hidupnya lebih baik. Ibu Desak telah pentas pada tanggal 21 September 2018 di halaman rumahnya di kawasan Pantai Indah.
Ibu Bidan Ribuan Kelahiran
Ketut Simpen, adalah bidan berusia 64 tahun, yang sejak tahun 1977 hingga 2010 menolong kelahiran sekitar 4000 bayi. Sebagai bidan tugasnya begitu berat, menyelamatkan nyawa bayi dan ibu yang melahirkan. Ia membantu kelahiran bayi seperti berdoa bahwa setiap kelahiran adalah kelahiran dirinya sendiri. Setiap bayi yang lahir adalah pelajaran baru baginya.
Namun sayang, sebagai ibu dan sebagai perempuan, ia merasa pernah sangat kecewa. Ia adalah korban kekerasan dalam rumah tangga di pernikahan pertama, yang mengantarkannya pada luka batin yang dalam. Pernikahan pertama seperti neraka ia alami selama 10 tahun, lalu ia bercerai. Dalam kemelut itu ia tetap berjuang sebagai bidan. Pernikahan kedua ia jalani dengan beberapa tantangan pula. Tak mudah menjadi ibu tiri bagi keluarga barunya dan berbagai penyesuaian lainnya.
Meski demikian ia tetap berjalan terus menyesuaikan keadaan. Ia tetap mengabdikan diri menjadi bidan yang tulus melayani. Ia melanjutkan pendidikan, menjadi dosen, menjadi pemimpin organisasi wanita dan aktif di organisasi sosial spiritual. Ia belajar menjadi manusia yang lebih baik setiap hari, dengan menyelami makna setiap kelahiran baru sebagai pelajaran baru.
Menjadi aktor teater adalah kesempatannya berbagi. Ia memang merasa bahwa kisahnya bisa dibagi dan menjadi pelajaran bagi wanita lainnya. Ia berharap perempuan berjuang terus dan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain. Ibu Simpen telah pentas pada tanggal 30 September 2018 di rumahnya di Desa Anturan.
Ibu Tuna Wicara Tuna Rungu
Ketut Sukarmi, asisten rumah tangga yang tuna rungu dan tuna wicara. Bekerja sebagai asisten rumah tangga untuk menghidupi keluarga dengan 3 anak. Ia memiliki trauma dua kali pernikahan yang kandas. Ia menjadikan kedua pernikahannya sebagai pelajaran dan menikah lagi untuk yang ketiga.
Kini ia hidup sebagai tulang punggung dan bekerja keras menyekolahkan anak-anaknya yang semuanya normal dan cerdas. Sebagai ibu dengan keterbatasan, ia mencoba mensyukuri hidup dan selalu tekun bekerja. Banyak orang memanfaatkan jasanya. Ia terkenal rajin, cekatan dan rapi dalam bekerja. Ia juga jujur dan disiplin bekerja.
Teater adalah hal yang sangat baru bagi Sukarmi. Ia merasa tak sanggup. Ia sungguh gelisah menghafal naskah dan tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Beruntung tim 11 ibu kompak membantu. Saya sebagai sutradara membagi naskah menjadi 15 bagian dan kami membagi bagian itu menjadi potongan narasi.
Kami semua berbagi beban dengan Bu Sukarmi. Kami ingin merasakan menjadi Bu Sukarmi meski hanya lewat teater. Pendekatan ini berhasil karena Bu Sukarmi tak merasa sendiri. Ia merasa bebannya dikurangi dan merasa lebih percaya diri. Inilah hal yang sangat penting dalam teater. Bahwa seseorang tak pernah benar-benar sendiri. Ia telah pentas pada pentas ketujuh, 15 Oktober 2018.
Ibu Pelukis, Pemusik dan Penyendiri
Tini Wahyuni, adalah seorang pelukis, pemain piano dan penulis. Ia akrab dengan kegagalan dan tantangan hidup. Dua kali menikah, dua kali pula gagal. Dua kali hampir dijemput maut; dua kali pula lolos dan diberi jalan hidup kembali. Ia menyendiri sebagai manusia yang memilih sunyi sebagai teman hidup. Pahitnya perpisahan dengan anaknya di pernikahan pertama menjadikan ia perempuan yang kuat. Perpisahan keduanya di usia yang menjelang kepala lima, membuat ia belajar bahwa perceraian adalah persoalan menyelamatkan kematian masing-masing.
Dengan kondisi yang tak banyak memberi banyak pilihan, ia hanya berpikir, bahwa manusia hidup dan pasti mati, sehingga ia lebih memilih hidup lebih damai. Ia melukis, bermain piano, dan memelihara anjing. Ia juga menulis. Anaknya yang dulu dipisahkan darinya kini telah kembali, dan bebas menemuinya kapan saja. Anaknya adalah pramugari. Yang menyebabkan ia lebih sering berdoa dari biasa, karena banyak kasus kecelakaan penerbangan dan karena ia tak sanggup lagi membayangkan kehilangan anaknya.
Kini ia lebih damai dengan kesunyiannya. Menjadi lebih produktif dengan bermusik, melukis dan menulis. Melalui teater 11 Ibu, Tini Wahyuni belajar untuk menjadi pendengar yang baik, sekaligus menjadi perempuan yang ingin berbagi. Ibu Tini akan pentas di pentas kesembilan, 17 November 2018.
Ibu Penggerak Perempuan
Cening Liadi, seorang seniman tari tradisional dan PNS. Perjuangan Ibu Cening menuju kedamaian sangatlah berat. Ia diuji dalam keluarga yaitu ujian untuk anaknya yang sakit berkali-kali. Sakitnya tidak dapat disembuhkan secara medis, sehingga ia menempuh cara tradisional. Sakit anaknya semakin lama semakin parah hingga di satu titik ia merasa kematian begitu dekat. Ia pasrah namun tak menyerah. Ia berdoa karena masih percaya pada kekuatan doa.
Akhirnya anaknya berangsur-angsur sembuh dan menunjukkan perubahan lebih baik. Ia sangat menyadari bahwa Tuhan menegurnya. Ia pun berbenah diri dan berusaha lebih banyak mendekatkan diri pada Tuhan. Ia juga lebih banyak berbagi dengan membuat lembaga non profit yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan dan kebudayaan.
Melalui panggung 11 Ibu, Ibu Cening ingin membagi pengalamannya bahwa perempuan harus mandiri, kokoh dan tegar dalam menghadapi cobaan. Keikhlasan dan kepasrahan namun semangat terus berusaha harus dipelihara. Ia berharap teater menjadi jembatan bagi perempuan untuk bertemu dan berbagi. Ibu Cening akan pentas pada pentas kesepuluh, 7 Desember 2018.
Ibu Profesor Pendidikan
Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih, M.A. Adalah seorang ibu yang memendam banyak sekali cerita. Dari sejarah keluarganya yang sederhana namun penuh disiplin, terutama dari ibunya ia mendapat pelajaran menjadi perempuan tangguh. Dapur adalah arena permainannya sejak kecil. Membersihkan dan mengatur rumah adalah kewajibannya sejak belia, karena ibunya tak akan memberi ampun jika ketahuan tidak membersihkan dengan hati-hati.
Kedisiplinan yang berat ini mengantarnya sukses di karir akademiknya. Ibu Titik sudah tiba di jabatan tertinggi di akademik. Ia adalah pejuang tangguh. Ibarat seorang chef, ia adalah peramu menu kehidupan. Dalam makna harfiahnya Ibu Titik memang selalu merancang menu makan untuk keluarganya. Makan pagi, siang dan malam, dipikirkannya masak-masak. Ibu menyadari bahwa cinta keluarga tumbuh di atas meja makan. Sehingga ia selalu mengupayakan menu sehat dan segar setiap hari selama berpuluh-puluh tahun, 33 tahun.
Di bidang akademik, beliau adalah dekan, yang juga meramu menu kebijakan di kampus. Menghadapi persoalan, mencari solusi dan memberikan alternatif jalan keluar. Di bidang sosial, Ibu Titik juga aktif di Yayasan Pengayom Umat Hindu, yang memberikan alternatif jalan upacara kematian yang lebih ringan bagi umat Hindu Bali. Dimanapun ia berada, ia adalah pemimpin. Pendapatnya selalu dinanti. Keputusannya sering menjadi pijakan mengambil tindakan beberapa tahun ke depan.
Bagi Prof Nitiasih menjadi istri, ibu dan perempuan adalah pelajaran seumur hidup. Hobinya memasak, berkumpul dengan keluarga dan mengurus rumah. Cita-citanya sederhana, ia ingin di masa tuanya hidup sederhana dan bahagia bersama anak cucunya. Teater adalah upaya baginya untuk membagikan pengalaman, memberi pandangan dan member semangat untuk perempuan untuk berjuang demi keluarga.
Ibu Titik akan pentas pada pentas kesebelas, 15 Desember 2018, di rumahnya Jalan Jalak no 4 Singaraja. (T)