SESI diskusi hari terakhir, 4 November 2018, Parade Teater Canasta 2018, di Canasta Creative Space, Denpasar, diisi oleh Bli Ibed Surgana Yuga Pendiri dan sutradara Kalanari Theatre Movement. Sore kelabu (karena mendung) itu dihadiri oleh kawan-kawan Teater Titik Dalam Koma, Politeknik Negeri Bali, beberapa kawan Teater Kalangan, dan lain sebagainya.
Awal sesi Bli Ibed menegaskan bahwa teater tidak lagi urusan pentas di atas panggung, tapi hal-hal di luar teater, proses, dan segala lini yang melingkupinya, merupakan yang lebih menarik. Bahkan ia menjelaskan sesi waktu itu mungkin saja tidak ada gunanya bagi kawan-kawan peserta. Sejurus kemudian ia menjelaskan salah satu pertunjukannya yang berjudul In Situ #1 PERMATA tahun 2015 yang lalu.
Cuplikan In Situ #1 diputar melaui infokus. Saya yakin beberapa kawan, khususnya yang terbiasa mementaskan naskah drama, merasa sedikit asing. Karena video yang berdurasi 10 menit itu, tidak lagi menjelaskan bloking seiimbang, karakter vocal, riasan pendukung, dan lain sebagainya. Melainkan hal yang jauh di luar hal dasar tersebut.
Pemain perempuan duduk di dalam etalase sambil menatap penonton di depannya, kemudian ada yang mengendap seperti pendekar silat, ada pengamen bersandar di tembok sambil nyanyi. Pemain keluar masuk kepenonton lewat beberapa arah, dari kanan lah, dari kirilah, penonton mendongak, ke segala adegan yang di mainkan. Sekiranya begitulah tangkapan visual yang saya lihat.
Bli Ibed menjelaskan ketertarikannya terhadap gedung bioskop tua tempat In Situ #1 dipentaskan. Dari tampilan luarnya saja sangat mengesankan, bentukan visualnya begitu memikat. Setiap kali ia melewati gedung bioskop tersebut, ia selalu memikirkan satu pertunjukan.
Dalam kepalanya berkelindan berbagai macam teks, dari film yang diputar, dari penonton, dari tukang becak yang biasa mangkal, dari cerita hantu, dan segala macamnya. Mimpi ini kemudian mendapat kesempatannya berwujud, ketika salah satu festival teater di yogjakarta mengundangnya. Alhasil In Situ #1 PERMATA, mewujud ke ranah pemanggungan.
“Ketika ditawari, saya langsung milih Bioskop Permata. Karena ingin dari dulu, selain juga saya tahu, nyewa tempatnya susah, harus nyewa ke dua tempat, ke Hamengku dan yang punya tanah dulu” ujarnya sembari tertawa.
In Situ #1 melewati proses 3 bulan latihan dan 1 bulan riset tentang keberadaan bioskop itu sendiri. ceirita pun mengalir deras dari beberapa narasumber yang pernah menonton di sana, dari arsip, dan lain sebagainya. Kebingungan mencari titik fokus pun di alami oleh bli Ibed. Dengan kesadaran pun ia memilah dan memilih, mana yang diendap, mana yang digunakan.
“sampai sekarang, kalau saya lewat di depan bioskop, saya diam sejenak, karena belum selesai, data-data hasil riset masih berkelindan di kepala saya” ujarnya.
Kemudian ia menjabarkan tentan penonton yang tidak memiliki mood sama ketika datang ke pertunjukan, terlebih kita ini dari duduk di bangku SD telah diintervensi oleh makna dan arti sebuah cerita. Selalu acuan dasarnya cerita, apa artinya , apa maknanya, apa nilai dalam setiap cerita itu. Padahal tubuh tidak bekerja seperti itu. Tubuh melampui hal makna itu, ada rasa yang dapat ia capai. Rasa jijik, rasa takjub, rasa apapun lah yang ditangkap.
Hal seperti ini yang ia selalu tekankan dalam setiap proses pertunjukannya. Bahwa setiap adegan memiiki pesan memang benar, tapi di kepala penontonnya hal ini menjadi berkembang, memiliki daya interpretasi yang berbeda. Jadi satu cerita akan berkembang menjadi sekian banyak cerita di kepala penonton.
In Situ #1 merupakan pementasan Site Spesific Theater. Di dunia barat ini merupakan hal baru karena pertunjukannya selalu berformat proscenium, sementara di Indonesia panggung bisa di mana saja. Di halaman belakang, di jabe pura, di mana saja. Tapi lebih dalam site specific theater mencoba menggali kesejarahan ruang dimana pertunjukan akan di pentaskan. Artinya pertunjukan tersebut hanya bisa dipentaskan ditempat kesejarahannya. Bisa saja di bawa keluar dari tempat itu, tapi konteksnya tidak menyambung, atau hilang.
In Situ diambil dari kata yang biasa dipakai oleh Arkeologi, temuan-temuan arkeolgi di biarkan pada satu tempat untuk mengerti ruang secara keseluruhan. Begitu pula pementasan In Situ, dibioskop itulah teks di gali, di catat, di analisis, kemudian dipentaskan di sana juga. Ibed menekankan dalam garapannya tubuh lah yang meruang pada tempat pentas, sama halnya seperti setting yang di tempatkan pada satu bentuk panggung, setting itu gunanya untuk memberi dukungan tubuh agar meruang. Tapi asumsi itu di papatkan dalam tubuh aktor.
Parade Teater Canasta juga berbicara tentang ruang dan pementasan. Sejumlah kelompok yang pentas melakukan hal tersebut. Sebut saja Teater Enter yang mencoba membaca ruang ranjang sebagai bagian utama pentasnya, ranjang bertingkat di Canasta sudah mereka gauli sejak 2 minggu sebelum pentas, demi mencari teks yang tersembunyi didalamnya.
Sementara Sanggar Seni Kelakar menggunakan banyak ruang, kamar, pembacaannya terhadap dimensi artistik pemanggungan saya rasa cukup berhasil sebab penonton menonton dengan kejutan-kejutan yang menggemaskan. begitu pula Teater Orok yang menggunakan ruang studio panjang, pembacaannya agar penonton dapat menyaksikan pementasan dalam jarak dekat. Sementara Teater Taksu, Teater Sangsaka, Teater titik Dalam Koma, membawa perlengkapan setting untuk meruang di halaman belakang Canasta Creative Space.
Diskusi formal ditutup karena pementasan akan segera di mulai, tapi diskusi lainnya terjadi sampai pagi.
Salam, mata onden maan ngidem ne nok. (T)