TERLETAK di daerah Tuban, Kuta, berjarak 5 menit berkendara dari Pantai Kuta dan Bandara Internasional Ngurah Rai, berjarak 5 menit berkendara dari Discovery Mall, Permata Kuta Hotel menjadi saksi bersejarah.
Mulai kemarin, tepatnya pada hari Jum’at tanggal 2 November 2018, Komunitas Bela Indonesia mengadakan Pelatihan Juru Bicara Pancasila dengan menghadirkan 40 peserta terpilih dari berbagai elemen (organisasi mahasiswa, organisasi masyarakat, dan masyarakat biasa) untuk duduk bersama, berdiskusi, menyamakan persepsi, mencari solusi, dan mencoba merumuskan sebuah konsep gerakan yang bertujuan untuk kembali mensosialisasikan dan berharap bisa mengamalkan nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Saya salah satu peserta yang mengikuti pelatihan tersebut. Pelatihan yang akan berlangsung selama 4 hari itu, berbicara banyak tentang Pancasila dan problem-problemnya. Kita tahu, bahwa semenjak Indonesia ini merdeka, Pancasila telah menjadi kesepakatan bersama untuk menjadi ideologi atau pondasi dan dasar negara.
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan, bahwa Pancasila di era milenial ini, nilai-nilai atau eksistensinya semakin menurun. Walaupun dua lembaga survei, masing-masing Lingkaran Survei Indonesia (2018) dan Saiful Mujani Research and Consulting/SMRC (2017) pernah membuat survei mengenai topik terkait Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang menunjukkan hasil yang mirip satu sama lain dan berkesimpulan umum bahwa kedua survei tersebut, Pancasila dan NKRI masih kuat.
Publik Indonesia berpendapat Pancasila adalah ideologi terbaik dan final. Hanya saja, yang patut dicermati, cukup banyak (bekisar di angka 10 %-an) yang berpendapat Indonesia sebaiknya menjadi negara khilafah Islam.
Dalam buku Rumah Bersama Kita Bernama Indonesia, karangan Denny JA dan Tim, pada bulan Mei 2017, SMRC membuat survei dengan populasi nasional dan menanyakan kepada publik Indonesia, mana yang lebih pilih, apakah negara Indonesia berdasar pada Pancasila atau negara Islam. Sebanyak 79.3% memilih Pancasila dan 9.2% memilih negara Islam.
Survei SMRC juga menanyakan, apakah menurut publik Indonesia, NKRI yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 sekarang sedang melemah ataukah tidak. Sebanyak 70% mengatakan NKRI baik-baik saja, sementara 14.5% merasa NKRI dalam bahaya. Bagi yang merasa NKRI dalam ancaman, SMRC membuat pertanyaan lanjutan, apa penyebabnya menurut publik. Hasilnya, sebagian besar mengatakan karena paham-paham agama tertentu (39.4%) dan pelaksanaan negara yang buruk (19.4%).
Nah, Pancasila yang di muka Kongres Amerika Serikat pada tanggal 16 Mei sampai 3 Juni 1956 (kalau tidak salah, kalau salah silakan dibenarkan) Bung Karno dengan kepercayaan diri berpidato menguraikan Pancasila dan dalam pidatonya di PBB, 30 September 1960, yang berjudul To Build the Word Anew (artinya… silakan cari sendiri), ia menyangkal pendapat seorang filsuf Inggris, Bertrand Russel, yang membagi dunia ke dalam dua poros ideologis─Manifesto Komunis dan Declaration of Independence─bisa jadi di zaman sekarang Pancasila hanya menjadi pajangan dinding yang diapit foto Pak Jokowi dan Jusuf Kalla di atas papan tulis sekolah atau dinding-dinding yang lain─termasuk dinding facebook.
Berangkat dari kenyataan itulah, Komunitas Bela Indonesia, berinisiatif membuat Pelatihan Juru Bicara Pancasila.
***
Sebal. Ketawa. Dan bahkan miris melihat situasi di Indonesia yang berkubu-kubu ini. Terpecah belah. Cebong dan Kampret. Gampang terprofokasi, memberhalakan wacana tanpa diimbangi sikap kritis, bagaikan gelembung air laut yang terombang-ambing, gampang pecah.
Semua itu diperparah dengan fatwa-fatwa yang tak jelas sanad keilmuannya, menjadikan agama sebagai barang komoditi, dll. Dan media sosial hadir memberikan panggung bebas kepada siapa pun kini. Di atas panggung bebas itu, Anda, saya, dan mereka dipersilakan, untuk merayakan apa saja. Tetapi, ingat pula, di atas panggung itu jugalah jati diri kita terpamerkan sepenuhnya tanpa tedeng aling-aling, begitu tulis Pak Edi Mulyono dalam bukunya Berhala-Berhala Wacana.
Keadaan itu sangat meresahkan. Belum lagi perseteruan terbuka antar sesama umat di kolom-kolom komentar sebuah status, konflik frontal, ujaran kebencian, pemaksaan kehendak, termasuk klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim) mutlak sebagai milik sendiri dan kelompoknya.
Dulu, Pancasila lahir untuk menyatukan perbedaan tersebut. Tapi nyatanya sekarang, sepertinya Pancasila itu fana, dan cebong-kampret itu yang abadi.
Di Permata Hotel Kuta, berkumpul beberapa anak muda dari kalangan organisasi mahasiswa (HMI, KMHDI, PMK, KAMMI, Patria, dll), tokoh ormas (NU dan Ahmadiyah) dan beberapa masyarakat biasa, sedang berdiskusi, menyamakan persepsi, merajut kebinhekaan dalam perbedaan. Sama-sama mencoba menertawakan diri sendiri, terbuka satu sama lain, dan merumuskan satu gerakan yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila.
Di samping itu, acara ini juga diisi dengan materi-materi tulis-menulis kreatif, berdebat, dan tentu saja mengkampanyekan Pancasila.
Akhirnya, izinkan saya selaku penulis dan salah satu peserta Pelatihan Juru Bicara Pancasila, untuk menyampaikan sebuah kata-kata bijak yang mengatakan:
Jangan hidup seperti gunting, walaupun berjalan lurus, tanpa kita sadari ia telah memisahkan apa yang telah menyatu. Tapi hiduplah seperti jarum, walaupun ia harus berjalan menusuk-nusuk, tanpa disadari bahwa ia telah menyatukan apa yang sudah berpisah. Perbedaan harus dikatakan, bukan dembunykan, beragama secara terbuka, bukan dengan ketakutan. “Jika kita tak bisa mengakhiri perbedaan, setidaknya bersama kita bisa membuat dunia lebih aman untuk hidup dalam keberagaman dan perbedaan”, begitu kira-kira kata John F. Kennedy. (T)
Kita Pancasila, Kita Indonesia.
#KBIPancasila
#KBIBali