MUNGKIN saya ke-geer-an, tapi fakta memang, saya merasa ‘dimata-matai’ oleh Presiden Jokowi. Prosesnya dimulai ketika September 2014 lalu saya menerbitkan kumpulan puisi yang kedua, Mencari Kubur Baridin. Pada saat yang sama, Jokowi juga mempersiapkan kabinet kerja pertamanya selaku Presiden RI.
Entah mengapa pula saat launching kumpulan puisi itu di Denpasar, moderator (Wayan Sunarta, S.Sos) menanyakan kepada saya mengapa judul buku saya bukan “Mencari kursi di kabinet Jokowi”, misalnya? Waktu itu setelan pakaian saya kebetulan pula bernuansa Jokowi. Kemeja putih bersih, celana hitam, pas dengan badan postur yang langsing.
Jadi mungkin moderator waktu itu punya alasan untuk bertanya seperti di atas. Dan waktu itu tentu saja, saya hanya tersenyum saja.
Tak lama kemudian, viral di media sosial foto Jokowi sedang mengenakan sarung dan kaos singlet di istana. Iseng, saya mengupload pula foto saya di FB sedang mengenakan sarung tapi berkemeja dan berfose di kontrakan, istana saya. Segera saja, foto itu mendapat respon dari teman-teman. Langsung banyak komentar. Saya menduga, foto saya itu juga viral walaupun hanya di kalangan teman-teman saya sendiri yang tak seberapa jumlahnya.
Setelah itu, saya menyangka, tak akan ada lagi moment unik yang bakal membantu saya terhubung secara aneh dan imajinatif dengan Jokowi. Ternyata saya salah. Di Kalimalang, di pintu gang utama menuju kontrakan saya, sedang dibangun pintu tol Becak-Ayu. Singkatan dari tol Bekasi–Cawang–Kampung Melayu. Proses pembangunan tol itu sangat menganggu saya secara pribadi, karena membuat jalan becek ketika hujan, dan membuat saya harus memutar lebih jauh untuk menyeberang ke jalan Kalimalang.
Saking jengkelnya saya pada pembangunan tol itu, saya sampai menulis puisi bergaya protes,: Tol, jangan brengsek//engkau bukan pintuku/bukan tempat laluku//…pergilah engkau bersama suara berisik kendaraan roda empat dan alat-alat berat itu//pergilah bersama kaum kelas menengah//angka-angka projek….
Begitulah. Tapi puisi itu tak pernah saya lanjutkan. Tiba-tiba saya merasa iba pada kelas menengah dan orang-orang kaya yang mobilnya kesusahan lewat di jalan Kalimalang yang sempit itu. Juga kepada pengguna trasportasi umum yang setiap hari terpaksa bermacet-macet di jalan Kalimalang untuk berangkat dan pulang kerja. Mungkin tol akan membantu mereka lebih cepat, pikir saya waktu itu.
Dan memang demikianlah adanya. Walaupun puisi saya tak berlanjut, tol itu berlanjut dengan cepat. Mungkin tidak sampai dua tahun sudah diresmikan oleh Presiden Jokowi. Celakanya, seremoni peresmiannya dilakukan di pintu gang ke kontrakan saya yang kini menjadi pintu tol itu. Lagi-lagi, saya merasa dimata-matai Jokowi. Bayangkan, kami hanya berjarak kira-kira tiga puluh meter saja. Saya menonton di kontrakan yang sempit, Jokowi membuka seremoni tol tak jauh dari saya.
Sekarang, jalan sepanjang Kalimalang sudah jauh lebih lebar. Di atas aliran sungai, berdiri megah salah satu bukti kerja Jokowi yang tentu saja besar manfaatnya bagi mobilitas masyarakat. Bangun-bangunan bedeng dan permanen yang dulu menyesaki pinggir sungai, kini sudah berganti jalan umum. Kalau dari estetika, memang jauh lebih rapi dan tertib kelihatan.
Jalan raya, memang salah satu capaian Jokowi paling menonjol dalam kerjanya sebagai presiden. Selama 4 tahun, ia telah membangun ribuan kilimeter jalan. Menurut keterangan terakhir mentri PUPR, sampai 2018 pemerintah telah membangun 3.432 km jalan nasional, 941 km jalan tol, dan 39,8 km jembatan untuk mendukung konektivitas. Sebagai proyek itu itu dibangun di luar Jawa. Artinya, melalui infrastruktur, Jokowi melakukan pemerataan pembangunan dengan kuantitas yang belum pernah dicapai sebelumnya.
Papua, menjadi pulau yang mendapat fokus luar biasa dari Jokowi untuk infrastruktur ini. Sepanjang 1.066 kilimoter jalan Trans Papua sudah tersambung dan beraspal. Sejak republik berdiri, orang Papua mungkin tak akan pernah membayangkan bisa memiliki jalan sepanjang itu. Sikap ngotot Jokowi untuk menembus Papua dengan jalan, bagaimana pun harus diapresiasi sebagai bukti program pemerataan dan pemanusiaan di sisi lain. Tanah Papua yang isi buminya banyak dikeruk untuk kepentingan nasional itu, selama ini memang jauh dari pembangunan. Tak heran, jika warga di sana menamai jalan-jalan yang kini ada itu dengan ungkapan: Jalan Jokowi.
Infrastruktur jalan juga yang membawa saya pada peristiwa unik yang lain, yang membuat saya makin merasa memang punya hubungan khas dengan Presiden Jokowi. Kisahnya akhir tahun lalu, saya dan kawan saya David Krisna Alka, bertemu mantan Menteri Bappenas, Andrinof Chaniago di tempat nongkrong saya di Kalibata City.
Saya dan Andrinof mendiskusikan kemungkinan untuk meneruskan gagasan balai seni STA yang terbengkalai di Toya Bungkah, Kintamani, Bali. Cita-cita kebudayaan STA, menurut pandangan saya perlu dirintis ulang di Sumatra Barat karena wialayah itu memiliki syarat-syarat materil dan immateril yang memadai untuk mewujudkan cita-cita STA itu. Bahkan kali ini, gagasan kebudayaan itu lebih diperluas sesuai dengan konteks dan visi zaman post-milenial.
Andrinof sepikiran, dan kami merencanakan terlebih dahulu sebuah event kebudayaan yang bakal mempertemukan seniman, sastrawan, pemikir kesenian, kalangan industri budaya dan pariwisata. Tujuan kegiatan ini untuk tahun pertama, mendorong kalangan pemodal meningkatkan aksi – dari sekedar partisipasi ke investasi dalam kebudayaan.
Saya pun pulanglah ke Padang untuk mempersiapkan kemungkinan itu. Tempat yang saya tuju kebetulan kampung saya, Mandeh, yang saat ini menjadi destinasi pariwisata andalan Provinsi Sumatra Barat. Tempat yang sangat indah dan perawan, dengan topografi perbukitan dan aliran sungai yang langsung bertemu dengan pantai. Di depannya pulau-pulau berpasir putih memagari segara-segara bening berombak tenang. melindungi kawasan itu dari keganasan Samudera Hindia. 80 % hutan perbukitan di Mandeh adalah hutan lindung yang hijau, dan di sisinya kini telah dibangun jalan aspal beton yang lebar dan mulus sepanjang 56 km.
Jalan itu tak lama lagi akan selesai seluruhnya dan akan tembus ke kota Padang hingga memudahkan wisatawan mengunjungi Mandeh dari bandara. Tapi yang lebih terpenting adalah penduduk di kawasan Mandeh itu sendiri yang terdiri dari beberapa desa. Sekarang mereka sudah memiliki akses darat untuk ke luar. Harga dji sam soe juga menjadi lebih murah. Tak heran, kalau masyarakat di sana menjadi mengenal Jokowi lebih dari warga Sumatra Barat di daerah lain yang tak terlalu cocok dengan Jokowi karena alasan yang tak saya tahu.
Di kawasan Mandeh itu ada satu kampung bernama Sungai Nyalo, dihuni kira-kira 200 kk saja. Waktu saya tiba, wali nagarinya membawa saya ke pelanta kayu di depan sebuah kedai di tepi laut dekat gelanggang nagari. Kami pun mengobrol di situ dan tahulah saya, pelanta yang sama, juga menjadi tempat duduk Jokowi saat datang ke Sungai Nyalo untuk meresmikan kawasan Mandeh sebagai destinasi wisata . Sebuah pelanta kayu yang diteduhkan dengan atap daun kelapa, diteguhkan dengan sebuah sandaran dari kayu Laban sebesar lengan orang dewasa.
Di situlah, saya pun bercakap-cakap dengan warga sampai sore, seperti halnya Jokowi bercakap-cakap mendengarkan keluhan masyarakat. Bedanya saya merokok, dan tidak pakai pengawal, kecuali kepala dinasa pariwisata kabupaten Pesisir Selatan yang waktu itu menemani saya. Dan sejujurnya, diam-diam saya memang membayangkan andai diri saya seorang presiden kala itu.
Kegiatan budaya yang direncanakan akhir tahun 2018 itu, belum terwujud. Uda An (Andrinof Chaniago) yang sedianya mencarikan duit untuk acara itu, ternyata tak kunjung kongkrit. Kesibukannya selaku komisasris utama BRI tampaknya terlalu menyita waktu, hingga kami pun sudah agak sulit bertemu belakangan. Terakhir saat kami ngopi lagi di tempat nongkrong saya di Kalibata City, kami masih saja dalam tahap pembahasan.
Mungkin itulah beda yang nyata antara Jokowi dengan saya. Jokowi mewujudkan rencana-rencananya dalam empat tahun ini, sementara saya tetap dalam rencana-rencana. Beda lainnya, Jokowi orang yang ngotot, sementara saya orang yang rileks dalam banyak hal. Padahal dalam kehidupan ini memang kita perlu ngotot untuk beberapa hal. Seperti misalnya sikap ngotot Jokowi agar jalan Trans Papua dibangun. Tanpa sikap ngotot, hal itu tentu tak akan tercapai. Sebab menurut laporan khusus Harian Kompas, upaya membangun infrastruktur jalan di Papua sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1970 di awal orde baru. Tapi karena tak ada pemimpin yang ngotot, jalan itu tak jadi-jadi. Jokowi lain, ia ngotot, jalan pun jadi menembus pedalaman dan perbatasan.
Cukup lama saya di kampung akhir tahun 2017 itu. Di luar dugaan, saya mendadak jadi ‘jubir’ tak resmi Jokowi tanpa pelantikan, tanpa pengangkatan. Orang kampung saya, yang memang tidak memilih Jokowi di pemilu 2014, rupanya melampiaskan semua kesusahan ekonomi mereka pada Jokowi. Terutama petani karet. Harga getah karet murah, menurut mereka itu sejak Jokowi menjadi presiden. Yang lebih mengejutkan ketika kebanyakan orang kampung saya menyangka Jokowi akan mengubah Indonesia jadi negara komunis, Jokowi membenci ulama, dan isu-isu sejenis yang kita tahu merupakan hoax berunsur fitnah yang telah muncul menyerang Jokowi sejak ia maju menjadi capres di pemilu 2014 lalu.
Saya tentu merasa tak nyaman karena kebanyakan orang kampung saya melakukan penilaian terhadap pemimpinnya berdasar hoax. Bukannya alim, hal itu malah akan membuat Sumatra Barat bertambah tampak bodoh. Jadi pelan-pelan saya menjelaskan duduk perkara beberapa topik saat ngobrol di lapau-lapau maupun saat bersama orang kampung di ladang. Saya terangkan, tidak betul Indonesia akan jadi komunis, saya paparkan Jokowi itu orang soleh karena sudah 20 tahun tidak pernah berhenti melakukan puasa Daud atau pun puasa senin-kamis. Mana mungkin orang seperti itu membenci ulama?
Mungkin karena seringnya saya berdiskusi semacam itu dengan orang kampung saya, ada teman berseloroh saya ini orang istana. Lumayan, saya naik status, dari penyair ke orang istana. Percakapan-percakapan di lapau itu mungkin memang membawa hasil. Selama tiga bulan di kampung, saya melihat banyak perkembangan di level wacana terkait Jokowi. Di lapau-lapau, banyak orang yang mulai positif melihat Jokowi. Karena itu sembari bercanda, ketika baru-baru lalu sejumlah kepala daerah di Sumbar menyatakan diri mendukung Jokowi dua periode, saya katakan pada teman-teman saya, itu terjadi karena saya pulang kampung. Hehehe..
Beberapa penjelasan saya mengenai Jokowi itu juga terbukti benarnya dan dilihat sendiri oleh orang Sumbar. Contohnya, waktu Jokowi bertandang ke sate Mak Syukur di Sumatra Barat saat melakukan kunjungan kerja di Padang. Waktu itu Jokowi sedang melakukan puasa sunah Senin – Kamis. Jadi tak makan saat sampai di warung sate Mak Syukur yang terkenal itu. Pejabat dan ulama Sumbar yang sempat mengira Jokowi bukan orang muslim, pasti akan tercengang-cengang. Dan karena media setempat mengabarkan pula kejadian itu, orang kampung saya tahu. Akibatnya, mulai percaya kepada saya. Jadi layaklah, kalau saya mengklaim, Jokowi perlu berterimakasih kepada saya.
Tetapi bukan hanya di Jakarta dan Sumbar saja, hubungan goib antara saya dan Jokowi terjadi. Februari 2018 lalu, Presiden Jokowi berkunjung ke desa Marga Tabanan. Di media, saya lihat fotonya sedang berkumpul bersama petani di sebuah sawah di Desa Kukuh. Setelah saya amat-amati, pematang sawah tempat Jokowi berkumpul itu, adalah pematang yang sama yang dulu saya titi saat masih menjadi warga desa di Marga. Saya jadi tersenyum-senyum sendiri melihat foto itu: memang Jokowi tampaknya sengaja mengikuti titik-titik perjalanan saya…. (T)
Jakarta, Oktober 2018