Halaman pembuka lontar umumnya dimulai dengan baris mantra: “Om Avighnamastu”.
Dalam doa pembuka ini kita pertama-tama diajak menimbang “vighna”.
Apa itu “vighna”?
‘Vighna’ (विघ्न) adalah kata Sanskerta yang artinya ‘kendala’, ‘rintangan’, ‘hambatan’.
Mantra pembuka untuk memulai membaca lontar ini adalah setara dengan puja penghormatan pada Hyang Ganapati (Gaṇeśa गणेश) karena Gaṇeśa dikenal sebagai dewa yang mampu menghalau atau melenyapkan hambatan, marabahaya, rintangan dan memberikan jalan pada kita untuk memasuki jalan yang terang.
Prof. Edi Sedyawati memberi penjelasan bahwa Gaṇeśa mempunyai julukan Wighna, Si Penghalang, seperti yang ditunjukkan oleh arca dari masa Kediri yang pada śirascakra-nya tertera tulisan “wigěṇa”, dalam huruf Kadiri yang besar-besar (Museum Nasional, Jakarta, no. 157/D 206). “Tentunya dimaksudkan bahwa dewa tersebut adalah “penghalang segala rintangan”. Gaṇeśa juga dikenal sebagai dewa pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan sastra”.
Penjelasan Prof. Edi Sedyawati tidak terkait pembacaan lontar, namun saya melihat inilah pijakan kita membaca lontar. Pertama-tama, pemujaan pada Hyang Ganapati (Gaṇeśa गणेश), yaitu dewa penghancur hambatan berpikir dan sekaligus dewa pemusnah hambatan mental. Hyang Ganapati (Gaṇeśa गणेश) dalam perwujudan ikonografi senantiasa “menginjak tikus”, tidak lain, bermakna “menekan keragu-raguan”. Mampu mengendalikan ketidakfokusan menuju keterbukaan berpikir, dari ketertindasan berpikir klenik dan mitos menuju ke arah berpikir ilmiah dan logos.
Bersandar pada Hyang Ganapati (Gaṇeśa गणेश) sebagai dewa pelindung untuk membebaskan pikiran tertindas dan tidak merdeka itu menjadi pondasi penting dalam membaca lontar.
Tidak berbekal pengetahuan cukup memasuki lontar, kemungkinan akan menemu kutuk aywa wera, aywa cawuh. Secara berurutan mengandung makna kurang lebih: ‘hindari berkata-kata’ (memberikan interpretasi ngawur?), ‘hindari kesembarangan ucapan (mengaku-aku paham tanpa dasar?). Memberi interpretasi atau pemaknaan sembarang, tanpa dasar, maka dalam gelap gulitan ketidakberdasaran itu akan membuat kita keblinger. Yang keblinger, sampai buduh-pangling–paling, kesurupan dan ngadug-adug, serta tanpa sadar memanipulasi diri dan orang lain setelah membaca lontar adalah mereka yang tidak punya pijakan dasar dalam menalar lontar. Lontar tak dinalar dengan nalar, dan terjatuh pada kehilangan nalar, maka inilah yang sekiranya dimaksud dengan buduh ulian lontar (hilang kewarasan karena lontar).
Seperti doa pembuka lontar, jika belum mampu menjadi ‘Avighna’ maka pembacanya akan menjadi ‘Vighna’ (विघ्न) yang tak lain adalah kelas rākṣasa.
Memahami secara praktis keterkaitan doa pembukan “Awighnamastu” dalam kaitan dengan Dewa Gaṇeśa sangat penting. Tradisi ini disebutkan mulai 2 millennium sebelum masehi, dalam tradisi Rigveda. Dalam sebuah leksikon Sanskerta berjudul Amarakosha, terdapat delapan sinonim dari Ganesha: Vinayaka, Vighnarāja (setara dengan Vighnesha), Dvaimātura (yang memiliki dua ibu), Gaṇādhipa (setara dengan Ganapati dan Gaṇeśa), Ekadanta (yang memiliki satu cula), Heramba, Lambodara (yang memiliki perut menggantung penyimpan ilmu), dan Gajānana (memiliki wajah gajah). Tradisi Purana dan Buddha Tantra menyebut sebagai Vinayaka (विनायक; vināyaka). Juga dikenal sebagai Aśṭavināyaka, Vighneśa, dan Vighneśvara (Sang Penghalang).
Apa referensi yang sebaiknya disiapkan dalam membaca lontar?
Agar tak terhalang Sang Penghalang, adakah setidaknya pijakan bersadar?
Sekedar berbagi dan sharing ke anak-cucu saya yang kemungkinan di masa depan tertarik pada khasanah lontar, saya berbagi di sini:
- Bacalah teori sosiologi.
Terutama yang saya rekomendasi adalah karya Norbert Elias (22 June 1897 – 1 August 1990), yaitu: “The Civilizing Process, Vol.I. The History of Manners”, Oxford: Blackwell, 1969, dan “The Civilizing Process, Vol.II. State Formation and Civilization”, Oxford: Blackwell, 1982.
“The Civilizing Process” (Proses Peradaban) adalah buku penting mencakup sejarah proses terbentuknya peradaban Eropa dari sekitar 800 AD hingga 1900 AD, merupakan sebuah buku yang membeberkan dengan cerdas dan cermat, sebuah analisis formal pertama dalam hal teori (terjadinya/terbentuknya) peradaban.
Lontar-lontar di Bali adalah kumpulan dan remah-remah pemikiran dari berbagai abad, berbagai konteks geografis-politik-teologi-dinasti, serta berbagai paham atau ism yang berbaur tumpang tindih. Jika kita tidak mampu melihat lontar sebagai teks dalam konteks “proses peradaban” maka kita akan terpleset dalam hayalan bahwa teks-teks tersebut tidak punya konteksnya, atau bisa mandiri dalam dirinya, tanpa ruang dan waktu. Membaca teks lontar kita dituntun untuk mampu melihat konteks jamannya, setidaknya mampu membayangkan dalam konteks sosiologis atau teologis seperti apa posisi teks yang kita baca. Dengan suluh pemahaman bagaimana “the history of manners” dalam perkembangan historis habitus Eropa, atau struktur psikis individu tertentu yang dibentuk oleh sikap sosial tertentu sesuai jamannya, kita bisa membandingkan atau mereka-reka bagaimana dan dalam situasi apa teks dalam lontar tertentu ditulis atau disalin atau tulis kembali. Bercermin dari bagaimana standar-standar Eropa pasca-abad pertengahan – mengenai kekerasan, perilaku seksual, fungsi tubuh, cara makan dan bentuk-bentuk bahasa secara berangsur-angsur berubah dengan meningkatkan ambang rasa malu dan jijik, bekerja keluar dari inti dalam etiket pengadilan – akan bisa kita kita bayangkan bagaimana teks-teks dalam lontar ditulis dan “diciptakan”.
Berbagai teks dalam lontar tampaknya diinternalisasi secara individu dan juga kelompok, kadang dipaksakan berlaku bagi kelompok lainnya, dengan mengunakan jaringan koneksi sosial sistem kerajaan dan masyarakat tradisional yang semakin kompleks dari abad Jawa Kuno sampai abad 19, turut serta dari jaman ke jaman mengembangkan persepsi-persepsi “psikologis” manusia Bali tentang dirinya, tentang alam kehidupannya, dan berperan besar sebagai pedoman meregulasi masyarakat, sebagai teks pembenar atau legitimasi kekuasaan, baik oleh kelompok elit ksatria dan brahman, sehingga teks-teks tersebut tidak bisa kedap atau terlepas dari konteks kekuasaan dan jamannya.
Dalam hal ini berbagai teks babad, dan juga mantra-pedoman kepanditaan, yang mengklaim diri sebagai teks tertinggi dan “terbenar” sebaiknya kita lihat konteks jamannya dan konteks politik serta kaitannya sejarah kekuasaan. Vol.II. “State Formation and Civilization” (Pembentukan Negara dan Peradaban), membantu kita melihat bagaimana teks babad dan kependetaan yang tersebar, menjadi titik penting penyebab dari proses-proses peradaban (dan pemberadaban) Bali, dan melihat teks-teks dalam babad serta lontar lain, seperti Paswara dan Awig-awig serta Purana Pura, tidak terlepas dari pembentukan “negara kerajaan-kerajaan Bali” yang semakin terpusat pada titik-titik kekuasaan pemerintahan dan ritual, serta bagaimana jaringan teks-teks ini dipekerjakan sebagai mengatur jaringan masyarakat yang semakin berbeda, tersegragasi, namun diusahakan saling berhubungan, ditata agar saling tampak harmoni dalam hirarki kuasa yang dikontrol oleh “pembentuk/pembuat/pengontrol teks-teks lontar”.
Dalam teks-teks lontar terdapat ajaran yang sangat jelas menunjukkan bagaimana teks-teks tersusun sebagai legitimasi “superioritas kelompok” dan sekaligus teks-teks yang mengandung “superioritas moral”. Elias memberikan petunjuk bagaimana sebuah “teks” bertumbuh dan turut serta mengatur dan mengedalikan “proses peradaban”. Bercermin dari pemikiran Elias, lontar-lontar bisa menjadi pijakan untuk menganalisa konsep dan proses ini, yang dijuluki peradaban, dan diteliti ke dalam asal-usul, pola-pola, dan metodenya.
Lontar-lontar ditulis, dan diwariskan, tanpa disadari, dengan cara yang tidak sistematis, yang menjadi tumpukan informasi dan pengetahuan yang tebal dan riweh yang sulit diurai dalam waktu singkat. Namun di dalamnya, dalam semua teks-teks lontar yang saya baca, ada sebuah kesamaan atau energi besar untuk menetapkan peraturan sosial, baik lewat sistem ritual, pertanian, pemerintahan (politik), dalam kebahasaan dan mantra-mantra, berniat menjadi pengatur tatanan psikologis bagi mansyarakat Bali.
- Bacalah sejarah filsafat India.
Karya Radhakrishnan berjudul “Indian Philosophy Vol.1 (1923) dan Vol 2 (1927)”, Oxford University Press, wajib dibaca dalam melihat sistem “tatwa” dan berbagai ajaran kefilsafatan dalam lontar. Lontar-lontar bertajuk aji dan tatwa di Bali banyak mengandung muatan darśana, yang mengacu pada enam sistem pemikiran, yang disebut darśanam, yang terdiri dari filsafat Hindu klasik. Lontar ‘tatwa’ dan ‘aji’ di dalamnya menyiratkan bagaimana masing-masing dari enam sistem ini warisan dengan cara sangat menarik, dengan komplesitas pewarisan dan kebahasaan yang mengalami vernakularisasi. Enam kefilsafatan ortodoks Hindu (darśana) yang menyusup dalam lontar ‘tatwa’ di Bali adalah adalah Nyaya, Vaisheshika, Samkhya, Yoga, Mīmāṃsā, dan Vedanta. Ajaran Śaiva Siddhanta yang mendominasi dalam berbagai naskah lontar, secara berselang-seling atau berbaur, membentuk berbagai teks dalam lontar-lontar Bali.
Membaca “Indian Philosophy” karya Radhakrishnan, kalau bisa ditambahkan karyanya lagi, yaitu “The Principal Upanishads “, akan menjadi membuka dan penyinar terang dalam membaca lontar-lontar tatwa. Saya menemukan berbagai naskah kakawin juga yang mendalilkan persoalan Ātman dan Paramātma, yang membahas dokrin Māyā dan Avidyā; Karma dan Punarbawa; Moksa dan perjalanan jiwa; menjadi lebih terang dilihat dalam konteks ajaran darśana dan ajaran upanishad.
Bṛhadāraṇyaka, Chāndogya, Aitareya, Taittirīya, Īṣa, Kena, Kaṭha, Praśna, Muṇḍaka, Māṇḍūkya, Śvetāśvatara, Kauśītāki, Maitrāyaṇi, Subāla, Jābāla, Paiṅgala, Kaivalya, Vajrasūcikā. Upanisad-upanisad ini penting dibaca untuk menjadi peneguh dan landasan berpikir kita dalam memeriksa isi lontar-lontar di Bali.
- Bacalah Yajurveda Samhita dan Rigveda.
Kalau tidak, kita akan kegelapan melihat berbagai stuti-stava, mantra dan puja yang “terserak” dalam lontar. Pikiran kita akan penuh sangka dan penuh tanya dari mana asal mula mantra Sansekerta kalau tidak paham Yajurveda Samhita dan Rigveda.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ajaran mantra serta uraian Saiva Siddhanta ke Bali masuk melalui naskah Purana dan Parwa. Salah satunya Brahmananda Purana, dan Adi Parwa yang melegenda di masyarakat Bali. Isi puja dan lontar Bali, dengan demikian harus dilihat dalam “perspektif Purana dan Parwa”. Kutipan pedoman upakara, ngusaba, dan kegiatan ritual disebutkan sumbernya Adi Parwa. Dengan demikian perlu pemahaman komprehensif terhadap sastra Parwa dan Purana dalam melihat lontar Bali.
Namun, dalam melihat mantra-mantra di Bali, saya merekomendasi untuk bisa melek terhadap ajaran dan perbedaaan antara Shukla Yajurveda dan Krishna Yajurveda. Saya mendapat banyak terang dan sesuluh dari bagian dari Krishna Yajurveda, yaitu: Tattirīya Samhita. Yang lain yang sekiranya patut dijadikan sesuluh, yang juga merupakan bagian dari Krishna Yajurveda, yaitu: Maitrayani Samhita, Katha Sṃhitā dan Kapiṣṭhala Samhita.
- Baca Foucault dan Atharvaveda dalam memahami Usada (pengobatan) dan mantra atau penolak berbagai pangleakan (black magic).
Sebagian besar mantra dari Atharva Veda terkait dengan penyembuhan penyakit. Ayurveda dianggap sebagai subdivisi Atharvaveda, karena termasuk obat-obatan, terapi dan prosedur lain untuk hidup panjang. Ini bisa menjadi sesuluh bagaimana tradisi lontar Usada terwariskan di Bali, sekalipun berbagai muatan material dan bahasanya sangat lokal, sudah dilokasisasi atau vernacularization, tapi spirit ajaran Usada di Bali sejenis dengan Ayurveda.
Dalam melihat lontar “Usada Ila” (pengobatan orang gila) dan berbagai usada lainnya, sangat menarik jika suka dan punya waktu untuk ngulik-ulik pembahasan Foucault, “Madness and Civilisation” atau “History of Madness”.
Teks-teks usada di dalamnya mengandung pemeriksaan terhadap makna (dan definisi) yang berkembang dari masa ke masa, apa itu sakit dan apa itu kegilaan. Konteksnya juga ada terkait dengan soal racun dan kegilaan di jaman “Dalem” (baca Usada Dalem), bagaimana budaya Bali, hukum, politik, filsafat dan pengobatan dari Jaman Gelgel hingga akhir abad ke-19, sampai munculnya “Sakit Gede” diobati dan dikendalikan. Teks usada bisa menjadi bagian penting melihat sejarah atas “sejarah gagasan” bagaimana dan apa itu “sembuh”, “waras”, “gila”, dan berbagai “pengedaliannya”.
Jika kita bandingkan teks Usada Dalem, Ila, Buddhakecapi, dll, dengan bagaimana Foucault menelusuri evolusi konsep kegilaan melalui tiga fase: Renaisans, “Zaman Klasik” (akhir abad ketujuh belas dan sebagian besar abad kedelapan belas) dan pengalaman modern, pembaca lontar usada akan terkesima bagaimana lontar-lontar usada bisa menjadi pijakan kita “membaca sejarah kekuasaan” di Bali dan di masa Jawa Kuno (?).
Jika Foucault berpendapat bahwa dalam masa Renaisans orang gila digambarkan merepresentasikan kekuatan misterius tragedi kosmik, demikian juga prihal kegilaan dan sakit oleh guna-guna (teluh dll) dalam lontar usada. Usada Ila mendeskripsikan tentang manusia kehilangan nalar dan bagaimana agar bisa “mengembalikan nalarnya dengan cara tidak nalar”.
Sampai akhirnya masyarakat Bali bersentuhan dengan kedokteran modern yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial, teks-teks usada itu menguasai jagat pikir dan imajinasi manusia Bali, baik konsepsi sehat-sakit, cetik-wisa-tamba (racun dan pemunah/obat penyembuh), dan apa yang dimaksud dengan “kasukertan” (sejahtera lahir batin), sangat menarik untuk kita pelajari definisinya, dalam konteks “proses pemberadaban” Bali.
- Bacalah karya sastra dunia.
Untuk melihat dan mengasah kemampuan memasuki dunia Kakawin, Kidung, dan Gaguritan. Tanpa apresiasi yang baik akan karya-karya sastra dunia, karya-karya sastra yang bemutu dalam konteks politik dan perkembangan estetika sebuah negeri, akan sulit seorang pembaca lontar yang Kakawin, Kidung, dan Gaguritan, dalam memasuki kompleksitas kesastraan (stilistika, lingusitika, filosofi, sosiologi sastra, dll) dalam lontar-lontar Bali. Memahami sejarah sastra Eropa, dan berdebatan filsafat Yunani, sangat membantu untuk mengapresiasi teks-teks sastra dalam lontar.
Untuk memperjelas bagian ini silahkan baca catatan saya dalam link ini:http://www.tatkala.co/…/kenapa-kita-orang-bali-berpaling-d…/
- Bacalah sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara dan relasinya dengan kerajaan-kerajaan Asia Tengara dan India.
Lontar-lontar di Bali adalah buah dari persebaran teks atau jaringan teks-teks kuno yang tersebar dan memalui kerajaan-kerajaan Nusantara dan relasinya dengan kerajaan-kerajaan Asia Tengara dan India. Khususnya Sriwijaya, Medang Kemulan, Kediri, Singosari, Majapahit, sejarah dinasti Warmadewa, serta Gelgel sampai terbentuknya Klungkung. Dengan pemahaman bentang sejarah ini kita akan mampu melihat dalam konteks sosiologis dan politik seperti apa lontar-lontar Bali ditulis. Makin komprehensif jika kita mampu memasuki dunia efigrafi (prasasti tembaga dan batu dll) dari peninggalan kerajaan-kerajaan tersebut. Di dalamnya ada berbagai gejolak kekuasaan dan saling ganti kememimpinan yang membawa arus dan ajaran berpikir dan beragama yang silih berganti, yang sangat memberi penjelas dalam memahami teks-teks dalam lontar yang terwariskan di Bali.
Membaca teks-teks lontar Bali tanpa melihat konteks historis, sosilogis dan politik yang melingkupi kelahiran dan keberadaannnya, kita akan buta. Teks-teks yang tidak kita pahaami konteksnya, sangat sulit kita pahami semesta makna dan fungsinya. Sangat sulit kita ambil hikmah dan faedahnya, terlebih-lebih ingin kita telan mentah-mentah untuk kita praktekan, atau jadikan pedoman keluarga atau pedoman diri. Bisa jadi kita senasib mengunyah obat atau makanan kadaluarsa, kita teracam terpapar keracunan atau mual. Buduh dan ngacuh.
Agar benderang terang melihat jaringan teks dan konteksnya dalam sejarah kerajaan-kerajaan Asia Tengara dan India, saya rekomendasi wajib hukumnya membaca buku karya Romo Zoetmulder berjudul: “Kalanguan ; Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang”, Jakarta : Jambatan, 1985, wajib dibaca untuk memperdalam pembahasan ini, juga dampingin dengan buku karya J.J. Ras berjudul ‘Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa’, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.
- Bacalah sesuai kebutuhan, bacalah tulisan peneliti sebelumnya.
Lontar-lontar di Bali dan Jawa telah dipetakan oleh Theodore G. Th. Pigeaud, serta para peneliti lainya. Dijabarkan demikian luas topik dari masing-masing semua lontar di Bali, di antaranya:
– Agama — pedoman dan pijakan dalam menjalankan agama, termasuk dalam penegakan nilai agama dalam konteks bernegara
– Aji — instruksi, ajaran, umumnya bersifat tutorial kebatinan
– Aksara — penggunaan bijah atau biji aksara dalam ritual dan ‘nyasa’ (menginstall aksara secara batin)
– Awig-Awig — peraturan desa, subak, dan kelompok
– Babad — narasi bersifat kesejarahan yang penuh mitos, kadang tidak sejarah faktual
– Cacingkraman — semacam senandung, bisa “pengantar tidur”, kadang bersifat nyanyian untuk ruh gaib yang kadang mengoda atau menganggu
– Carcan — table atau buku panduan dalam melihat sifat atau kualitas binatang, permata, keris, dan termasuk juga prilaku manusia
– Dharma — ajaran moral dan instruksi keagamaan
– Gaguritan — puisi dalam metrum macapat
– Indik — perihal atau sesuatu yang bersifat spesifik
– Kabuddhan — ajaran filsafat Buddhism dan teknis yang memberikan petunjuk memahami dana atau memasuki alam kebuddhaan.
– Kajang — rajah (drawing) bija aksara suci untuk penutup mayat (layon)
– Kakawin — puisi dalam metrum tembang India
– Kamoksan — ajaran filsafat dan teknis yang memberikan petunjuk mencapai atau memasuki pengalaman batin sampai tingkat moksa
– Kanda — risalah prosa
– Kaputusan — resolusi dan ajaran
– Kawisesan — ajaran
– Kawitan — genealogi dan pedoman pemujaan atau kebaktian ditujukan untuk roh para leluhur
– Kawruh — pengajaran agama
– Kidung — puisi dengan meter Jawa pertengahan
– Krakah — penggunaan huruf suci dalam ritual
– Krama — adat istiadat dan sopan santun
– Lalampahan — skrip pertunjukan
– Lalintih — silsilah
– Maarti — terjemahan interlinear, biasanya Kakawin Maarti sebagai pedoman dalam ‘mababasan’ (mengartikan dan menginterpretasi) sebuah kakawin
– Mantra — formula dan doa
– Niti — aturan kenegaraan dan etika bernegara atau bermasyarakat
– Padalangan — wayang kulit dan praktek ritual dalang
– Pamancangah — kisah sejarah dalam prosa dan puisi
– Panerang — ilmu menghentikan hujan
– Pangayam-ayam — ilmu tentang sabung ayam
– Panugrahan — ajaran atau ilmu batin dari guru suci
– Parikan — ringkasan naratif dalam bahasa Bali yang lumrah dipakai umum
– Parwa — narasi prosa Jawa Kuno
– Pengeling — catatan pengingat peristiwa sejarah
– Pengleakan — ajaran ilmu magis terkait urusan bagaimana masuk-keluar ruh manusia
– Puja — himne dan doa dalam bahasa Jawa Kuno dan bercampur dengan Sansekerta
– Purana — risalah agama
– Sasana — pedoman perilaku dan moral
– Satua — cerita rakyat
– Siksa — tanda-tanda pembawa keberuntungan
– Silakrama — perilaku dan moral
– Tatwa — risalah filosofis
– Teges — eksegesis
– Tenung — ilmu gaib, ramalan dan horoskop
– Tingkah — perilaku dan moral
– Tutur — risalah religius dan kefilsafatan
– Usada — obat-obatan, umumnya herbal
– Usana — narasi sejarah dalam bentuk prosa
– Wariga — perihal baik buruk hari dan upakara atau ritual yang dilakukan pada hari-hari tertentu, ada juga berisi ramalan sifat manusia yang dibawa sebagai akibat pengaruh hari kelahirannya
Karena sedemikain luas isi dari lontar-lontar di Bali, jika ingin memasukinya sebaiknya membaca dengan baik hasil-hasil penelitian atau kalau bisa disertasi terkait lontar yang ingin ditekuni. Beberapa nama peneliti tangguh yang wajib dibaca dalam menekuni lontar-lontar di Bali adalah: Van Der Tuuk, R. Goris, J. Gonda, T. GOUDRIAAN, C. Hooykaas (dan I G.K. Sangka dkk), Raghu Vira dkk., Rai Sudharta dan I Gede Sura. Sangat penting membaca pemetaan dan karya-karya Theodore G. Th. Pigeaud. Jika ingin lapang dalam memasuki belantara teks-teks yang menyusun lontar-lontar yang terwariskan di Bali: Wajib hukumnya untuk membuntuti semua sepak terjang, artikel-artikel dan buku-buku C. Hooykaas.
Dengan mengucap: “Om Avighnamastu”, semoga kita dimudahkan dalam memasuki teks-teks lontar. Semoga pikiran, mental, batin dan jiwa kita dimerdekakan, terbebas dari “vighna” halangan, keterpurukan dan kegelapan pikiran kita. Semoga pikiran kita jembar, tak terjebak mitos dan klenik, dan tetap waras. Semoga dilapangkan dalam segala tindak. (T)
Catatan Harian 4 Oktober 2018