NAMANYA Pak Ogah. Saya mengenalnya saat bekerja sebagai wartawan sebuah koran harian di Denpasar, setiap minggu pagi meliput kegiatan Podium Bali Bebas Bicara Apa Saja (PB3AS), sebuah forum tempat masyarakat Bali berbicara dan menyampaikan berbagi hal yang kemudian akan ditanggapi oleh pemerintah yang diadakan seminggu sekali di Lapangan Renon, Denpasar.
Lelaki yang agak misterius karena menyembunyikan identitas aslinya ini kerap naik ke podium dan bercerita hal yang mengganjal pikirannya, mulai dari aktivitasnya mengatur lalu lintas di beberapa wilayah di Denpasar hingga hal “berat” seperti usulan untuk meninjau kembali pembagian pendapatan Bali dan pusat yang menurutnya kurang adil. Saat berorasi Pak Ogah begitu bersemangat, ia membawa megaphone miliknya dan menjadi perhatian para pengunjung.
Aktivitas Pak Ogah sehari-sehari sebagai aktivis lalu lintas. Sebutan yang jarang kita dengar, mungkin ia satu-satunya di Bali. Jika di daerah lain pengatur lalu lintas di jalan raya meminta imbalan berupa uang, tidak demikian dengan Pak Ogah.
Ia mengatur lalu lintas setiap hari di berbagai ruas jalan di Denpasar secara cuma-cuma alias gratis. Tak ada yang membayarnya sama sekali. Pak Ogah sepertinya melakukan apa yang orang Bali sebut sebagai ngayah, bekerja suka-rela tanpa mengharapkan hasil baik berupa materi atau sekadar ucapan terima kasih. Pak Ogah bisa dibilang orang biasa yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kondisi sekitar.
Jalanan Denpasar semakin hari penuh dengan kendaraan, baik mobil atau motor. Tak aneh jika ada yang menyebut Denpasar makin mirip Jakarta yang kerap macet di sana-sini. Kehadiran pak Ogah bagai oase di kegersangan kota. Saat terjadi kemacetan di ruas jalan terutama persimpangan Pak Ogah dengan sigap mengatur lalu lintas, lengkap dengan pluit dan tongkat pengatur lalu lintas. Mirip polisi atau petugas Dishub yang memang mempunyai tugas mengatur lalu-lintas.
Bedanya Pak Ogah warga sipil yang tak berseragam. Hanya dengan celana pendek dan baju kaos yang dominan berwarna hitam ia datang dan hadir menjadi mitra petugas dalam mengatasi kemacetan, tak hanya di jalan kecil namun juga di jalan besar yang sering macet terutama di waktu pagi saat orang-orang berangkat atau sore hari saat jam pulang kerja.
Pak Ogah bekerja memanfaatkan kecanggihan teknologi. Ia mengetahui ruas-ruas jalan yang macet melalui aplikasi Google Maps yang ada di ponselnya. Saat menemukan ruas jalan yang macet ia segera meluncur ke lokasi dan dengan sigap mengatur lalu lintas, Aktivitasnya dapat kita lihat melalui fanspage Facebook miliknya, Pakogah Tamanpancing.
Di sana ia sering mengirim kabar tentang daerah mana saja yang mengalami kemacetan dan memberi himbauan kepada pembaca untuk mencari jalan alternatif agar tak terjebak kemacetan. Sebagai aktivis ia juga bergerak ke tempat-tempat yang mengalami bencana alam, seperti saat erupsi Gunung Agung beberapa waktu lalu ia turut terjun ke lokasi pengungsian dan melakukan apa saja yang menurutnya bisa membantu meringankan beban pengungsi.
Pak Ogah juga datang ke wilayah lain di Bali seperti Jembrana dan Buleleng, membersihkan reklame liar yang dipasang di sembarang tempat atau mencabuti paku-paku yang tertancap di pohon-pohon perindang jalan.
Apa yang dilakukan bisa jadi bagi orang awam adalah hal yang “gila”, sebab tak banyak yang mau melakukannya. Pekerjaan yang membuang-buang waktu dan tenaga, di zaman sekarang mana ada orang yang bekerja tanpa mengharapkan imbalan materi, begitu mungkin yang terbersit di benak warga kota Denpasar atau bagi mereka yang mengikuti aktivitasnya melalui Facebook.
Tapi begitulah Pak Ogah. Ia bukan tokoh Pak Ogah dalam cerita Si Unyil yang sedikit-sedikit minta uang. Pak Ogah berbeda, ia melakukan semuanya dengan ikhlas. Penghasilan Pak Ogah hanya dari toko alat musik kecil yang ia buka. Sosok bersahaja seperti Pak Ogah jarang ada di zaman sekarang, tak mengharapkan imbalan dari kerja keras mengatur lalu lintas yang tak luput dari resiko.
Perlu lebih banyak orang seperti Pak Ogah untuk mengatasi kemacetan yang makin parah akibat pertumbuhan kendaraan bermotor yang semakin tinggi. Denpasar perlu seratus Pak Ogah, jika masalah kemacetan tak dicari jalan keluarnya, entah dengan membatasi pertumbuhan kendaraan bermotor atau membuat sistem transportasi publik yang tepat sasaran, nyaman dan murah sehingga warga kota Denpasar tak hanya mengandalkan kendaraan pribadi saat bepergian. Bravo Pak Ogah, jasamu begitu besar. Semoga selalu sehat dan bersemangat menjalani hari. (T)