KEHILANGAN menjelma kutukan bagi yang terlanjur merasa memiliki. Yang dimiliki berlaku berbeda, ia ingin bebas dari rasa dimiliki dan memiliki. Merasakan segalanya adalah milik, membuat tubuh semakin berat. Lebih berat dari rindu tentu. Tapi rindu tidak selalu terasa berat, sebab ia memberikan kesempatan kepada hati untuk mencari dan menanti. Bukankah berat atau pun ringan hanya tentang cara menjalani?
Maka seseorang berhak untuk menasbihkan dirinya sebagai apa saja, jika dari dalam dirinya telah tumbuh pengakuan-pengakuan. Ada orang yang selalu saja mengaku gelisah. Gelisah tentang ini dan itu, maka dikatakannya begini begitu. Banyak hal yang menjadi benih kegelisahan.
Perubahan, kata yang bermakna jika dimaknai. Sekaligus juga tidak bermakna apa-apa jika tidak dimaknai. Makna lebih sering dicari-cari pada kata, dan bukan pada pikiran masing-masing. Katakan kata ‘perubahan’ hari ini, kemudian pikirkan kembali esok hari. Tanyakan kepada bayangan di cermin, apa yang berubah?
Kebanyakan orang yang mengaku modern belum siap dengan perubahan, padahal ia sendiri berasal dari perubahan itu. Karena belum siap, maka kemudian muncullah kegelisahan. Kegelisahan, dikatakannya datang dari luar. Orang-orang, alam, cara pikir, semua dikatakan berubah. Kadang [jika tidak sering] orang lupa, dirinya sendiri berubah.
Karena perubahan itu juga terjadi pada tubuh sendiri, pada pikiran sendiri, pada cara pikir sendiri, maka lebih sering lagi perubahan itu tidak disadarinya. Manusia memang sering melupakan hal-hal yang sangat dekat, sebab terlalu sibuk memikirkan yang jauh-jauh. Bukankah tidak banyak orang yang menyadari nafasnya?
Bagi saya, kegelisahan itu datang dari dalam. Yang datang dari luar adalah stimulus kegelisahan. Analoginya sama seperti rasa. Rasa itu ada di lidah. Enam rasa yang dikenal muncul akibat mendapat stimulus dari luar. Gula tidak disebut manis, jika lidah belum mencecapnya. Begitu pula rasa asin, belum jelaslah apa itu asin jika lidah belum menyecap garam. Sayangnya pada kasus itu, orang akan kesusahan menjelaskan masing-masing rasa itu kepada orang yang belum merasakannya. Begitu konon.
Apakah tidak benar menjadi gelisah? Tentu pertanyaan itu akan dijawab berbeda, oleh orang-orang yang berbeda pandangan. Perbedaan tidak hanya berada pada tingkat jawaban, tapi juga penyikapan. Jawaban saya pada pertanyaan itu, adalah TIDAK. Gelisah bukanlah bentuk kesalahan. Laut pun gelisah di permukaan, tapi konon tenang di kedalaman. Demikian saya diajar dan belajar. Pikiran, kadang sama dengan laut. Penuh riak, ombak, debur, gemuruh dan sebagainya, dan seterusnya.
Perubahan, kegelisahan, penyikapan adalah tiga kata kunci yang penting untuk dipikirkan dan dipahami. Ketiganya juga penting untuk dialami. Kata perubahanlah yang menjadi salah satu sebab kegelisahan, oleh karenanya maka dicari-carilah cara menyikapinya.
Selain berubah, ada satu lagi yang sering dilupakan orang-orang [baca: saya]. Satu kata itu adalah mengubah. Tiap-tiap orang juga memiliki peran mengubah. Maka tiap-tiap orang juga adalah pelaku dari suatu hal yang membuatnya gelisah. Manusia, adalah insan berubah sekaligus mengubah, disadari atau pun tidak. Singkatnya, manusia gelisah karena dirinya sendiri.
Lalu sekarang saatnya saya bertanya kepada diri saya sendiri, apakah saya termasuk orang yang gelisah? Sungguh malang nasib saya ini, sebab pertanyaan tadi tidak dapat saya temukan jawabannya. Kemana harus dicari jawaban itu? Mungkin saja, jawabannya telah tersedia pada pertanyaan tadi.
Akibatnya, saya hanya bisa berharap, semoga saya memahami betul tentang segala yang telah saya tulis. Lebih lagi tentang segala yang disebut ‘kasih’. Semoga hidup mengajarkan rasa kasih lebih dalam pada kematian, juga sebaliknya. (T)