SANUR
Apa yang kukenang darimu
Ayah mengajakku ke sini
sewaktu kecil dulu, libur
sekolah ke luar kota
Ayahku sopir taksi
Dibawanya aku berkeliling
Siang hari pergi ke Sanur
Berteduh di pinggir pantai
Sebotol teh temani kami
Ombak jilati kenangan
Ayah baru saja dapat tamu
Kabar gembira bagi ibu
dan kakakku di kampung
Kami jadi bisa bayar SPP
Setelah lama menunggak
Namun ada kabar sedih
Ayah akan di-PHK
Perusahaan kolaps
Ayah dan kawan-kawan
berdemo tuntut keadilan
Nasib kami di tangan
korporasi, kaum buruh
selalu kalah dan mengalah
2018
SERENADE
Restoran ramai pengunjung. Lagu Sayang Via Vallen sayup-sayup terdengar. Di sudut ruangan anak-anak bermain riang. Jemarimu menari di laptop, menulis entah apa.
Tahun baru telah berlalu. Setelah pesta di malam penghujung tahun kita kembali berjumpa dengan rutinitas, kecemasan dan kegelisahan. “Sudahkah kau bahagia hari ini?” Pertanyaan janggal dari seorang kawan yang baru berpisah dengan istrinya. Sebab kebahagiaan itu datang dan pergi maka itu aku tak terlalu percaya padanya.
Kau ingin aku meramal masa depanmu. Kubuka kartu tarot, kulihat pedang berhamburan dari dalam kartu dan aku menjelma pangeran yang patah hati. Sudahlah, masa depan itu nisbi, semua tergantung saat ini. Apa yang kau tabur itu yang akan kau tuai.
Kau lalu memeluk dan menciumku lalu bergegas mengajakku pulang.
2018
SEUSAI PERAYAAN
Pesta telah usai. Simpan puja-puji yang kau terima, itu cambuk melecut kreativitas, bisa juga menjadi candu; kau menatap bayangmu sendiri dan jatuh cinta padanya.
Saatnya kembali ke dunia nyata; tumpukan buku berdebu, uang menipis, kekasih menunggu jemputan dan kucing yang merajuk saat kau pulang.
Minum obatmu, agar kau bisa tidur nyenyak dan tak terjaga hingga pagi menjelang. Tulis puisi untuk hilangkan gelisah, puisi yang tak selalu sendu. Tak perlu kau tunjukan wajah sedihmu, mereka akan tertawa karena cinta makin hilang di dunia yang kejam ini.
Pergilah ke mana hatimu ingin melangkah. Pulang ke rumah yang selalu terbuka bagi jiwa lelah dan terluka. Orang-orang menyukai kepolosan, bagai kanak-kanak belum mati dibunuh ambisi. Kembali menginjak bumi, disini dan sekarang, tak risau akan masa depan dan sesal masa lalu. Bergembiralah! Kabarkan cinta di setiap kata yang kau tulis. Dunia sepi tanpa penyair, pejalan sunyi yang berumah dalam hening.
2018
SANGHYANG AMBU
Sepasang kera menatap tajam
Saat kakiku tiba di warung
Kuhirup kopi dan udara perbukitan
Di sini, gunung dan laut begitu dekat
Alam indah menarik pelancong
Datang dan pergi, bawa kenangan
sepetak surga di negeri tropis
pada kartu pos yang dikirim
ke negeri jauh, kabarkan matahari
tak pernah padam atau pantai
perawan tak terjamah
Kudengar kesedihan
Tamu sepi karena erupsi
Periuk nasi tak terisi
Ekonomi hampir mati
Orang-orang pergi
Menjadi pengungsi
Tinggalkan desa
Sunyi-sepi terasa
Aku tak bisa menjawab
Aku tak tahu pasti
Pariwisata membuat
banyak pemuda
bermimpi
pindah ke kota
hanya untuk menjadi
pencuci piring restoran
atau pembersih kamar
Petani tak lagi diminati
Sawah-sawah dijual
Demi gengsi dan tradisi
Entah sampai kapan
ini terjadi
2018