PERNAH mendengar cerita bagaimana orang asing (yang dapat beasiswa dari negara-negara lain) yang mengenyam pendidikan di Amerika, harus ikut mata kuliah wajib sejarah Amerika?
Sekalipun kuliah mengambil jurusan fisika atau teknologi, atau jurusan lain, tetap harus ambil kuliah sejarah yang telah menjadi semacam MKDU di sana. Kenapa diwajibkan? Diharapkan semua yang pernah mengenyam pendidikan di sana bisa mengerti nilai-nilai sejarah, perjuangan panjang demokrasi, atau singkatnya apa yang mereka sebut sebagai “American values”.
Kalau ikut kuliah di Bali apa yang diwajibkan? Bagaimana memperkenalkan atau mempertajam pemahaman Balinese values ke semua mahasiswa yang kuliah di Bali? Mustahilkah jika satu caranya lewat pengajaran bahasa Bali? Kenapa bahasa Bali diwajibkan, bukan agama Hindu saja?
Nilai-nilai kearifan Bali ada dalam pembendaharaan kata, ungkapan, cara bertutur yang baik dan santun, serta nilai-nilai yang terkandung dalam kesusastraannya. Karena itu menjadi penting ditimbang ide pengajaran bahasa Bali menjadi MKDU sebagai momentum untuk memperkenalkan dan memasuki kedalaman Balinese values lewat bahasanya.
Jadi mata kuliah ini bukan sekedar belajar memperkenalkan diri, berhitung, mengucap salam, belajar dasar sor-singih basa, tapi karena ini diajarkan di tingkat Perguruan Tinggi (sengaja saya tulis dengan huruf awal kapital) maka yang menjadi topik wacana atau teks bacaannya, sebaiknya yang lebih mendalam, seperti teks-teks kutipan sastra yang mendalam mengandung nilai-nilai kearifan dan filsafat lokal, kutipan awig-awig dan perarem yang menjadi bagian dari kehidupan sosiologis-historis dan kebudayaan secara lebih umum.
Dalam MKDU Bahasa Bali teks bacaan tentunya bukan “i kaki nunu sate” atau “i meme luas ke peken” tapi berisi teks bacaan kritis menyangkut (jika perlu polemik) awig-awig, perarem, usada, subak, wariga, petuah pernikahan (ini dimasukkan nilai-nilai kesucian pitekek pawiwahan atau nasihat pernikahan), model atau pola komunikasi interpersonal di tingkat banjar, profesi, dan sastra-sastra apa saja yang dipakai acara adat dan ritual. Ini bisa diringkas sedemikian rupa sehingga menjadi semacam wacana atau teks yang bersifat kumpulan teks terpilih yang bisa memberi gambaran umum kapita-selekta sastra-filsafat-adat dalam pola binggkai pengajaran Bahasa Bali selama satu semester. Teks-teks dipilih yang ringkas dan kritis.
Siapa yang siap mengajar? Siapa yang akan menyusun kurikulum dan pilihan teks bacaan MKDU Bahasa Bali?
Pengajar-pengajar sangat penting para dosen luar biasa yang sudah memakai bahasa Bali di tataran praktis, seperti Kelian Banjar, atau Bendesa dan Perbekel, atau para tokoh-tokoh mababasan, dan para pakar adat lainnya. Mereka yang dianggap mampu membagi pengalaman dan pengetahuannya tersebut diangkat atau dijadikan dosen tamu secara bergantian.
Mereka bisa diangkat dengan SK Dosen Luar biasa. Jika dinilai tidak mampu mengemban tugas mengajar secara formal, yang bersangkutan ditemani oleh sarjana lulusan Bahasa Bali atau Jawa Kuno, sehingga para sarjana ini di atas kertas dicatat atau diangkat sebagai dosen oleh Perguruan Tinggi tapi kenyataannya mereka semacam asisten dosen, yang menjadi “dosen sesungguhnya” adalah para dosen tamu dari tokoh adat dan sastra, tokoh mabebasan, tokoh-tokoh lainnya tersebut.
Dengan demikian juga, melalui mengangkat “dosen luar biasa” para tokoh adat dan tokoh wirama atau mabasan semua Perguruan Tinggi terhubung dan turun dari menara gading untuk bisa terkait langsung dengan desa dan masyarakat Bali, sekaligus sebagai implementasi dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi masing-masing.
Bagaimana Kurikulumnya?
Penyusun kurikulum bisa berbentuk dewan pakar yang paham teks-teks sastra kuno dan adat Bali, para praktisi kakawin dan mababasan, seniman pertunjukan yang ahli dalam bahasa, ditambah para pakar komunikasi sosial dan pakar pengajaran kebahasaan. Dewan pakar ini yang menyusun pedomanan MKDU Bahasa Bali sehingga pola pengajaran menjadi ‘terarah’ dan bisa menjadi panduan dalam pengajaran yang sekiranya diampu oleh para dosen luar biasa tersebut.
Kurikulum atau buku panduan ini adalah koridor pengajaran yang bisa dikembangkan oleh masing-masing universitas tergantung mahasiswa jurusan yang mengikuti kuliah MKDU Bahasa Bali.
Sebagai contoh, jika yang mengikuti MKDU Bahasa Bali ini adalah mahasiswa jurusan kedokteran maka bisa mengundang ahli usada atau yang paham usada, para ‘balian usada’ yang berpengalaman. Disini dibuka tanya jawab dan dialog tentang ‘bahasa diagnosa’ dalam bahasa Bali. Kalau memungkinkan bisa selintas dibahas lontar Taru Pramana yang berisi tuntunan pengobatan tradisional untuk sekedar kenal sepintas ulasan umum saja dan disampaikan dalam bahasa Bali.
Jika yang ikut dalam kuliah adalah mahasiswa pertanian, maka lontar Pamaculan bisa menjadi topik tentang subak dan ritual subak. Pengajar kuliah bisa mengundang Kalian Subak, Pekaseh, atau Sedahan Agung.
Jika yang ikut kuliah adalah mahasiswa seni pertunjukan, sudah jelas ini MKDU Bahasa Bali bagi menyokong seni pertunjukan, sangat relevan mengundang para seniman atau mengangkat dosen luar biasa dari kalangan seniman.
Jika yang ikut adalah mahasiswa jurusan matematika, alangkah baiknya mengundang ahli wariga dan menjadikan pengenalan kalender Bali sebagai bagian teks bacaan khusus atau menjadi topik diskusi dalam perkuliahan. Wariga dan kalender ini juga menarik sekali dikenal dan dibahas oleh para mahasiswa informatika, dan sains lainnya.
Jika yang ikut mahasiswa jurusan arsitektur atau sipil bisa mengundang undagi, tukang ukir, dan ahli kosala-kosali, dan membahas teks atau lontar asta kosala-kosali, belajar ke undagi di pedesaan, tentang arsitektur desa atau vernacular architecture dengan berbagai peristilahan material dan teknik lokal Bali-nya, dan seterusnya. Semua jurusan bisa mengembangkan panduan umum tersebut sesuai konteks jurusannya dalam mengajarkan MKDU Bahasa Bali.
Apakah ini muluk-muluk?
Tidak. Ini biasa saja. Kami (baca: saya) biasa diundang membahas berbagai teks bacaan dari kutipan lontar (yang saya kutip sendiri dan pilih sendiri) untuk keperluan pengajaran dan perkenalan budaya Bali ke mahasiswa-mahasiswa Amerika, Australia, Jepang, dan lain-lain yang berminat mengikuti kuliah di Bali atau bersiap melakukan penelitian sosial budaya di Bali. Semua teks bacaan atau wacana itu kami sampaikan (sayangnya) bahasa Inggeris.
Alangkah idealnya jika teks bacaan dan wacana itu disampaikan dalam bingkai pengajaran MKDU Bahasa Bali, di hadapan mahasiswa Indonesia, dan disampaikan oleh para ahli yang bekerja nyata dengan bahasa Bali itu sendiri, seperti kelian desa, pemangku, bendesa, prajuru adat, kelian subak, pekaseh, sedahan agung, balian, seniman pertunjukan, tokoh wirama dan bebasan, serta para pakar adat dan mereka yang punya jam kerja pengabdian yang jelas di tengah masyarakat; dan semua itu didampingi oleh “asisten dosen” para lulusan atau alumni jurusan bahasa Bali atau Jawa Kuno yang dinilai punya potensi.
Dengan demikian MKDU Bahasa Bali menjadi “berisi” bukan sekedar “bualan”. Tentu tidak elok dan kebus dingin membayangkan MKDU Bahasa Bali berkutat dengan “i kaki nunu sate”, atau sor singgih yang tidak kontekstual.
Peluang dan Tantangan
Peluang dan ide untuk menjadikan Bahasa Bali sebagai MKDU di Perguruan Tinggi adalah kesempatan emas dalam ‘menjajal diri kita bersama’ (silahkan baca: para alumni jurusan Bahasa Bali dan Jawa Kuno) untuk memasukkan bahasa Bali menjadi “bahasa akademik”, “bahasa pemikiran”, “bahasa yang bisa mengakomodasi kemungkinan perubahan social” (bahasa perbaikan dan tinjauan kembali bahasa hukum yang copy dan paste dari sekian banyak awig-awig yang dibuat tergesa-gesa); tantangan dan uji coba diri kita sebagai pewaris bahasa Bali untuk bertarung secara linguistika dan kesastraan ke dalam ranah pertarungan dunia ajar berpola ajar modern (kampus atau Perguruan Tinggi); tantangan buat para pemikir Bali untuk lebih jauh membagi dan mewariskan, jika bisa mengembangkan dalil pemikiran baru, sebagai terkadung dalam berbagai teks berbahasa Bali yang kita warisi.
Jika tantangan ini dilepas begitu saja, atau kurang cekatan menanggapinya, apalagi penuh pesimis, jangan pernah salahkan bahasa Bali, dalam dua atau tiga generasi kedepan, akan kehilangan penutur dan kehilangan pewaris rasa-basa yang dinilai penuh tuntunan filosofis (dan mitis ini dalam seha atau seseontengan).
Usulan menjadikan bahasa Bali sebagai MKDU, jika digarap dengan penuh sungguh serius, tidak lain bisa berpotensi menjadi peluang dalam ngastitiang pianak sebagai pewaris bahasa Bali (berserta berbagai kandungan filosofis dan sesuluh hidup lainnya) dan menjadi jalan ibadah bakti ring leluhur (yang telah mewariskan tradisi Bali yang banyak manfaatnya bagi kehidupan — itupun jika kita sepakat bahwa tradisi ini bermanfaat).
Bercermin ke belakang: Pernahkah mendengar ada perdebatan ketika bahasa Inggeris dimasukkan MKDU di ‘zaman old’? Siapa yang akan mengajarkan nantinya? Tidakkah ini akan merongrong nasionalisme?
Di era nasionalisme sedang ditumbuhsuburkan, pengajaran bahasa Inggeris konon dicibir oleh oknum-oknum. Konon kelompok optimis, dengan segala keterbatasannya bergerak, tetap memasukkan bahasa Inggeris dalam MKDU. Akhirnya diterima, sekarang dianggap biasa saja kalau mengajarkan bahasa Inggeris sebagai MKDU. Bahkan berkembang bukan hanya bahasa Inggeris, bahasa Jerman, Jepang, bahkan Arab, masuk dalam pilihan MKDU.
Tidak sampai di sana, anak TK dan SD, yang tak punya pengajar dan kesiapan bahan ajar seakan aut kelor atau mungkin bisa kita cibir (?) segilik-seguluk mengajarkan bahasa Inggeris kepada balita di Bali? Balita di Bali kini, yang belum bisa berbahasa Bali dengan memadai, dipotong “ngandang” dengan bahasa Inggeris. Otaknya jadi “serigat”. Mengajarkan bahasa Bali di Perguruan Tinggi setidaknya sebuah reset atau refreshment atau setting ulang kepala buat mahasiswa-mahasiswa berlatar keluarga Bali yang “otaknya serigat” tersebut.
MKDU Bahasa Bali ini pasti akan dicibir pada awalnya, tapi harus siap dengan jurus “anjing menggonggong, kafilah berlalu”, seperti halnya pengajaran bahasa Inggeris sebagai MKDU atau Inggeris di SD atau TK. Seiring waktu ini akan dinilai biasa aja, kali. Bahasa Arab telah diajarkan, bahasa Latin juga ada yang mengajarkan di Perguruan Tinggi di Indonesia, bahasa Bali? Kenapa tidak?
Saya bukan partisan politik, bukan pengkaji demokrasi, tapi saya yakin jika hari ini diadakan penyoblosan: Setujukah diadakan mata kuliah wajib Bahasa Bali di Perguruan Tinggi di Bali? Setuju atau tidak.
Saya yakin penduduk Bali akan satu suara memilih atau mendorong bahasa Bali diajarkan di PT di Bali. Tapi… Eit… Perguruan Tinggi pasti resisten: Dana dari mana? Kurikulum bagaimana? Koordinasi dengan pusat bagaimana? Nah… [Ide ini masuk pasal dalam Ranperda, artinya ada kewajiban bantuan dana dari Pemda dan bisa lewat DAU atau DAK. Perguruan Tinggi perlu kolaborasi dengan Pemda, karena banyak pakar di kampus, ini tentu bukan kerja berat, pastilah buat dosen-dosen ini CGT, kecuali kelompok pesimis]. Saya juga yakin jika para peneliti asing dari seluruh dunia yang pernah meneliti Bali diajak nyoblos mereka akan satu suara setuju.
Bahasa Bali menjadi sangat mendasar dalam riset-riset kebudayaan Bali. Baik dilakukan oleh peneliti dalam negeri atau luar negeri jika ingin memasuki dunia pikir atau alam pikir manusia Bali maka bahasa Bali menjadi salah satu jembatan utama.
Pernah membaca atau mendengar polemik dua ilmuwan besar yakni C. Hooykaas dan C. Geertz, yang keduanya meneliti dan peneliti besar yang mengambil Bali sebagai lapangan pergulatan teoritikal dan kajian mereka? Silahkan googling dan akses jurnal Archipel. Jika belum pernah membaca atau mendengarnya, silahkan baca rinci, dan setelah membacanya, ayo kita bersama-sama menimbang ide memasukkan bahasa Bali sebagai MKDU.
“Memetik Untung”
Ada beberapa tokoh pemikir dunia, selain C. Hooykaas dan C. Geertz, yang “memetik untung” dari pentingnya menguasai bahasa Bali dalam riset dan mengembangkan teori-teori dan kajian ilmiah, diantaranya: Unni Wikan, studinya yang terbit dengan judul: Managing Turbulent Hearts: A Balinese Formula for Living (University of Chicago Press, 1990), yang kental mempertaruhkan kemampuannya menganalisa secara social anthropology, studi etnografinya banyak interview yang sangat mendalam bahasa Bali, bahasa di Buleleng, ada kesan bahasa “Bulelengan” dalam interviewnya, telah mengantarkannya diakui sebagai professor social anthropologi ternama, mengajar di the University of Oslo, Norway, visiting professor at the University of Chicago (2011), Harvard University (1999-2000), Goethe University, Frankfurt (2000), London School of Economics (1997), École des Hautes Études en Sciences Sociales, Paris (1996).
Buku itu buah kajian yang sangat mencengangkan di tengah “keterbatasannya” berbahasa Bali. Pakar atau profesor Indonesianis, untuk menyebut beberapa nama yang saya kenal secara pribadi saja: Thomas Hunter, Adrian Vickers, Peter Worsley, Helen Cresse, Hedi Hinzler, Adrian Vickers, Annette Hornbacher, Hara Mayuko, dstnya, yang mengajar dan meniti posisi karirnya tidak terlepas dari kemampuannya berbahasa Bali.
Nama-nama lain yang kiprah dan karirnya secara akademis di dunia internasional yang tidak lepas dari kemampuannya berbahasa Bali bisa saya deret berpanjang-panjang. Dengan adanya pengajaran MKDU Bahasa Bali di perguruan-perguruan tinggi di Bali, saya yakin, nama-nama itu akan bisa diperpanjang, kelak. [Ayo optimis]. Akan ada ruang untuk menoleh ke dalam diri dan ‘bernostalgia’ bagi mahasiswa berlatar keluarga Bali, akan ada pintu gerbang selayang pandang ke dalam budaya Bali, secara umum bagi mahasiswa luar Bali atau asing, yang nantinya mengenyam MKDU Bahasa Bali.
Bukan Formula Ajaib
MKDU Bahasa Bali tentunya bukan formula ajaib yang bisa mengobati berbagai penyakit sosial, bukan juga sebuah ‘barang sobean’ yang terjamin akan sertamerta menggangkat harkat martabat dan langsung mempercerdas manusia Bali. Ini sebuah peluang yang membutuhkan uluran pikiran dan uluran tangan-tangan para pemikir dan intelektual Bali untuk menyalakan lilin di tengah kegelapan, dibandingkan mengutuki gelap.
Jangka pendek, yang sangat taktis, bahwa kemunculan MKDU Bahasa Bali adalah sebuah ‘political statement’ di tengah suasana kebangsaan yang berusaha menjalin dan merawat kebhinnekaan, di tengah kebhinnekaan yang seakan tiada henti dikoyak-koyak. Saya tidak sedang memutar ulang jargon “Wawasan Nusantara” dan “kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah”, tapi hari ini situasi kebangsaan memerlukan uluran tangan yang mengikat kembali makna rumusan “Bhinneka Tunggal Ika” di Garuda Pancasila, maka MKDU Bahasa Bali adalah sumbangsing dalam konteks politik terkini.
Bukan Hanya “Memecah Kebisuan”
MKDU Bahasa Bali, jika berhasil secara isi dan pelaksanaan, modul dan proses pengajaran, melibatkan tokoh-tokoh adat-budayawan, seniman, kelian adat dan kelian subak, dstnya, mulus perjalanannya dalam proses pengajaran di Perguruan Tinggi, maka ini, bukan hanya berpotensi “memecah kebisuan” relasi Perguruan Tinggi dengan desa pakraman dan masyarakat sekitar yang selama ini distempel beku, bukan hanya menjawab cibiran “universitas berada di menara gading”.
Bisa jadi MKDU Bahasa Bali akan menjadi model yang bisa direplikasi di universitas-universitas lain memasukkan bahasa daerah mereka sebagai MKDU mereka masing-masing tentunya disesuaikan dengan daerah-daerah di bentang katulistiwa yang khasanah kebahasaan dan kebudayaannya berlimpah kaya raya makna dan renungan.
Buku “Jero Tapakan”
Tertanggal 31 Maret 1986, terbit buku berjudul: Jero Tapakan: Balinese Healer: An Ethnographic Film Monograph dibuat oleh Linda Connor, Patsy Asch, Timothy Asch. Buku ini dilengkapi video dokumenter yang sangat kental bahasa Bali.
Jero Tapakan adalah balian/dukun/medium yang populer di pulau Bali. Buku dan video yang saling melengkapi ini mencatat dan mendokumentasikan para klien saat berkonsultasi dengan jero tapakan tentang berbagai masalah mulai dari penyakit fisik dan mental hingga pencurian, percintaan dan perceraian, dan masalah ritual.
Ini adalah sebuah studi yang sangat bergantung pada ketelatenan, kesabaran dan kemampuan yang terasah dalam menggali informasi yang hampir 100% dalam bahasa Bali, sebuah studi kasus penyembuhan yang menarik di masyarakat Bali, menarik di wilayah Asia Tenggara. Bukunya berpengantar bahasa Inggeris, tapi interview dan dialog pasien dan jero tapakan dalam bahasa Bali. Studi ini mengintegrasikan perawatan pasien tertentu, juga refleksi Jero sendiri tentang kehidupan dan pekerjaannya.
Penyembuh Jero Tapakan, antropolog Linda Connor, dan pembuat film etnografi Timothy Asch dan Patsy Asch, berkolaborasi dalam penelitian ini, dalam produksi buku dan film, dan telah menjelma menjadi sebuah studi yang langka. Akademisi-pembuat film-jero tapakan telah menghasilkan kaset video yang menjadi bagian terintegrasi dari sebuah buku kajian dan sekaligus dokumentasi berharga interview berbahasa Bali.
Buku dan video ini adalah bukti bahwa bahasa Bali adalah ‘bahasa penyembuh’, ‘bahasa konsultasi kesehatan fisik dan jiwa’, ‘bahasa manusia dan bahasa leluhur’, ‘bahasa makhluk genyatangan dan bahasa para dewa’; menyaksikan-membacanya kita akan terpukau, dan bagi orang-orang yang tertarik pada sistem medis alternatif, di manapun di kampus-kampus di dunia, tidak bisa lepas untuk melihat video dan buku ini yang ‘berbahasa Bali’ dan disajikan secara ilmiah yang penting kontribusinya, dan inovasinya, dalam mengembangkan metodologi etnografi.
Lalu, apa hubungannya video dan buku jero tapakan dengan MKDU Bahasa Bali? Silahkan ditimbang, tentunya, dengan timbangan masing-masing. (T)
Catatan Harian 7 Pebruari 2017
* Catatan ini ditulis setelah membaca berita ada usulan Bahasa Bali diusulkan menjadi MKDU, dan DPRD Bali beserta para pakar dan pemerhati yang pendulu bahasa Bali sedang membahas masukan terhadap revisi Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 3 Tahun 1992 tentang Bahasa, Aksara dan Sastra Bali.
* MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) atau pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendidikan ini diperlukan di dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi karena keberadaannya bisa dibilang penting dalam mendampingi mata kuliah utama sesuai jurusan. Adapun mata kuliah dasar ini diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan ketakwaan kepada tuhan yang maha esa, kecerdasan, keterampilan, budi pekerti, kepribadian, dan sebagainya. Tujuan MKDU? Dalam ilmu sosial dasar disebutkan beberapa tujuan mata kuliah dasar umum, yaitu sebagai usaha membantu perkembangan kepribadian seorang mahasiswa agar mampu berperan di dalam anggota masyarakat, bangsa dan agama. Selanjutnya, supaya mahasiswa bisa lebih peka terhadap masalah-masalah dan kenyataan-kenyataan sosial yang selalu tumbuh dalam masyarakat. Dan yang ketiga dalam pembelajaran mata kuliah dasar umum yaitu mahasiswa diberikan kemampuan dasar supaya mahasiswa bisa berpikir secara interdisipliner. Pengertian dan tujuan MKDU ini saya ambil dari modul pengajaran MKDU. Melihat pengertian dan tujuan MKDU ini maka menjadikan Bahasa Bali sebagai MKDU, di Perguruan Tinggi di Bali, secara otonom sebagai bagian dari kebijakan Perguruan Tinggi atau lewat kesepahaman dengan Pemda atau Dinas terkait di daerah, tentunya sepengetahuan kementerian terkait, tidaklah sebuah hal yang mengada-ada.