TAHUN lalu. Tepatnya tanggal 25 Desember 2017, Mas Dedy, memberikan tiga buah buku kepada saya. Sebelum pulang kampung, katanya. Ketiga buku tersebut ialah: Sabda Palon (Kisah Nusantara yang Disembunyikan) karangan Damar Shashangka, Rahvayana karangan Sujiwo Tejo, dan Syeikh Siti Jenar karangan Agus Sunyoto.
Dari ketiga buku tersebut, yang paling menarik untuk saya baca pertama kali ialah buku yang sampulnya berwarna hitam dengan tebal 447 halaman. Ya, buku karangan lelaki yang terlahir di keluarga Kejawen, tepatnya kelahiran Malang, Jawa Timur. Dialah Damar Shashangka alias Anton M. Maharani. Lelaki yang sangat tertarik kepada mistisme dan spiritualitas semenjak kecil.
Saat masih berumur belasan tahun, ia memperoleh sebuah visi bahwa suatu saat dirinya bakal menulis banyak buku tentang sejarah dan ajaran-ajaran di Nusantara. Terbukti, banyak sekali karya yang telah ia lahirkan dan selalu menjadi referensi berharga tentang sejarah Nusantara berikut ajaran-ajaran kunonya. Dari berbagai karya monumentalnya, salah satunya ialah yang sedang saya tuliskan saat ini.
Novel Sabda Palon (Kisah Nusantara yang Disembunyikan) karangan Damar Shashangka adalah sebuah novel yang luar biasa bagi orang yang cinta akan kisah-kisah sejarah masa silam, saya misalnya. Seperti yang sudah dituliskan di belakang covernya, novel ini ditulis dengan narasi-narasi memuakau nyaris pada setiap babak, novel ini tak hanya mampu menyatukan keping-keping sejarag masa akhir kejayaan Majapahit yang tercecer dan terpendam, tetapi juga bakal menyihir Anda untuk memasuki Nusantara masa silam.
Tidaklah mudah membawa pembaca abad ke-21 kembali ke abad ke-15, yang berjejal aroma dupa, kemegahan pura, dan gadis-gadis yang masih bertelanjang dada. Tetapi, Damar Shashangka mampu melakukan itu dengan mempesona.
Tidak berlebihan ketika saya mengatakan bahwa, novel ini adalah sebuah novel yang luar biasa sekali lagi. Bagaimana tidak, dalam novel yang pertama ini—memang novel Sabda Palon ini pararel sampai ke-5—membuat saya terbelalak —tidak percaya—akan sejarah orang-orang jaman dahulu.
Seperti misalnya, Syeikh Maulana Maghribi adalah suami dari Raden Ayu Retna Dumillah yang juga istri dari Pangeran Santibadra alias Tumenggung Wilwatikta, yang kemudian perkawinan Syeikh Maulana Maghribi dengan Raden Ayu Retna Dumillah melahirkan seorang putra bernama Kidang Telengkas (Jaka Tarub), sedangkan perkawinan antara Raden Ayu Retna Dumillah dengan Tumenggung Wilwatikta melahirkan dua orang putra bernama Pangeran Santipuspa dan Pangeran Santikusuma alias Raden Said alias Sunan Kalijaga. Luar biasa. Saya tercengang membaca sejarah silsilah ini.
Bukan hanya itu, ternyata Syeikh Jamaluddin Syah Jalal adalah Syekh Jumadil Kubra dan kakak kandung Syeikh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), sedangkan Syeikh Ibrahim Al-Akbar (Syeikh Ibrahim Smarakondi) yang sekarang makamnya di Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban adalah anak dari Syeikh Jamaluddun Syah Jalal dan sekaligus keponakan Syeikh Maulana Malik Ibrahim.
Sampai kemudian, Syeikh Ibrahim Al-Akbar mempunyai tiga putra dan satu putri dari dua istri. Menikah dengan Chandravati (Puti Champa) melahirkan dua putera dan satu puri: Sayyid Ali Murtdlo (Raden Santri), Sayyid Ali Rahmad (Bong Swie Hoo/Sunan Ampel), Siti Zainab. Sedangkan, menikah dengan Putri Pasai melahirkan seorang putra bernama Syeikh Maulana Ishaq (Syeikh Wali Lanang).
Secara keseluruhan, novel ini bercerita tentang perjalanan Syeikh Ibrahim Al-Akbar ketika mencari keberadaan ramandanya, Syeikh Jamaluddin Syah Jalal yang mengembara ke tanah Jawa sekaligus menuruti permintaan Bhre Pangeran Kertabhumi, penguasa Keraton Keling, yang meminta agar Syeikh Ibrahim Al-Akbar menjadi guru besar di wilayah Majapahit, khususnya di wilayah Keraton Keling.
Perintah itu terjadi pada tahun 1445 Masehi, atas permintaan Bhre Krtabhumi, Syeikh Ibrahim Al-Akbar berlayar dari Champa menuju Jawa, diiringi Sayyid Ali Murtdlo dan tiga belas santrinya. Mengingat pertumbuhan kaum muslim yang pesat di pesisir Jawa, syeikh keturunan Samarqan itu didaulat untuk menjadi petinggi agama Islam di Keraton Majapahit.
Tetapi jung (perahu besar-red) Syeikh Ibrahim diamuk badai hingga terdampar di pantai Kamboja. Mereka ditangkap prajurit-prajurit Kamboja dan dipenjara oleh rajanya. Kabar perihal nasib rombongan Champa itu akhirnya sampai di Jawa. Dipimpin Raden Arya Bangah, tujuh jung tempur Majapahit, lengkap dengan meriam dan manjanik, segera meluncur ke Kamboja untuk membebaskan mereka. Pertempuran sengit pun meletus di Prey Nokor, salah satu pelabuhan besar Kerajaan Kamboja.
Halaman demi halaman sangat saya nikmati. Peperangan-peperangan, derap langkah kaki kuda, ringkikan kuda, sumpah serapah, seperti nyata saya melihat dan mendengarnya. Perang-perang heroik yang tak kalah menariknya dengan adegan-adegan film barat.
Seperti halnya pada pupuh I (bab I-red), Bumi Wilwatikta (1367 Saka/1445 M), menceritakan pemberontakan Raden Ranggalawe, penguasa Tuban, yang akhirnya terbunuh oleh Dyah Kebo Anabrang, seorang panglima angkatan laut Singasari yang baru datang dari Malayu dan tidak sempat ikut andil berjuang mendirikan Majapahit.
Namun, manakala Raden Ranggalawe terbunuh di medan peperangan oleh Dyah Kebo Anabrang, Raden Lembu Sora, paman Raden Ranggalawe yang menjabat sebagai rakryan mahapatih di Daha, wilayah kedua setelah Majapahit, tidak terima melihat keponakannya terbunuh. Serta-merta dia menyerang Dyah Kebo Anabrang. Terjadi pertempuran antara Dyah Kebo Anabrang melawan Raden Lembu Sora, dan berakhir dengan gugurnya Dyah Kebo Anabrang.
Adegan yang tertulis dalam novel ini begitu nyata, detai, dan membius pembaca untuk masuk seakan ikut serta dalam peperangan.
Saya semakin menikmati manakala Damar Shashangka mulai menceritakan tentang tanah Tuban, sebuah kadipaten, tanah kelahiran saya. Saya menjadi sedikit-banyak tahu tentang tanah kelahiran saya. Siapa yang menjadi adipati (bupati) pertama sampai sekarang, siapa silsilah para penguasa, tokoh, dan leluhur Bumi Ranggalawe itu.
Novel ini semakin menarik dengan bumbu-bumbu laga perkelahian, percintaan, kecemburuan, penghianatan, tumpah bersama kepingan, mozaik-mozaik yang tercecer kemudian menjadi satu kesatuan yang terangkai dalam novel bertajuk sejarah.
Sesuai judul novel, dalam novel Sabda Polan I ini, tidak banyak disinggung tokoh yang dijadikan judul novel, Sabda Palon. Dalam novel yang pertama ini, Sabda Palon dan Naya Genggong hanya diceritakan sebagai penasihat Pangeran Kerthabumi. Untuk siapa Sabda Palon dan Naya Genggong sebenarnya, kapan-kapan saya tuliskan rivew novel ketiga Sabda Palon: Geger Majapahit.
Sabda Palon dan Naya Genggong dalam novel yang pertama disebut dua punakawan sakti Bhre Kerthabumi, yang melihat dengan mata batinnya bahwa trah Majapahit akan lumpuh. Selama lima ratus tahun awan hitam akan menangungi Nusantara seiring datangnya para pembawa keyakinan baru yang bakal mengakhiri kekuasaan Majapahit.
Demi menjaga keutuhan Nusantara, Sabda Palon menasihati Bhre Kerthabumi agar mengambil selir dari Pulau Banda. Keturunan darinyalah yang akan membangkitkan kejayaan trah Majapahit dua ratus tahun kemudian. Raja muda itu pun mengawini Bondrit Cemara, seorang emban dari Pulau Banda. Dewi Amaravati, putri Champa permaisuri Bhre Kerthabumi, dilanda cemburu tak tertanggungkan hingga ia berencana membunuh Bondrit Cemara berikut janin yang tengah dikandungnya.
Novel sejarah yang ditulis oleh Damar Shashangka, seperti yang ditulis oleh pengarang dalam bagian Catatan Pengarang, tak lain bertujuan untuk merangkai puzzel-puzzel masa lalu yang terserak maupun bagian yang sengaja disembunyikan. Ketidaksetujuan terhadap beberapa bagian dari novel ini pasti akan muncul. Namun, mau tidak mau, jika kita ingin berubah, penulisan semacam ini mutlak dilakukan. Bukan untuk mencari siapa yang kalah, namun sekedar memberikan gambaran kronologis keterjerembapan awal kita pada kubangan keterpurukan semenjak tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi hingga sekarang, yang banyak disembunyikan selama ini.
Selain itu, novel ini ditulis untuk sekadar memberikan informasi siapakah Dang Hyang Sabdo Palon dan Dang Hyang Naya Genggong sesuai “wacana gaib” Nusantara yang sesungguhnya. Walau mungkin, karena tuntutan jalannya cerita yang mesti terintegrasi secara kronologis, maka pertanyaan di atas—siapa sebenarnya Sabda Palon dan Naya Genggong— baru akan terjabaw secara utuh pada lanjutan dari novel ini.
Akhirnya, saya akhiri tulisan ini, semoga dengan adanya tulisan ini, Anda lebih tertarik untuk mendalami sejarah leluhur Nusantara dengan lebih detail. Seperti apa yang telah diucapkan oleh Bapak Proklamator kita, Ir. Soekarno, Jangan Pernah Lupakan Sejarah! (T)