SAYA punya istri yang alergi pada asap. Apalagi saat tidur. Maka ia tak suka menyalakan obat anti nyamuk bakar, juga obat anti nyamuk lainnya yang berbau menyengat.
Tapi, setiap saya ingin menyalakan obat nyamuk bakar, ia melarang dengan alasan lain yang tak masuk akal.
“Tak usah bakar obat pembasmi nyamuk. Nyamuk ogah menggigit orang manis seperti saya,” katanya.
Saya mengalah, karena jika obat anti nyamuk dinyalakan, itu berarti saya tak mengakui istri saya manis. Jika sampai tak diakui manis, bukan hanya akan terjadi debat kusir, tapi pertengkaran kusir sampai pagi. Nah, jika demikian kami tak akan bisa ngapa-ngapain. Memangnya mau ngapain? Ya, tidur.
Saya pun tidak menghidupkan obat pembasmi nyamuk dan kami tidur dengan nyenyak. Mungkin karena memang lelah.
Tak tahulah kami ternyata ada serangan nyamuk di malam hari. Serangan demi serangan mulai diluncurkan si nyamuk nakal ke tubuh kami. Mungkin dengan peluru kendali yang sangat bisa meluncur secepat kilat.
Besoknya, pukul 06.00 wita, saya terbangun dari tempat tidur. Sudah terbiasa baru bangun kami ke kamar kecil lantaran kamarnya hanya memiliki luas dua kali dua, termasuk di dalam toilet temat untuk buang air kecil dan buang yang lain-lain.
Betapa terkejutnya, saat kami berada di depan cermin yang terpasang di kamar mandi, beberapa tubuh saya benjol mungkin karena gigitan nyamuk. Benjolan yang ada di tubuh saya bagaikan puting susu seorang perempuan dewasa yang menghiasi di seluruh tubuh saya.
Saya memandangi tubuh istri saya yang masih tertidur, dan tubuhnya juga penuh benjol merah. Saya langsung membangunkan istri dan mengatakan ternyata nyamuk berani menggigit orang manis.
“Nyamuk ternyata menggigit orang manis juga. Lihat tubuh saya benjol lantaran digigit nyamuk. Lihat juga tubuhmu. Artinya nyamuk tak memandang siapa, bahkan orang manis seperti kamu,” kata saya.
Istri saya dengan santai bilang. “Itu artinya orang manis disayang nyamuk, maka mereka menggigit. Mungkin, biar nyamuk ikut manis!” kata istri saya samba bangun dari tempat tidur.
Saya bodoh atau istri saya yang manis itu yang bodoh. Tapi soal istri saya benar manis atau tidak, itu sebenarnya bukan soal. Karena jika itu dipersoalkan maka hubungan rumah tangga bisa retak. Retorika dan dialektika dalam rumah tangga itu memang harus dijaga. Seberapa pun pahitnya retorika itu.
Tapi nyamuk tak kenal retorika dan dialektika. Ia bisa menggigit siapa saja. Pernah dengar walikota masuk rumah sakit karena demam berdarah? Iya, itu, walikota masuk rumah sakit karena digigit nyamuk. Sang bapak walikota bisa saja menjaga rayuan pada istri agar tak digigit (adalam arti sebenarnya), tapi tak bisa merayu nyamuk, apalagi melarangnya dengan kekuasaan sebagai walikota.
Maka inilah pesan yang amat klise dari tulisan ini. Bahwa marilah menjaga diri agar tak digigit nyamuk jika tak ingin masuk rumah sakit karena terkena demam berdarah.
Mari saya kutip omongan seorang pejabat penting di dinas kesehatan di sebuah kabupaten. “Jika tak ingin kena demam berdarah, ya hindari gigitan nyamuk!” Mudah bukan?
Memang mudah, karena omongan pejabat itulah saya selalu waspada terhadap nyamuk dan selalu menghindari kontak dengan nyamuk. Apalagi pada pergantian musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya. Saya, jika tidur, atau ngobrol di teras, atau pergi ke kebun selalu menyiapkan diri dengan obat pembasmi nyamuk.
Tapi itulah, ketika tidur bersama istri, saya tak diijinkan menyalakan obat pembasmi nyamuk bakar. Alasannya, ya , itu tadi. Nyamuk ogah menggigit orang manis. Dan jika direnung-renungkan, istri saya memang manis.
Tapi istri manis atau pahit, nyamuk tak peduli. Itu masalahnya. (T)