DESEMBER segera tiba pada batasnya. Tahun pun diakhiri. Bersamaan dengan itu, Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya akan usai. Untuk merayakan semua itu, Teater Kalangan akan mengadakan kegiatan wisata. Dan kami mengundang para hadirin untuk ambil andil dalam acara ini sebagai wi-sa-tawan. Sebelum semuanya membayangkan tempat-tempat jaman now yang akan kita kunjungi, sedari awal kami jelaskan bahwa kami sama sekali tidak bermaksud mengajak hadirin berwisata yang itu, tapi berwisata yang ini. Berwisata ala Teater Kalangan, ber-Wisata Monolog.
Kami mengistilahkan gagasan kami ini sebagai Wisata Monolog sebab di dalamnya berisi kegiatan berkunjung-mengunjungi, bepergian bersama—dan semoga memberikan pengetahuan atau setidaknya pengalaman—layaknya berwisata. Hanya saja, kunjungan dilakukan ke berbagai ruang pentas monolog, namanya juga Wisata Monolog. Demikianlah. Jika suatu pertunjukan pada umumnya diformat dalam satu ruang—penonton duduk di tempat yang telah disediakan lalu disuguhkan satu-dua pertunjukan—dalam wisata monolog ini, penonton (selaku wisatawan) melakukan kunjungan ke berbagai ruang pertunjukan monolog. Lebih dari itu—lewat berbagai sajian monolog—wisatawan juga diajak bepergian ke berbagai ruang imajinasi, mengalami, bahkan membuka kembali dokumentasi ingatannya. Eh, ingatannya tentang pentas monolog loh, bukan si dia. Tenang Mblo!
Seluruh pementasan akan dilaksanakan di Fakultas Bahasa dan Seni (Kampus Bawah) Undiksha Singaraja. Lokasi tersebut kami pilah-pilah menjadi beberapa panggung atau ruang pertunjukan. Di berbagai ruang itulah penonton berwisata menyaksikan beragam sajian monolog. Ada delapan naskah monolog karya Putu Wijaya yang akan dipentaskan pada tanggal 26 Desember 2017, Pukul 18.30 Wita ini, yaitu: “Aut” (aktor I Wayan Sumahardika), “Pidato Gila” (aktor Julio Saputra), “Teror” (aktor Cleo Cyntia), “HP” (aktor Ni Putu Purnamiati), “Surat Kepada Setan” (aktor Anggara Surya), “Damai” (aktor Manik Sukadana), “Matahari Terakhir” (aktor Agus Wiratama), dan “Bali” (aktor I Wayan Sumahardika). Seluruh sajian dalam Wisata Monolog ini disutradarai oleh I Wayan Sumahardika.
Paket Wisata Monolog
Kegiatan wisata monolog akan dibagi menjadi tiga sesi. Sesi pertama, merupakan sajian pembuka. Pada sesi ini, wisatawan akan disambut para pemandu wisata dan ditawarkan menu/paket wisata—berupa daftar pertunjukan monolog yang ingin ditonton. Sambil menunggu, wisatawan juga dapat melihat-lihat “Instalasi Ingatan” berupa properti atau dokumentasi beberapa pertunjukan monolog yang pernah dipentaskan Teater Kalangan pada bulan-bulan sebelumnya. Selain itu, juga dipentaskan dua buah monolog, yaitu “Aut” dan “Pidato Gila”.
Pada sesi kedua, akan dilangsungkan lima pertunjukan monolog sekaligus, yaitu: “Teror”, “HP”, “Surat Kepada Setan”, “Damai”, dan “Matahari Terakhir” di berbagai ruang. Bersama pemandu wisata, masing-masing wisatawan akan diantar menuju ruang pertunjukan sesuai menu yang dipilihnya di awal. Karena kelima pentas dilangsungkan sekaligus, tiap wisatawan hanya memiliki kesempatan menyaksikan satu pentas saja.
Naskah “Bali” dipilih dan dipentaskan pada sesi ketiga. Dari berbagai ruang pertunjukan sesi kedua, tiap wisatawan dipandu kembali ke tempat semula untuk menikmati sajian penutup kegiatan Wisata Monolog. Agar memiliki “cita rasa” yang beragam, tiap sajian menolog di ketiga sesi dirancang memiliki pola, bentuk, mapun corak yang berbeda-beda.
Ancangan Pertunjukan
Berdasarkan pengalaman mementaskan naskah, kedelapan sajian dalam wisata monolog ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu pentas baru dan pentas lama. Pentas baru merujuk pada naskah-naskah yang pertama kali dipentaskan Teater Kalangan. Naskah-naskah tersebut, yaitu “Aut”, “Teror”, “HP”, “Matahari terakhir”, dan “Bali”. Sementara, pentas lama merujuk pada naskah-naskah yang sempat dimainkan oleh Teater Kalangan, seperti “Pidato Gila”, “Surat Kepada Setan”, dan “Damai” yang akan dipentaskan kembali dalam wisata monolog ini. Untuk pentas lama, ada yang dibiarkan seperti sedia kala, ada yang ditambahkan, ada yang didaur ulang, bahkan ada yang dirombak secara total.
Dengan persediaan waktu yang relatif singkat, hal ini cukup menguras tenaga dan pikiran, terutama sutradara kami. Dalam Wisata Monolog ini, tim kolektif Teater Kalangan berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan lain—setidaknya bagi kami—suatu sajian monolog sehingga memberikan pengalaman baru, baik bagi kami sendiri maupun bagi wisatawan. Kemungkinan-kemungkinan yang dipilih tentu berangkat dan disesuaikan dengan teks (naskah monolog) yang akan dipentaskan.
Untuk mengajak wisatawan berwisata ke berbagai dimensi ruang, salah satu kemungkinan yang kami pilih–meminjam istilah Hubermas–yaitu membangun berbagai tipe relasi antarpeserta pertunjukan (pelaku/aktor-penonton/wisatawan). Satu pertunjukan mungkin saja diperlakukan sebagai realitas objektif yang melahirkan relasi “subjek-objek” antara pelaku dan penonton. Artinya, penonton sebagai subjek (karena memahami) dan memandang pelaku pertunjukan sebagai objek yang pahami, diamati, diperhatikan, dilihat, ataupun dinilai; atau sebaliknya, pelaku sebagai subjek dan memandang penonton sebagai objek teks dan lakunya di atas panggung.
Sementara itu, pada pertunjukan lainnya tipe relasi yang dibangun antara pelaku dan penonton bisa saja “subjek-subjek”, dan atau “subjek-itself”. Tipe Relasi subjek dengan subjek (lainnya) dibangun dengan memosisikan penonton (wisatawan) sebagai bagian dari teks. Penonton tidak hanya menonton pertunjukan, melainkan eksis dalam pertunjukan itu sendiri—sama halnya dengan pelaku. Untuk membuat jalinan tersebut, penonton dikondisikan menjadi pelaku yang produktif, baik secara verbal maupun non-verbal, bukan hanya reseptif. Untuk membangun kesadaran peran masing-masing sebagai subjek pertunjukan—terutama penonton—diberikan tanda-tanda yang memiliki referen tertentu di setiap ruang tempat pertunjukan berlangsung.
Relasi subjek dengan dirinya sendiri (itself) dibangun dengan memandu penonton, baik disadari maupun tidak, untuk memanggil kembali ingatan-ingatan dalam dirinya. Ingatan yang dimaksud adalah ingatan tentang salah satu pentas monolog Teater Kalangan. Ingatan sebagai dokumentasi yang hidup dan dihidupkan sangat menarik bagi kami sehingga menjadikannya sebagai salah satu sajian Wisata Monolog. Suatu benda, bunyi, bau, rasa bisa mengingatkan seseorang terhadap satu kenangan yang tanpa disadari akan membawanya berwisata sejenak dalam lamuman: kadang membuat tersenyum, tertawa, senang; kadang membuat sedih, takut, bahkan menjengkelkan. Dalam hal ini, kehadiran materi pengingat, seperti benda, bunyi, atau peristiwa sangat diperlukan agar mampu mengantarkan penonton kepada ingatannya masing-masing.
Selain membangun beberapa tipe relasi di atas, ada bagian pertunjukan yang akan mengajak penonton untuk mencoba menjadi pelaku/aktor pementasan yang pernah ditontonnnya. Pelaku/aktor mengarahkan penonton untuk melakukan hal-hal yang pernah dilihatnya di atas panggung (menjadi aktor). Bagian ini masih berkaitan dengan memanggil ingatan, di mana semua peserta (pelaku-penonton) sama-sama mengingat. Penonton mengingat peristiwa di atas panggung yang pernah ia saksikan; pelaku mengingat peristiwa sebelum pentas yang pernah ia lewatkan—kegiatan latihan, sebagai peristiwa yang terpinggirkan dari atas panggung.
Pada bagian inilah kepingan-kepingan ingatan (pra-pentas dan pasca-pentas) dipertemukan. Kami berasumsi bahwa dalam pikiran kita selalu terbangun pemaknaan-pemaknaan tentang pelaku, teks, atau peristiwa panggung saat menonton suatu pertunjukan. Begitu juga sebaliknya, dalam pikiran pelaku juga telah terbangun persepsi tentang penonton. Apa jadinya jika kedua hal tersebut dipertemukan? Apakah akan terbangun kesadaran bahwa persepsi atau pemaknaan kita terhadap realitas hanyalah satu di antara banyak sisi realitas yang sedang kita pahami?
Demikianlah. Pada akhirnya, tulisan ini hanyalah pengantar. Pengantar dari kami yang dipercaya sebagai tim produksi. Apakah pertunjukan Wisata Monolog kami ini akan berhasil? Entahlah. Yang berbicara lebih banyak dan lebih jujur adalah pertunjukan itu sendiri. Maka dari itu, datanglah! Dan selamat berwisata. (T)