SEKITAR tahun 1980-an, Pesta Kesnian Bali (PKB) memiliki sejumlah pertunjukan primadona yang selalu mendapatkan penonton melimpah. Salah dua yang mudah ditebak adalah drama gong dan sendratari. Namun ada satu pertunjukan lagi yang punya penggemar cukup melimpah, yakni Lomba Lagu Pop Bali.
Dulu, lomba ini digelar di Gedung Ksirarnawa, dan gedung itu selalu penuh sesak pada setiap penampilan kelompok musik dari masing-masing kabupaten di Bali. Mungkin karena Gedung Ksirarnawa tak kuat menampung bludak penonton, maka belakangan lomba itu dipindah ke Panggung Terbuka Ardha Candra.
Selain supporter dari masing-masing kabupaten dan penikmat yang memang suka musik, penonton yang rela berdesakan itu juga berasal dari kalangan umum. Mungkin kalangan umum yang tak paham musik, tapi telinganya bisa nyaman mendengarnya dan hatinya bisa terhibur karenanya.
Tentu, karena musik pop Bali bukan semacam musik pop yang biasa didengar di televise nasional atau di radio-radio siaran niaga. Awal tahun 1980-an musik pop bali yang masuk di ajang PKB itu bisa disebut sebagai genre baru dalam seni musik Nusantara. Musiknya adalah gabungan dari musik modern dan musik tradisional seperti gamelan dengan nada yang juga menyesuaikan dengan nada diatonis maupun pentatonis.
Cengkok vokalisnya juga terdengar unik namun enak masuk ke telinga orang-orang umum di Bali. Ia bisa mendayu seperti langgam keroncong, bisa juga mengharukan seperti tembang dalam pupuh ginada. Namun juga bisa ngerock yang aneh seperti campuran dari gong kebyar, balaganjur dan musik rock.
Maka, dengan corak unik itu, para penggarap musik dan lagu dalam Lomba Pop Bali di PKB itu selalu punya tantangan lebih besar dalam mencipta. Inovasi-inovasi digodok, ide-ide dengan kesulitian tinggi pun diadopsi, strategi untuk menggabung unsure modern dan unsur tradisional dikuras habis.
Di Buleleng, salah satu kelompok musik yang punya peran penting dalam membentuk genre musik pop Bali ala PKB itu adalah Kelompok Musik Smarandhana dengan tokoh musiknya yang terkenal seantero Buleleng dan sejumlah daerah di Bali; Made Arsana. Di Buleleng ia dipanggil Pak Sonok.
Dalam setiap PKB, penampilan Kelompok Smanrandhana selalu dinanti-nantikan. Dan pada awal-awal perhelatan lomba, Buleleng berturut-turut juara. Namun belakangan, setelah teknik-teknik penggabungan unsure musik tradisional dan musik modern mulai dikuasai banyak musisi di Bali, kekuatan antar kabupaten pun mulai berimbang. Buleleng sesekali menang, sesekali juga kalah. Dan itu membuat musik pop Bali ala PKB menjadi seru. Seru dalam garapan, seru juga dalam kompetisi dan gesekan-gesekan kreativitas.
Untuk melanjutkan pengabdian para tokoh musik pop Bali itu, terutama pengabdian Pak Sonok dengan Smarandhana-nya, Demores Rumah Musik Singaraja menggulirkan sebuah event yang bertajuk Smarandhana Festival Musik Kolaborasi Bali Open 2017, tepatnya Sabtu 23 Desember 2017. Pergelaran festival digelar di Krisna Beach Street, Pantai Penimbangan Singaraja.
Kegiatan ini tentunya untuk menggali potensi para generasi muda khususnya dibidang musik, utamanya dari sisi penggarapan dan penggabungan unsur-unsur musik modern hingga tradisional. Smarandhana Festival Musik Kolaborasi ini
Gede Kurniawan (anak dari Pak Sonok) selaku pemilik Demores Rumah Musik mengatakan event Smarandhana Festival Musik Kolaborasi Bali Open 2017 digelar tak lain untuk melihat kreatifitas generasi muda Bali dalam bermusik yang memadukan unsur modern dan tradisional. Disamping itu, juga dalam rangka melestarikan budaya Nusantara. (T)