INI adalah catatan-catatan sebelum pentas dari Drama “Schizophrenia” karya Kadek Sonia Piscayanti yang akan dipentaskan oleh kelompok drama Kelas 5C, jurusan Bahasa Inggris, Undiksha Singaraja. Di Kampus Bawah, Undiksha, Singaraja, Minggu 17 Desember 2017, pukul 19.00 wita.
Catatan Sutradara: Anggara Surya
Sebelumnya, mohon maaf tulisan-tulisan kami ini sebenarnya tidak lebih dari curhatan massal soal pementasan naskah schizoprenia. Saya sendiri tentu akan curhat juga. Kapanlagi bisa curhat dan dibaca orang lain hehehe. Dasar pemikiran saya memaksa teman-teman dikelas saya adalah karena sebuah kutipan dari Pramodya Ananta Toer.“Menulislah untuk Keabadianmu” Kurang lebih begitu kata beliau.
Terinspirasi dari hal tersebut, saya merasa akan sangat rugi kiranya jika dokumentasi pementasan kami hanya berupa gambar dan video pra dan saat pementasan. Jika dipikir itu tentu cukup, tapi bagi saya, hal terpenting yang perlu saya dokumentasikan adalah curhatan-curhatan kecil dan keluh kesah sebelum pementasan. Hal-hal tadi sangat jarang didokumetasikan karena acap kali pementasan dianggap lebih penting. Pendokumentasian hal tersebut bagi saya lebih cocok lewat tulisan, karena itulah, kami curhat lewat. Syukur-syukur bisa dimuat di tatkala.
Saya sendiri tidak banyak bisa bicaara soal hal seperti ini. Dipercaya untuk menyutradarai pementasan drama kelas barangkali bukan hal mudah, setidaknya bagi saya bukan hal mudah. Terlebih lagi sebenarnya ada banyak kesan paksaan agar saya bersedia menjadi sutradara hehehe.
Tapi ya namanya juga demi kelas, segalanya harus diterima.Tentu, menyutradarai anak-anak ‘baru’ bukan perkara mudah.Saya sendiri sebenarnya masih baru hehe, syukurnya kami semua bersedia mempelajari hal baru tersebut. Sebagai sutradara yang agak kacangan, saya merasa akan konyol jika memaksakan agar pementasan saya seenak nasi rending tanpa micin. Tidak kering saja bagi saya sudah cukup.
Kurang lebih naskah Schizophrenia yang terkumpul dalam buku antologi drama Story of A Tree karya Kadek Sonia Piscayanti (Dosen kami) sudah dipentaskan dua kali. Dimana kedua pementasan tersebut hanya saya dengar dari mulut ke mulut dengan sedikit gambaran imajiner tentang penderita schizo.Tak banyak riset yang saya lakukan, karena rasanya menyutradari pementasan ini ditambah tugas sudah cukup membuat saya mengalami gejala schizo ringan.Tapi sampai tulisan ini dibuat, saya masih memegang kendali atas jiwa saya.
Secara konsep, saya lebih tertarik bagaimana membuat penonton merasakan sendiri bagaimana rasanya menjadi schizo dibanding membuat orang lain hanya sekedar melihat orang schizo di atas panggung. Entah sukses atau tidak, saya serahkan ke teman-teman dan penonton sekalian.
Masalah utama yang saya hadapi adalah kendala pelafalan dialog. Jika mengejar intonasi, maka kekuatan vocal aktor akan dilibas habis oleh suara alam di sekitar wantilan Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha. Tentunya minim vocal akan cenderung membuat pesan tidak tersampaikan. Oleh karena itulah, kami putuskan untuk menggunakan clip on yang masih sedang saya cari sekarang. Atau barangkali pembaca sekalian bisa beri saya info siapa tukang sound yang punya clip on hahaha.
Kendala lainnya adalah daya imajinasi saya dan minimnya riset secara langsung.Referensi saya hanya video-video di youtube yang bagi saya tidak cukup. Minimnya imajinasi soal schizophrenia juga membuat saya kelimpungan menentukan konsep. Mukanya harus gimana? Jalannya harus gimana? Ngomongnya harus gimana? Ininya harus gimana? Anunya harus gimana? Jawabannya, saya tidak tau.
Dari ketidaktahuan tersebut muncul sebuah ide untuk membuat penonton juga bingung. Kemungkinan akan banyak penonton yang masih awam terkait schizophrenia sehingga apa yang saya tampilkan adalah bagaimana membuat kebingungan tersebut semakin menjadi-jadi dengan tata artistik dan panggung ‘kotor’. Saya sendiri tidak begitu paham apa yang baru saja saya bicarakan. Karena itu mari nikmati bersama-sama kebingungan dalam pementasan kami.
Catatan Manajer Produksi: Luh Reditawati
Hal baru dan pengalaman baru. Ini berawal dari ditunjuknya diriku sebagai Manager Produksi. Apa itu? Seperti apa? Apa saja tugasnya? Kalau di-metafora-kan, dua kata itu menimbulkan beribu pertanyaan di kepalaku. Setelah bertanya ke Timur, Barat, Utara dan Selatan, ternyata dua kata itu memiliki tugas sangat banyak. Hal yang berkaitan dengan Manager Produksi itu menghasilkan dan menjaga produk agar berkualitas dan disenangi oleh orang-orang dalam hal ini kelas kami memproduksi sebuah drama. Aku selaku Manager Produksi berpikir keras bagaimana caranya. Apalagi Aku yang tak punya pengalaman apa-apa. Sulit sekali.
Hari pertama mengemban tugas ini, teman-teman memintaku untuk mengurus jadwal latihan. Nah ini dia. Kami berada di semester 5. Meskipun jumlah matakuliah lebih sedikit dari semester 1-4, jam kuliah ini yang susah diatur. Seperti jam kuliah di kampus kami, yang sudah disusun oleh pihak kampus. Dengan begitu jadwal yang harus kuatur untuk latihan sangat terbatas dan bahkan sangat sulit untuk diatur karena terkadang ketika jam kuliah kami berubah sesuai keadaan dan situasi dosen, secara otomatis jadwal latihan kami diundur atau dicarikan hari lain. Ini tugas terberatku.
Kenapa? Waktu kami lebih kurang 1-2 bulan untuk latihan. Untuk menghasilkan drama yang berkualitas, memerlukan waktu yang lama. Tentu saja ini balik lagi kepada orang-orang yang akan bermain didalamnya. Seriuskah atau hanya sekedar saja. Tentu saja hasilnya tak sama. Dengan waktu kami tersebut dan juga jadwal kuliah yang cukup mepet, kami merasa banyak kekurangan.
Dan kadang pertanyaan seperti ini muncul, “Apa kami bisa menampilkan yang terbaik?” Untukku, pertanyaan itu sangat membebani. Tentu saja itu tugasku. Bukan hanya drama saja yang harus baik atau menjadi yang terbaik, tapi orang-orang yang bermain didalamnya harus menjadi yang terbaik juga.
Seperti yang sering dikatakan oleh Bu Sonia, melalui drama ini kami semua diharapkan memiliki pribadi yang baik. Bagian ini hal susah lainnya. Mengatur orang itu bukan hal mudah. Sangat tidak mudah. Contoh saja hal ini dalam setiap kali latihan, aku bukan hanya sebagai Manager Produksi namun tugasku merangkap jadi Choir, setiap kami latihan waktu 2-3 jam itu sangat singkat. Selama 2-3 jam itu, tidak semua teman-temanku serius dalam latihan.
Jujur saja, aku tidak bisa terlalu memaksakan orang agar menuruti permintaanku. Aku tipe orang yang bicara 1-2 kali, dan jika tidak dipatuhi, ya sudah, aku biarkan saja. Hal ini menjadi kekuranganku. Aku kurang tegas. Namun pernah sekali aku mengeluarkan uneg-unegku, meski tak semuanya. Aku menjadi sedikit berbeda, dan aku melihat ekspresi teman-temanku yang seperti tak suka, “meboye” dan lainnya. Hal ini kembali lagi menurunkan semangatku untuk menghasilkan drama yang baik.
Dan pernah rasanya aku ingin menyerah mengemban tugas ini. Namun aku berpikir lagi, jika aku tak mencobanya, aku tak akan memiliki pengalaman ini lagi. Mungkin saja ini untuk yang pertama dan terakhir. Aku jalani saja.Namun dalam beberapa kali latihan, mereka menjadi lebih serius latihan. Hasil latihan juga semakin berkembang. Aku cukup senang. Melihat kerja keras kami membuahkan hasil yang baik. Aku hanya berharap hal ini akan terus berlanjut sampai tiba saatnya kami mementaskan hasil kerja keras kami. Astungkara, semuanya fix dan akan menjadi yang terbaik.
Catatan Aktor: Cleo Chintya
Drama adalah materi yang kami pelajari di semester 5 dalam mata kuliah Literature 2.Kata drama sepertinya sudah tidak asing lagi untuk didengar. Drama adalah jenis karya sastra yang menggambarkan tentang kehidupan manusia. Ketika kita belajar drama itu berarti kita belajar tentang kehidupan. Drama adalah cerminan dari kehidupan kita. Banyak peran yang dapat kita mainkan dalam drama begitu juga yang terjadi dalam kehidupan kita.
Untuk merealisasikan teori-teori tersebut, maka kami sebagai mahasiswa semester 5 Pendidikan Bahasa Inggris menampilkan beberapa naskah drama untuk menunjukkan pemahaman kami mengenai materi tersebut.Pada kesempatan ini, kami juga dapat menunjukkan kreatifitas kami dalam berdrama.
“Schizophrenia” adalah judul naskah drama karya Kadek Sonia Piscayanti yang akan kami pentaskan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Literature 2.Naskah tersebut kami dapatkan dari hasil undian yang dilakukan oleh korti kami, kelas 5C.Kami menunjuk Anggara Surya sebagai sutradara yang menurut kami paling berpengalaman di bidang teater.
Untuk aktor, teman-teman menunjuk Rangga Krisna sebagai “Man”, Juniari sebagai “Mother” dan saya sebagai “Woman”. Kami merasa “wow!” karena sesungguhnya kata “Schizophrenia” masih asing untuk kami dengar, dan Ibu Sonia mengatakan bahwa naskah tersebut adalah naskah yang tersulit diantara pilihan naskah yang lainnya.
Kami merasa tertantang unuk memainkan naskah tersebut.Kami mempersiapkan segalanya mulai dari memilih chorus, menetapkan crew perlengkapan, make-up, dan lighting.Kemudian kami mulai mencoba untuk memahami isi dari naskah tersebut.Mulai dari menonton video, mencari informasi dari beberapa website, membaca buku, dll.
Ketika kami ditunjuk sebagai aktor dan aktris, itu berarti kami sudah diberi kepercayaan untuk menjalankan tugas tersebut.Sebagai orang awam dan belum mengenal tentang keaktoran, tentunya tidak mudah bagi kami untuk mengerjakan tugas ini.Drama merupakan cerminan dari kehidupan kita. Sehingga bagimana kami bertingkah laku di kehidupan nyata, begitulah kami bertingkah laku dalam drama.
Dalam memainkan drama, hal yang paling sulit adalah beracting seolah-olah kita tidak sedang beracting, bagaimana kita bertingkah laku senatural mungking.Ada beberapa kendala yang kami alami ketika latihan.Dalam perannya sebagai “Man”, Rangga Krisna mengalami kesulitan dalam memainkannya. Ini adalah pertama kalinya ia bermain drama. Iya mengalami kesulitan mengenai cara menunjukkan gesture yang tepat, intonasi, dan ekspresi wajah.
Begitu pula dengan Juniari yang berperan sebagai “Mother” sempat mengalami kesulitan dalam membangkitkan emosinya. Sama seperti Rangga Krisna, ini adalah pertama kalinya ia mementaskan sebuah drama. Sedangkan dari saya sendiri, ini adalah kedua kalinya saya mementaskan drama.
Saya yang pada awalnya hanya iseng-isengan mengikutin UKM teater pada akhirnya jatuh cinta pada teater.Pada kesempatan ini, saya berperan sebagai “Woman”, seorang wanita yang menderita skizofrenia. Seperti apa yang dikatakan Ibu Sonia, peran ini ternyata lumayan sulit. Disini saya dituntut untuk berperan sebagai seseorang yang seolah-olah terlihat normal namun sebenarnya ia mengalami gangguan dalam pikirannya.
Hal pertama yang saya lakukan adalah membaca dan memahami isi dari naskah tersebut.Kemudian saya mencari tau tentang gangguan mental skizofrenia.Saya menggali informasi melalui internet seperti membaca dari beberapa website dan menonton video di youtube tentang orang-orang yang mengalami skizofrenia.Selain itu saya juga membaca buku yang berjudul psikologi abnormal, dan chatting dengan seseorang yang menderita skizofrenia.
Menurut informasi yang saya dapatkan dari berbagai sumber, skizofrenia adalah gangguan pikiran dimana seseorang sulit membedakan imajinasinya dengan kenyataan. Saya sempat mengalami kesulitan dalam memainkan peran saya.etikasaya beracting, saya malah terlihat seperti orang gila. Sangat sulitberacting sebagai orang yang menderita skizofrenia karena orang yang menderita skizofrenia bukan berarti ia gila.
Selain kesulitan dalam mendalami peran, saya juga mengalami kesulitan dalam membangun chemistry bersama Rangga Krisna. Sangat sulit membangun raut wajah dimana saya mencintai orang lain. Saya mencoba membayangkan bahwa Rangga Krisna benar-benar kekasih saya untuk membangun chemistry diantara kita.
Kami belajar berdansa seromantis mungkin agar pesan kami ditangkap oleh para audience.Begitu juga dengan Rangga Krisna, ia juga merasa canggung ketika memainkan perannya dengan saya. Hal itu dikarenakan kami sudah biasa menganggap diri kami adalah teman, jadi apa yang kami perankan dalam drama sangat kontras pada kehidupan nyata kami.
Walaupun kami mengalami banyak kesulitan tapi kami yakin semua akan terlewati. Kami sangat senang mendapatkan kesempatan dalam bermain drama. Banyak pelajaran berharga yang kami dapat dalam proses pementasan ini seperti bagaimana kami membangun solidaritas, dan kami berharap perjalanan kami tidak berakhir sampai disini.
Catatan Aktor: Rangga Krisna
Menurutku, banyak sekali tantangan baru yang aku hadapi sebagai mahasiswa semester 5. Tugas yang semakin membludak, final project yang menghantui hariku, dosen yang, ah begitulah, hingga masalah perut lapar tetapi mager keluar untuk mengisi perut. Ya, kebetulan aku anak kos. Siklus bangun kesiangan, kuliah, sibuk di ormawa, serta begadang karena tugas ataupun nge-game sudah menjadi hal rutin setiap hari. Tetapi, ada sesuatu yang berbeda di semester 5 ini.Hal yang memberikanku pengalaman yang berharga.Sesuatu yang sebenarnya sudah aku ketahui tetapi belum pernah aku lakukan sebelumnya.Yap, dunia teater.
Literature 2.Mata kuliah ini memiliki final project yang menuntut kita menampilkan sebuah drama per-kelas.Kebetulan, naskah yang kelas kami dapat adalah naskah karangan bu Sonia, Schizophrenia. Ada 3 tokoh pada naskah ini, yaitu A Woman yang diperankan Cleo, A Mother yang diperankan oleh Juni, dan yang terakhir adalah peranku sebagai A Man.
Awalnya, aku sedikit takut untuk mengambil peran ini. Karena jujur saja, aku adalah orang yang minim pengalaman di dunia teater, olah vokalku saja masih di bawah standar untuk sebuah pementasan. Tetapi, rasa percaya dari teman-teman di kelas seolah-olah menjadi membakar api semangatku untuk terus berlatih. Aku takkan mengecewakan semua, khususnya teman-teman kelasku.Seiring berjalannya waktu, kami berlatih hampir setiap hari, dan di situlah aku merasakan beberapa perubahan.
Peranku adalah menjadi seorang pria romantis, yang sangat mencintai wanitanya, yang sebenarnya memiliki penyakit mental.Aku memiliki banyak kesulitan pada penjiwaan karakter ini. Baik itu intonasi berbicara, vokal, cara menyentuh wanita, bahkan cara memandangnya. Bahkan, itu semua membuatku berbicara dengan cermin setiap hari untuk melatih peranku.Sungguh perjuangan.
Tetapi, aku banyak merasakan perubahan pada diriku.Aku merasa menjadi lebih “lelaki” lagi.Haha.Bukan berarti dulu aku menyimpang, tapi memang ada perubahan yang membuatku merasa lebih romantis di kehidupan nyata.
Menurutku, teater bukan sekadar ilmu bermain peran saja, tapi teater adalah kehidupan itu sendiri.Teater dibuat dari nalar dan hati manusia.Mereka lahir dari manusia dan manusia serta isinya sendiri itulah sebuah kehidupan.Aku percaya, dengan belajar dan mendalami teater, aku bisa merasa lebih hidup dan lebih menjadi manusia.Karena teater merupakan media pengembang karakter dan pembelajaran terbaik.
Catatan Choir 1: Ayu W dkk
Naskah Schizophrenia ini mengharuskan semua komponennya untuk pandai memainkan emosi.Sutradara, aktor, choir (paduan suara), dan semua pensupportnya diharapkan mampu mengolah perasaan dan suasana sebagaimana harusnya.
Saya adalah salah satu anggota “choir” yang merasakan bagaimana beratnya untuk mengolah perasaan dan memadukannya dengan suasana melalui nyanyian. Namun, hal yang lebih sulit dari pada “tinggal” menyanyi adalah menciptakan nyanyian itu sendiri. Membuat beberapa kalimat yang tersurat dalam naskah menjadi hidup melalui permainan nada. Nyanyian yang harus mampu mengiringi jalannya pementasan kelak. Nyanyian yang harus mampu mengaitkan diri pada alur kehidupan si gadis Schizo.
Demi mewujudkan apa yang diinginksan sutradara, kami, anggota choir berusaha sebisa dan sekuat kami. Syukurnya koordinator choir adalah sesorang yang sabar dan memang meiliki basicdibidang paduan suara, I Komang Adi Wismaya.Ia adalah kordinator polos yang selalu ditemani pianika merah jambu pinjamannya ketika kami latihan. Pianikanya adalah “kunci” untuknya dalam mengharmonisasi nada. Sopran, alto, tenor dan bas sesungguhnya kombinasi suara lengkap yang sempurna jika kami dapat mengolahnya dengan baik.
Dan kembali ,itu sama sekali bukanlah hal yang mudah bagi kami dengan terbatasnya waktu latihan. Beberapa kali aransemen lirik yang coba kami buat ditolak oleh pak sutradara.Jadi bagi kami, ketika aransemen kami diterima walau tetap dengan revisian adalah suatu hal yang sangat membanggakan, dan melegakan tentunya.Namun, itu bukanlah awal bagi leha-leha.Selanjutnya adalah menyetel variasi suara yang kami miliki. Dan lagi, itu sama sekali bukanlah hal yang mudah. Bukanlah perkara mudah untuk menjadi kompak dan harmonis dengan keberanekaragaman yang ada.Tidak hanya suara, tapi juga tipe manusianya.
Tapi itulah proses kami. Suka duka memberi warnanya tersendiri.Ketika mengaransemen dan ditolak. Ketika harus latihan ditengah ganasnya tugas akhir.Ketika mood menjadi masalah utama. Ketika harus menjadi choir yang nomaden.Ketika komentar-komentar pedas yang menusuk. Dan ketika banyak anggota yang mengalami gangguan kesehatan sehingga apapun suara kami terasa sumbang.
Tapi semuanya tetap diimbangi suka. Kami yang tadinya tidak erat, menjadi lengket. Yang awalnya jarang menyapa, menjadi janggal jika tidak menyapa.Yang awalnya malu-malu menampilkan potensi yang sebenarnya tertidur, menjadi lebih percaya diri untuk unjuk gigi.Dan disaat kekompakan mulai terbangun sehingga harmonisasi suara sudah dapat terdengar.
Semua sudah direncanakan dengan cukup matang, dan hanya tinggal eksekusinya. Hanya tinggal menghitung hari untuk menampilkan hasil dari proses kami. Hasil dari proses yang cukup naik turun, terkadang patut dibanggakan tetapi juga bisa sangat mengkhawatirkan. Suatu persembahan melalui tugas akhir dari kami, choir Schizophrenia.
Catatan Choir 2: Dinia dkk
…dan karena waktu tidak akan terulang dua kali, lakukan ketika ada kesempatan—sebaik-baiknya mencoba.
Teater adalah dunia yang menarik.Ia mengajari bagaimana itu dunia manusia, pikiran manusia, dan bagaimana menjadi manusia. Kau selalu dipaksa untuk menjadi dinamis.Seperti reinkarnasi, dalam setiap pementasan kau dituntut untuk menjadi pribadi yang baru yang sesuai dengan kepribadianmu.
Diantara berbagai macam jenis kesenian, teater adalah yang terlengkap.Tata cahaya, tata panggung, tata rias, tata musik dan lainnya semua yang kau imajinasikan.Jadilah manusia seliar-liarnya. Karena tujuan utama teater adalah untuk memanusiakan manusia.Saat terpilih menjadi salah satu anggota paduan suara dalam pementasan teater, tentu perasaan ragu dan takut mengecewakan sempat singgah.Tetapi dukungan teman-teman membuat keraguan tersebut menjadi hilang.
Bersama-sama kami memilih nada yang pas pada tiap-tiap baris puisi sesuai maknanya agar menyatu dengan adegan para aktor. Misal ketika pada adegan romantisnya, gitar dipetik sedemikian rupa sehingga membuat yang mendengar seolah akan terus ingin berdansa. Atau pada saat adegan ketika aktor melihat gambar yang tidak biasa dilihat orang pada umumnya maka nada dibuat lirih dan membuat aktor seolah telah mendapat kesialan.Menampilkan musik artinya menampilkan rasa. Bagaimana nanti ia sampai pada hati melalui telinga menuju otak entah untuk mampir sebentar atau disimpan menjadi kenangan yang tentunya tiap-tiap individu menginterpretasikannya berbeda.
Awalnya tidak mudah memang, tetapi kami menikmati tiap prosesnya. Selalu ada jalan bagi yang mau berusaha dan karena waktu tidak akan terulang dua kali, lakukan ketika ada kesempatan dengan sebaik-baiknya agar tak ada penyesalan karena tidak memberi yang terbaik. Bagaimana hasilnya kelak, biarkan tangan Tuhan yang bekerja.Setidaknya kami telah berusaha—sebaik-baiknya mencoba.Terima kasih.
Catatan Penata Artistik Dekorasi: Wiraningsih dkk
Artistik merupakan salah satu penentu dalam membangun imajinasi penonton maka dari itu, ini merupakan tanggung jawab yang besar bagi para kru artistik untuk mampu merealisasikan ide dan tujuan yang ingin disampaikan dalam drama berjudul Schizophrenia sehingga para penonton dapat menangkap makna tersebut.
Kru artistik berkoordinasi dengan produser dan director bertugas menyiapkan konsep untuk latar panggung serta menyiapkan properti pendukung pementasan. Biasanya hal ini identik dilakukan oleh para lelaki karena memerlukan tenaga ekstra seperti mengangkut barang, mengecat, memaku, memotong kayu, dll.
Tetapi, karena kelas kami hanya terdapat 7 orang laki-laki dari 33 siswa dan beberapa telah mendapat bagiannya masing-masing. Maka, anggota sie artistik yang dikoordinir oleh I Kd. Agus Suardana didominasi oleh perempuan. Kami menyebut grup artistik sebagai “Schizophreniartistic”, diambil dari judul naskah yang akan kami pentaskan, Schizophrenia, dan digabungkan dengan kata “artistic”.
Sebagai salah satu kru artistik, saya merasa ini hal yang sangat baru sekaligus menantang bagi saya. Betapa tidak? Ini kali pertama saya bergabung sebagai kru artistik yang identik dengan pekerjaan fisik. Namun, saya mendapat banyak pembelajaran dari sini. Saya belajar tentang kerjasama tim, komunikasi, saling menghargai dan tanggung jawab. Sebagai seorang perempuan, sayapun bangga karena dapat melakukan hal yang biasanya dilakukan para lelaki. Itu membuktikan bahwa kami, wanita, tidak ada bedanya dengan mereka.
Kami juga mampu melakukan apa yang mereka lakukan. Rapat, membeli barang, mengangkut barang, mengecat dan memaku kami lakukan. Terik dan hujan kami lalui demi sebuah pementasan yang tidak mengecewakan.
Kendala yang kami hadapi, tentu saja karena ini kali pertama kami, maka kami belum cukup pengalaman dalam theater seperti tentang tata lighting, penempatan properti, serta cara transisi dari satu adegan ke adegan lain. Kami menemui banyak perbedaan pendapat selama proses persiapan pementasan.
Namun, dari perbedaan tersebut kami belajar menghargai dan menyatukannya dalam satu konsep yang apik. Masalah klasik yang seringkali kami temui adalah konsep yang berubah-ubah yang berimbas pada hal lain seperti kesiapan aktor, properti yang akan digunakan dan tata lampu. Tentu, perubahanlah yang abadi, hal itu semata-mata demi menghasilkan sebuah karya yang tak akan terlupakan bagi penonton serta bagi kami, para kru.
Maka, ini adalah tantangan bagi kru artistik untuk selalu menyiapkan plan B apabila ada perubahan konsep. Kami harus selalu siap dengan kemungkinan-kemungkinan terburuk seperti hujan karena pementasan diadakan di wantilan. Maka dari itu, kerjasama tim sangat diperlukan guna suksesnya pementasan kali ini.
Catatan Penata Kostum: Tari dkk
Kami dari pengurus kostum, dalam mencari dan menemukan kostum baik untuk aktor maupun choir mengalami pasang surut. Untuk mencari dan menemukan kostum tidaklah semudah apa yang kami bayangkan, sebelumnya kami sudah menyiapkan beberapa ide untuk kostum aktor namun setelah kami konsultasikan ide dari kami tidaklah berjalan mulus seperti dugaan.
Ada beberapa saran dari para pemain sekaligus dari teman – teman lainnya, karena adanya saran dan masukan masukan dari crew lainnya kami kembali merombak ide tersebut. Kami mengalami banyak kebingungan dalam menentukan kostum karena apa yang kami anggap bagus dan tepat belum tentu bagus dan tepat bagi orang lain termasuk aktor.
Dalam menentukan kostum, kami tidak hanya menentukan apa yang kami anggap bagus, tapi kami mengkonsultasikan dengan para aktor, karena kenyamanan aktor yang utama. Setelah mendapatkan kepastian masalah kostum untuk aktor, kami kira akan berjalan dengan lancar di dalam proses pencariannya.
Namun ada beberapa kendala yang kami hadapi karena minimnya dress putih panjang yang sesuai dengan peran actor. Karena yang kami cari adalah dress putih panjang dan khususnya di Singaraja kami sangat sulit menemukan dress tersebut sehingga kami memutuskan untuk mencarinya di luar Singaraja. Astungakara sekalipun kami mencarinya diluar Singaraja, pencarian kami tidak sia – sia.
Dengan usaha keras kami, akhirnya kami menemukan dress tersebut.Untuk kostum aktor lainnya, kami juga mengalami kesulitan khususnya pada peran pria.Sebelumnya kami sudah menyiapkan beberapa pilihan kostum, namun pilihan yang kami siapkan kurang sesuai dengan keinginan aktor.Sehingga kami mencoba mencari solusi dengan menawarkan pilihan lainnya, dan mendapatkan masukan dari teman – teman yang lainnya.Pada akhirnya kami dan aktor mencapai kesepakatan dengan memilih konsep casual menggunakan jas hitam.Selain itu, untuk menentukan kostum choir, kami juga mengalami kesulitan dan kebingungan, karena konsep kami yaitu sederhana namun bergaya.
Dari sie kostum sendiri menyediakan beberapa pilihan untuk kostum choir, dan kembali lagi kami menyiapkan atau menyediakan beberapa pilihan pakaian untuk para choir karena kami ingin mencari kenyamanan dari para choir.Seperti yang kita ketahui yang penting dari choir adalah suara bukan pakaian, mungkin pakaian penting namun pakaian hanyalah pendukung dari kekompakan yang utama tetap suara.
Catatan Stage Crew: Sayu Devi dkk
Apa yang istimewa dari sebuah pengalaman? Mungkin terkadang terkesan biasa saja dan tak penting tapi, terkadang ada yang begitu menganggapnya sangat berharga.Terlebih pengalaman itu adalah pengalaman pertama. Tidak peduli itu dalam konteks apapun, tergantung sudut pandang si empunya, abaikan saja orang lain yang terlibat di dalamnya.
Ada banyak sekali pilihan dalam menyikapi sebuah pengalaman.Boleh diabaikan saja, lupakan, dan cari yang baru. Pilihan lainnya adalah menghargainya. Dan dalam hal ini, aku sedang berusaha menghargai pengalamanku, pengalaman pertama menjadi stage crew di sebuah pementasan drama di semester lima, semester yang semoga saja senantiasa sehat hingga sampai akhirnya.
Sesungguhnya tak ada yang mengagetkan. Hal yang telah dan akan aku lalui hingga hari ini rasanya sudah diramalkan oleh cerita-cerita kakak tingkat yang lebih berpengalaman. Pada intinya hanya perlu mempersiapkan mental saja, karena ramalan itu bisa jadi sejadi-jadinya atau terkadang hanya sebatas ramalan semu.
Ya mau bagaimana lagi, jalani saja, lalui saja, meskipun kecemasan terkadang mendera.Ya inilah drama dalam kehidupan.Aku sudah memainkan banyak peran sebelumnya.Meskipun tidak di atas panggung pentas, peran yang begitu nyata. Ah rasanya dengan segudang pengalaman dari dunia nyata, rasanya ya tak sulit bila harus mengambil peran dalam sebuah pementasan yang dibuat sedemikian rupa. Apalagi aku bukan pemeran utamanya, hanya sebatas anggota stage crew.Apa sih susahnya? Pikirku.
Pemetasan drama ini adalah bagian inti dari salah satu mata kuliah yang aku ambil disemester ini. Yang mana jilid ke-1 disemester sebelumnya, terasa agak menyiksa karena alasan yang tak akan aku ceritakan di sini. Semester ini, jilid ke-2 pada awalnya aku merasa agak beruntung karena sebuah alasan, alasan setidaknya aku tidak bertemu dengan seseorang.
Tapi, memang benar adanya, kesimpulan yang dibuat terlalu dini tanpa pengambilan data yang akurat yang membutuhkan waktu selaknya, ya tak layak hasilnya.Segala ekspektasi yang ku bangun runtuh diterjang badai kenyataan. Nampaknya memang benar adanya, sulit mencari kebahagian di semester lima. Ah abaikan saja, kita lanjutkan curhatanku, tentang suka-duka seorang stage crew.
Stage crew? Apa susahnya? Dalam pementasan, paling cuma mindah-mindahin properti, paling cuma nyiapin ini itu, paling cuma dan paling cuma yang lainya.Tak ada yang sulit menurutku dan terkesan remeh memang. Tapi, ternyata menyiapkan properti jauh lebih mudah ketimbang berkomunikasi, menyamakan persepsi dengan tim sendiri dan tim lain yang bersangkutan. Tim lain minta ini, mintu itu, apa susahnya menuruti? Apa sulitnya merealisasikan? Tak ada sulit.Mudah sekali bahkan.
Tapi, sekali lagi, hal ini banyak sekali tapinya. Yang hampir terealisasikan sedihnya hampir terbatalkan, aku harus tunggu hari pentas untuk memastikan apa yang terjadi. Apa yang sudah terealisasikan hampir tak digunakan. Lalu apa lagi? Sedihnya begitu banyak hal yang menyulut emosi dari sebuah komunikasi yang tak berharmoni.
Ya apa lagi? Keegoisan.Terkadang, aku merasa lebih sibuk dari ketua koloni, padahal aku hanya crew yang namanya tak tercatut dalam bait.Bahkan lucunya, aku yang cuma anggota malah mengambil keputusan penting. Mulai dari rapat, berkoordinasi dengan tim pementasan lainnya. Oh terima kasih, aku merasa derajatku lebih tinggi dari yang seharusnya. Kalau saja, aku kurang bijaksana, mungkin saja aku sudah pasang status sana-sini a la- a la kids zaman now. Sungguh beruntungnya aku bukan bagian dari mereka.Kalau memang tak bertanggungjawab, kenapa menyanggupi memegang tanggujawab?Apa demi nama?
Semua yang aku lalui ini, adalah pengalamanku.Yang baik, buruk, biasa dan tak biasanya hanya aku yang tau, hanya aku yang memiliki.Meskipun aku terkadang menyesali kenapa harus menjadi bagian dari semua ini, bertemu dengan oarng-orang yang sering kali menguras emosi.Tapi sekali lagi tapi, aku berusaha mengambil hikmah dibalik semua ini.Dengan menghargai pengalaman pertama dan mungkin saja pengalaman terakhir ini, aku memutuskan membagi sepenggal kisah sebelum pentas.
Catatan Stage Designer: Tika dkk
Drama muncul akibat adanya daya kreativitas manusia yang bertujuan untuk menghilangkan kejenuhan atau kebosanan bahkan hanya digunakan sebagai sarana hiburan dengan mendayagunakan permasalahan yang ada dalam kehidupannya sehari-hari dan kemudian diangkat menjadi sebuah naskah yang menarik yang ditampilkan dalam panggung sandiwara.
Kebanyakan manusia beranggapan bahwa drama adalah panggung sandiwara dimana sandiwara berasal dari 2 penggalan kata yaitu “sandi” yang berarti samar-samar, terselubung, rahasia sementara “wara” berarti pengajaran atau pesan didalam bahasa Jawa. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa drama yang dipertunjukan tidak hanya mengandung grak-grik dari aktor saja namun juga sebuah drama mengajarkan pesan tersirat dari aksi yang ditampilkan oleh aktor, disinilah kesempatan penonton untuk mencari pesan tersirat melalui interpretasi dan imaginasi mereka yang mana pesan yang disampaikan dapat digunakan penonton sebagai pedoman hidup yang penting dalam kehidupan nyatanya.
Inilah esensi nyata dari pementasan drama dimana pesan yang disampaikan lebih penting daripada seberapa baiknya atau seberapa lama drama tersebut dipentaskan oleh para aktor diatas panggung namun tidak sedikitpun meninggalkan kesan dan efek dihati penonton.Ini menjadi sebuah permasalahan yang keliru yang terkadang tidak disadari oleh para aktor dan juga penonton.
Seperti dalam pementasan naskah drama berjudul “schizophrenia”, saya sebagai salah satu crew dari stage designer merasa bimbang tentang bagaimana cara menyampaikan pesan moral dari naskah ini. Sebab di dalam naskah schizophrenia, salah seorang aktor “woman” mengalami gangguan halusinasi yang akan membuat penonton akan kesulitan memahami jalan cerita dari naskah ini.
Jika penonton tidak dapat mengerti jalan cerita dari naskah yang ditampilkan akan menimbulkan “misinterpretation” atau kesalahan dalam menafsirkan bagaimana sebenarnya naskah tersebut berjalan dan apa pesan moral dibalik penampilan aktor. Ini menjadi “PR” atau perkerjaan rumah bagi stage designer untuk menghindari penonton dari misinterpretation dengan menampil beberapa properti yang dapat menjunjang permainan aktor diatas panggung. Dalam memenuhi berbagai properti tersebut tidaklah mudah bagi saya dan stage designer lainnya terlebih kami hanyalah wanita yang tidak ambil bagian sebagai aktor ataupun choir.
Catatan Penata Make Up: Vienny, De Dwi dkk
Makeup adalah bagian yang penting di teater dalam mendukung pembentukan karakter. Dalam hal ini, saya koordinator makeup Vienny dan 2 teman saya Dwi Purnamasari dan Widiari dipercaya untuk menjadi makeup dalam pementasan teater “Schizophrenia”. Dalam tugas ini kami berpikir bahwa semua itu merupakan suatu kehormatan dan tugas yang mulia karena kami bisa bercengkrama langsung dengan para aktor dan juga dapat menanyakan model make up yang sesuai dengan keinginan mereka.
Berdasarkan naskah drama yang ditulis oleh Kadek Sonia Piscayanti, S.Pd.,M.Pd. yang berjudul Schizophrenia ini, seorang perempuan mempunyai penyakit mental yang dinamakan Schizophrenia. Penyakit ini merupakan penyakit langka karena para penderitanya mempunyai bayang-bayang atau halusinasi yang tidak nyata namun mereka menganggap semua itu adalah teror yang menakutkan dan selalu datang kapanpun.
Terdapat 3 karakter disini, yaitu Cleo sebagai a women, Juni sebagai a mother and Rangga sebagai love. Dihari pertama dalam mendapat tugas ini, kami mendiskusikan beberapa konsep yang cocok untuk makeup ketiga karater tersebut.Konsep makeup ini bermanfaat bagi kami pada saat hari pementasan.
Setelah sepakat dalam menentukan konsep makeup dengan hasil, tokoh woman yang diperankan oleh Putu Cleo Chintya Rossa Devi (5C) karena karakter woman tersebut sedang mengidap penyakit mental dan untuk orang yang mengidap penyakit mental rasanya tidak mungkin untuk merias dia secara lengkap. Rambutnya pun dibuat acak-acakan dengan tujuan bahwa dia memang memerankan peran sakit dan kondisi mentalnya tidak terkontrol sebagaimana biasa anak perempuan di sekitarnya.
Karakter kedua adalah Love yang diperankan oleh Rangga Krisna Saputra (5C).karakter ini adalah laki-laki yang mencintai woman sejak pandangan pertama. Namun hubungan asmara mereka hanya berlangsung sementara dikarenakan mother (Ni Ketut Juniari (5C)) tidak menyetujui jika Love mendekati anak perempuannya karena karakter mother takut untuk membiarkan anak perempuannya pergi.
Sebagai karakter Love, maka make up yang digunakan tidak begitu terlihat namun kami memfokuskan lipstik berwarna natural sebagai make up sederhana untuk peran laki-laki sekaligus menampilkan kesan natural untuk Love. Di sisi lain, karakter mother menampilkan kesan make up yang terlihat keibuan dan juga di make up mother ini, kami akan menampilkan efek luka-luka yang berada di leher dan tangan sebagai tanda bahwa mother merupakan karakter yang selalu menjadi pusat amarah woman yang sedang mengamuk karena mother selalu menganggunya. Woman menganggap jika sang ibu adalah monster yang menakutkan yang selalu datang kepadanya.
Kami membeli peralatan untuk make up yang sesuai dengan karakter dan sesuai dengan apa yang kami butuhkan, seperti foundation, bedak dll. Karena ini hal yang baru menurut kami, kamipun sempat bingung dalam membeli peralatan makeup karena kebanyakan makeup harganya mahal dan uang yang terbatas, namun itu dapat kami atasi dengan giat mencari informasi diinternet yang berhubungan dengan makeup yang murah tapi dengan kualitas yang bagus untuk menyesuaikan biaya yang kami miliki.Untuk luka buatan yang kami gunakan kepada a mother, kami menggunakan wax dengan campuran tepung kanji dan tender care dari oriflamme.Setelah kami mncoba, ternyata hasilnya bagus dan berhasil.
Dari sini, kami mendapatkan pengalaman yang sangat baru karena sebelumnya juga kami belum pernah melalukan ini secara professional.Kami juga diajarkan untuk menyelesaikan segala sesuatu dengan tepat waktu dan juga tanggung jawab untuk bagian bagian pekerjaan yang kami dapatkan agar teater yang kami adakan berjalan dengan lancar.
Catatan Publikasi: Heri Sanjaya
Ini tentang pengalaman saya selama bergabung menjadi anggota dari pementasan drama untuk mata kuliah literature 2. Hal pertama yang terbesit dikepala saya saat saya taukelas saya akan mementaskan sebuah naskah drama adalah, saya ingin jadi pengatur pencahayaan panggung. Saya berpikir akan seru kalau saya bisa ikut terlibat memainkan emosi penonton hanya dengan beberapa buah lampu saja.
Pencahayaan ini yang kemudian akan dipadukan dengan bersama skill para pemeran tokoh dalam drama dan juga pemusik serta penyanyi choir. yang akan kami pentaskan nanti. Saat rapat pertama kami, diberitahukan naskah yang mana yang akan kami pentaskan serta siapa saja orang yang akan menjadi pemain. Naskah yang kami akan pentaskan berjudul ‘schizophrenia’ buah karya dari miss Sonia, dosen literature kami.
Singkat cerita yang terpilih menjadi pemain adalah Rangga sebagai ‘Man’, Cleo sebagai ‘the woman’ dan Juniari sebagai ‘the mother’. Setelah pemain kemudia kami menentukan para koordinator yang akan mengatur semua aspek dari pementasan drama kami yang pertama ini. Saya sendiri dipercaya sebagai koor publikasi dan dokumentasi
Bekal saya dan teman-teman lain cuma teori-teori teater yang diajarkan oleh miss Sonia, kami sama sekali tidak mempunyai pengalaman lapangan tentang bagaimana dan seperti apa pementasan drama itu berlangsung di belakang panggung, apa yang mesti kami lakukan kalau ada kesalahan, dan bagaimana mengatur rasa gugup kami agar itu tak mengganggu aktifitas kami selama pementasan
Singkat cerita, latihan pertama dimulai. Para aktor mulai mempraktekan naskah yang telah mereka interpretasikan. Mereka mulai memainkan ekspresi. Saya sendiri-dengan ilmu keaktoran yang sedikit-merasa akting mereka itu sudah bagus karena saat saya menonton mereka latihan, saya seakan masuk ke dalam cerita.di sisi lain para penata musik mulai menyusun nada-nada untuk membuat beberapa aransemen yang nantinya akan dimainkan pada adegan tertentu pada drama kami.
Sama seperti para aktor, penata musik nampaknya berhasil memilih nada yang tepat untuk merepresentasikan mood dari tiap adegan. Sembari mereka latihan, saya menyempatkan diri untuk mendokumentasikan kegiatan mereka dan juga memikirkan desain untuk poster promosi yang akan kami gunakan untuk memberitau khalayak umum tentang pementasan kami. Saya berusaha membuat poster yang bagus karena jujur,saya sendiri mengharapkan ada lebih banyak orang yang menonton pementasan kami sehingga lebih banyak orang yang tau, inilah hasil jerih payah kami untuk menghasilkan pementasan teater yang berkualitas.
Belasan hari berlalu, kami telah melakukan beberapa kali latihan. Dan dua hari sejak tulisan ini saya buat, tepat dimana hari pementasan tiba, kami akan segera paham apa itu teater yang sesungguhnya. (T)