PERTUNJUKAN drama musikal ‘Tragedi Karma Bumi’, memberi warna penampilan yang berbeda. Pesannya pas, musiknya kuat.
Yah, Minggu malam di penghujung November, 26/11/2017 ini terasa berbeda. Rasa berbeda itu berupa pertunjukkan drama musikal hasil kolaborasi Dewa Jayendra (teater) dan Ari Wijaya serta Palawara Music Company (musik).
Pertunjukkan yang menjadi bagian dari Gelar Seni Akhir Pekan (GSAP) Bali Mandara Nawanatya II tahun 2017. Bila selama bulan November ini tema performance art diterjemahkan dalam bentuk sajian tari atau drama tari, maka malam itu sajiannya berupa drama musikal. Sajian yang belum banyak yang menggarapnya di belantara seni di Bali.
“Sajian malam mini agak berbeda dari biasa-biasanya. Pesan dramanya kena bila yang menjadi sasaran tembak itu kondisi kaliyuga saat ini. Dan Musiknya sangat kuat mendukung drama musikalnya,” apresiasi pengamat seni Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST,MA.
Hanya saja Dibia memberi catatan bahwa drama musikal ini masih kurang padat walaui sudah bagus. Karena drama musikal itu memerlukan waktu selingan dan sebagainya. “Jadi ada bagian-bagian cerita yang seharusnya dipadatkan. Sehingga pertunjukkan menjadi lebih kental,” saran Dibia. Selain itu belum semua pemain merata aktingnya. Ada yang bagus dan ada juga yang masih kurang. “Walau begitu garapan musik pertunjukkan ini bagus dan kuat menunjang drama musikal,” ujar Dibia.
Kekuatan musik ini juga mendapat apresiasi dari curator Bali Mandara Nawanatya II tahun 2017, Mas Ruscita Dewi. ”Musiknya bagus sekali. Saya sebenarnya berharap musik itu tidak selalu menjadi background. Melainkan menjadi yang utama dan teater yang menjadi backgroundnya,” tutur Mas Ruscita.
Catatan Mas Ruscita agak berbeda dengan Dibia soal jalan cerita. “Jalan ceritanya belum terlalu kuat. Walaupun begitu penampilan secara keseluruhan sudah bagus,” ucap Mas Ruscita. Yang menjadi ganjalan bagi Mas Ruscita adalah pilihan kata-kata indah dari Krisna yang ada di kitab suci kurang pas menjadi dialog tokoh raja yang masih diselimuti ego dan karma serta kemarahan. Mas Ruscita berharap kata-kata indah dari kitan suci tidak selalu harus dipaksakan dalam cerita. Kata-kata indah tidak selalu kata-kata kitab suci.
Drama musikal ‘Tragedi Karma Bumi’ mengankat cerita dengan latar jaman Kaliyuga di sebuah kerajaan. Dalam cerita terungkap hasrat Patih Terascina yang ingin berkuasa dan ingin menikahi sang permaisuri raja. Hasrat ini kemudian bertemu dengan kemarahan, ego dan kegelapan yang menyelimuti diri Raja Catur Maha Raja Kayika. Pertemuan hasrat dan karakter itu berujung dengan tewasnya para pemain kunci dalam ‘Tragedi Karma Bumi’. (T)