NOVEMBER, sebagaimana mungkin banyak orang lain, selalu mengingatkan saya pada sebuah lagu GunsN’Roses yang menggeram, dengan dentum drum dan petikan gitar seperti hujan dalam badai. Lagu itu, “November Rain”, menyeret saya pada sosok sahabat waktu di sekolah menengah atas, di kota kabupaten, nun di pesisir barat Sumatera.
Namanya Oesman Gumanti, akrab dipanggil Igan. Ia jago sekali membawakan lagu itu, meski hanya dengan petikan gitar, dan seolah hanya itulah satu-satunya lagu yang bisa ia mainkan—kami pun merasa, lagu lain yang ia mainkan seolah tak lagi diperlukan.
Biasanya, sehabis menyanyi di kantin (di situ ada gitar tua milik anak penjaga sekolah), Igan akan membuka sebotol limun rasa jeruk, dan meminumnya.
“Metal tak harus ngebir, limun lebih segar,” kata Igan, bersendawa.
Kami mengiyakan dan mereguk limun dari botol yang sama. Waktu itu, botol-botol limun masih berderet rapi, tertata di meja warung-warung kota kecil kami. Limun produksi lokal yang rasanya nendang, belum tersaingi minuman botol perusahaan raksasa seperti Sosro atau Coca-Cola.
Jangan pula sebut bir, minuman bersoda pun sangat jarang. Alhasil memang hanya limun yang bisa dipilih dari minuman botol. Tak tahu, apakah jika ada jenis minuman botol lain, Igan tetap bersetia dengan botol limun. Sebab, kami tahu di beberapa warung tersedia juga “vigur”—jenis minuman lokal berakhohol—dan beberapa kali terjadi peristiwa menggemparkan di kota kecil kami: minuman keras hilang dari gudang penyimpanan barang bukti Kejati!
Ah, itu masa lalu. Tapi sebuah momentum bisa membawa kita ke suatu tempat, ruang, waktu, peristiwa, kenangan, nama-nama, atau apa pun sebutannya.
Setelah “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono “abadi” jadi penanda pertengahan tahun sekaligus musim kemarau (meski sekarang Juni kerap dikunjungi penghujan), saya kira “November Rain” sahih jadi penanda musim basah (meski kini langit lebih sering bunting berlama-lama); dan bagi saya sekaligus jadi penanda ingatan pada Igan beserta semua kawan yang sudah berpencar.
Bertahun-tahun seperti itu, sampai pada dua atau tiga tahun terakhir, peta ingatan itu berubah. November bukan hanya mengingatkan saya pada sosok Igan, laki-laki jangkung berambut jagung, tapi juga kepada nama dan sosok lain, laki-laki tambun dengan kumis yang rimbun.
Berawal dari cara yang ganjil, kesedihan menyelinap, diam-diam, ketika pertengahan November yang lembab, dua tahun lalu, saya terima kabar dari penyair Nuryana Asmaudi tentang perginya seorang sahabat kami ke alam keabadian. Kabar yang terlambat. Saya juga baru tahu. Semua kita tahu terlambat, tulis balasan di layar handphone waktu saya menggugat kenapa baru mendapat kabar.
Di tengah kecepatan informasi dan kecanggihan gawai, sebuah berita duka justru terlambat kami dapatkan. Tapi mungkin lantaran itu pula ia menyusup dan menyelinap diam-diam, dingin, beku, seperti cuaca akhir tahun yang selalu lembab. Sosok yang pergi itu pun seolah basah kuyup di ujung jalan, bukan hanya oleh curah hujan, juga oleh derasnya kenangan, bagai ditumpahkan dari pancuran batu di kaki bukit, di tepi ladang yang jauh.
Laki-laki dengan wajah bulat tembam, badan besar bongsor, kata-kata dan senyumannya selalu menyatu setiap kami berhadap muka dalam percakapan-percakapan panjang. Dari Marga Tabanan, pantai Nyanyi, Kreneng, warung Padang di Ubung, Kantor Bali Post di Jalan Kepundung, sebuah rumah di Jalan Bedahulu XV/28, hingga rumahnya sendiri di bilangan Teuku Umar Denpasar.
Ditemani minuman hangat, nasi beras merah, jukut ares, dan kopi hitam arang, kami rentang percakapan hingga malam tinggal dedak. Di lain waktu, ia ajak kami menggasak kelezatan pepes ikan Kusamba, sambil menatap laut Nusa Penida.
Dalam tubuhnya yang tambun, tersimpan gairah besar yang tak terlerai bahkan oleh embun menjelang dinihari. Bersama kawan-kawannya, ia berhasil menyelenggarakan Lomba Cipta Puisi tentang Puputan Margarana lalu membuat kegiatan sastra cukup besar di wantilan bersejarah itu. Selanjutnya banyak kegiatan sastra ia adakan bersama komunitasnya di Marga, dengan jaminan keamanan bagi kawan-kawan penyelenggara, maksudnya tentu saja soal dana.
“Tenang saja, dana pasti cair selagi ada dia,” kata seorang panitia acara, menunjuk si laki-laki tambun itu.
Kawan panitia itu benar belaka. Selagi ada sosok kebapakan yang tersenyum sejuk di samping panitia sebuah acara, segalanya akan aman. Si laki-laki tambun bertangan dingin menggaet sponsor, tak hanya berupa uang segar, juga barter hasil bumi!
Menggaet sponsor, itu satu keunggulannya yang sampai sekarang mungkin belum tergantikan. Keunggulan lain menurutku: Ia hapal nama-nama siswa yang menulis puisi di sekolah yang ia ampu, sampai kepada latar belakang keluarga si anak. Puisi-puisi itu ia kumpulkan, ia ketik ulang, dan dikirim kepada Umbu Landu Parangi di Bali Post.
“Puisi yang polos, indah dan murni,” katanya dengan senyum terkulum, tak kalah polos.
Saya mengamsal kemurnian yang ia maksud dari denting botol limun, yang seolah ikut berdenting di antara botol-botol bir. Ya, ayahnya adalah orang terakhir pengusaha minuman limun di Pulau Bali, atau bahkan mungkin di tanah air, sebelum semuanya tutup karena serbuan minuman bersoda keluaran pabrik-pabrik korporasi.
Beberapa kali saya diajaknya singgah ke rumah keluarganya, di pinggiran Kota Tabanan, dan menemukan botol-botol limun dalam karung dan kotak-kotak kayu, memasuki masa senjakala.
Tapi sebagaimana ia percaya pada kemurnian puisi yang ditulis murid-muridnya, seperti itu pula denting-denting botol limun itu berkecambah jadi gairah dalam hidupnya.
Begitulah ia hidup, penuh persahabatan dan kehangatan. Ia rajin menelepon jika lama tak berjumpa. Sekadar kangen atau bertanya apa kabar, di antara kesibukannya mengurus usaha travelnya yang lumayan terus berkembang. Kesibukan dan entah apalagi tampaknya menyita cukup tenaga dan waktunya, sampai akhirnya kami dengar ia jatuh sakit.
Sakit pertama ia masih bisa bangkit, dan kembali bergabung mengurus usahanya. Bahkan sudah bisa kembali aktif masuk karaoke segala. Serangan berikutnya, ia benar-benar hanya bisa di rumah, mengandalkan kursi roda.
Ketika sesekali datang ke Denpasar, saya menyempatkan singgah dan menemukan ia yang tak mengeluh berusaha bertahan. Selebihnya,kami sering bertelepon. Gairahnya tak padam, setidaknya lewat percakapannya di telepon, pagi, siang atau malam.
Terakhir, ia menelepon kangen bakpia pathuk, dan kami mengirimkannya dengan senang hati dari Yogya. Setelah itu lama tak ada kabar, sampai menyelinap kabar yang dingin itu: dia, Pak Doel Sumadi, telah berangkat ke alam abadi!
Meski terlambat—dan terlambat juga saya tuliskan—kabar itu tak basi. Hanya mengendap, tak mau pergi. Dan dengan itu kesedihan menyelinap, seperti botol limun terakhir yang dikarungkan lalu diseret derak truk tengah malam. Membawanya menjauh, tapi tidak, setiap kali terasa sayup, aku kembali membuatnya gemuruh. Seperti ombak Nusa Penida atau gelombang Pantai Nyanyi, menghempas karang-karang rindu, di laut biru. (T)