ANAK-ANAK kecil zaman dulu alias “kids zaman old” lebih banyak punya bayangan seram soal isi lontar. Misalnya berisi mantera kesaktian, mantera suci, atau mantera pengeleakan. Maka tak banyak yang berani dan lagas baca lontar.
Padahal sesungguhnya lontar itu berisi banyak pengetahuan umum semacam jenis-jenis anjing, jenis kuda, cara memelihara ayam atau kucing. Ada juga yang agak berat namun penting untuk dipelajari semacam ajaran spiritual.
Untuk itulah, kids zaman now tak perlu takut lagi mempelajari isi lontar. Apalagi kini lontar juga sudah mengikuti zaman now, bisa diklik di internet. Anak-anak cukup mengklik aplikasi tertentu di android, kini setiap orang dapat membaca lontar.
Begitu antara lain pesan yang tersampaikan dalam Workshop Mengenal Lontar di Kalangan Angsoka, Taman Budaya, Denpasar, Rabu, 8 November 2017. Peserta workshop memang anak-anak SMP yang kini kerap dijuluki generasi zaman now.
Sugi Lanus, seorang penekun lontar di Bali, dalam workshop itu menyatakan punya keinginan untuk membongkar kesan seram dalam belajar lontar. “Saya sebenarnya ingin membongkar kesan menyeram-nyeramkan dalam membaca dan menulis lontar,” katanya.
Kesan tak seram itu bahkan ditunjukkan Sugi Lanus saar tampil selaku pembicara di workshop itu. Ia tidak tampil dengan pakaian adat dan mengenakan udeng, selayaknya penekun lontar pada umumnya. Ia justru tampil trendi layaknya anak muda zaman sekarang, walau tak sama persis dengan kids zaman now.
“Saya ini anak zaman old. Kalian adalah anak zaman now yang sangat lekat dengan android. Anak jaman now Bali itu bisa baca lontar. Bisa belajar lontar lewat internet,” katanya.
Pada kesempatan itu Sugi Lanus, mengajak anak-anak muda sekarang rajin membaca. “Yah, kalau belum bisa baca lontar, minimal suka membaca bacaan aksara latin,” ujarnya.
Bagi Sugi Lanus, kalau anak muda sudah jarang atau tidak suka membaca buku aksara latin, jangan harap mereka akan tertarik membaca lontar aksara Bali. Buku berhurf latin saja malas baca, apalagi lontar dengan aksara Bali.
“Coba bayangkan kalau sudah tidak suka membaca buku aksara latin yang sudah dikenalnya, bagaimana mau menyukai bahkan dapat membaca lontar aksara Bali yang belum tentu setiap hari dilihatnya,” jelasnya.
Menurut Sugi Lanus, dalam lontar tertulis beragam pengetahuan. Mulai dari yang sederhana cara memelihara ayam atau kucing hingga yang berat tentang ajaran spiritual. Kembali pada pembacanya mau mencari apa dalam lontar.
Khusus bagi peserta workshop yang siswa-siswa SMP Sugi Lanus menyarankan tidak usah mencari dan membaca lontar-lontar untuk belajar kesaktian atau pengleakan. “Untuk apa kita belajar pengleakan, cara membuat api. Kalau mau buat api minta uang ke ibu dua ribu lima ratus rupiah, terus beli korek bakar kertas, kan sudah jadi api,” ujarnya tertawa disambut tertawa peserta workshop.
Atau, kata Sugi Lanus, untuk apa kita selaku manusia belajar kesaktian menjadi monyet atau cicing berung. “Sudah sempurna jadi manusia kok mau menjadi cicing berung. Lontar seperti itu tidak usah dibaca generasi anak zaman now seperti kalian,” pesannya disambut tawa peserta dan guru pendamping yang hadir.
Workshop juga diisi dengan praktek menulis lontar. Untuk itu Sugi didampingi oleh timnya. Diantaranya Gus Dharma dan para penyuluh bahasa Bali yang dengan setia mendampingi kegiatan workshop yang semula terkesan seram dan suram justru sangat cair dan penuh tawa canda. (T/R)