BERADA di pengungsian selama satu bulan sejak status Gunung Agung meningkat menjadi awas tentunya bukan hal yang mudah dijalani. Meninggalkan rumah dan kampung halaman, tidur di tempat yang kurang nyaman, aktifitas terbatas dan dilanda kebimbangan akankah Sang Tohlangkir akan memuntahkan laharnya atau tidak membuat warga yang tinggal di pengungsian merindukan suasana nyaman rumah mereka.
Banyak cerita dari tempat pengungsian, cerita yang hanya tinggal cerita jika tidak diceritakan atau dituangkan dalam bentuk tulisan. Dalam rangka serangkaian acara Anugerah Jurnalisme Warga yang akan diadakan pada bulan November 2017, BaleBengong, portal jurnalisme warga bersama dengan Bali Blogger Community, Tatkala.Co, Nyegara Gunung dan sejumlah relawan mengadakan Kelas Jurnalisme Warga di Desa Bungaya dan Nyuh Tebel, Karangasem.
Kegiatan ini digelar 22 Oktober 2017 bertujuan untuk mendorong dan menggali suara-suara warga guna membantu mitigasi bencana melalui informasi edukatif tentang vulkanologi, kesiapsiagaan, dan pengetahuan dalam pengungsian dari warga itu sendiri.
Berbagi informasi dan pengetahuan mitigasi dari warga perlu didorong untuk meningkatkan daya tahan menghadapi bencana alam. Suara-suara ini jika tergali juga akan memberikan pemahaman bagi pelaksana siaga tanggap darurat dalam memahami kebutuhan warga terdampak. Untuk itu, salah satu cara menyaring suara warga melalui kelas jurnalisme warga.
Relawan dibagi menjadi 2 tim. Tim 1 berangkat ke Desa Bungaya dan tim ke 2 ke Desa Nyuh Tebel. Kegiatan dimulai dengan ice breaking, perkenalan fasilitator dan anak-anak yang mengikuti kelas. Peserta terdiri dari anak-anak dan remaja usia 7 – 25 tahun. Kemudian kegiatan dilanjutkan dengan sesi pengenalan cara menulis.
Di Desa Bungaya peserta kelas jurnalisme warga mencapai 100 orang yang terdiri dari anak-anak dan remaja yang tinggal di pengungsian sekitar Bungaya diikoordinatori oleh bapak Latra. Sedangkan di Desa Nyuh Tebel peserta berjumlah 24 anak masing-masing 6 anak usia 6 – 7 tahun, 8 anak usia 8 – 11 tahun, dan 10 anak usia 12 – 17 tahun.
Peserta dibagi berdasarkan rentang usia yang kemudian diberi kegiatan sesuai dengan kelompok usia mereka. Anak-anak kelompok usia 6 – 7 tahun yang belum bisa menulis dengan fasih diajak menggambar tentang gunung Agung atau tempat pengungsian mereka. Kemudian, peserta yang lain diberikan pelatihan mengenai cara menulis. Peserta dibagi menjadi 3 kelompok dengan kegiatan yang berbeda. Kelompok Catat Curhat, foto Ponsel, dan Reportase.
Kegiatan catat curhat dilakukan berpasangan di mana peserta melakukan interview tentang pengalaman mereka selama berada di pengungsian. Setelah itu, hasil interview mereka tulis menjadi sebuah laporan sederhana. Pengalaman-pengalaman tersebut sangat menarik. Suka dan duka mereka selama tinggal di pengungsian diceritakan dengan sederhana.
Kemudian, hasil tulisan mereka dipresentasikan di hadapan peserta lainnya. Kegiatan catat curhat selain bisa menuangkan apa yang peserta rasakan dan alami juga memberikan informasi kepada kita tentang bagaimana keadaan di pengungsian serta hal-hal apa saja yang mereka butuhkan selama berada di sana.
Hal-hal menarik yang terjadi di pengungsian sangat beragam, kelompok foto ponsel mengabadikan hal tersebut dalam serangkaian foto. Seperti kegiatan kala senggang pengungsi yang diisi dengan membuat perangkat upakara ataupun obrolan siang para lansia sambil dipijat yang menunjukkan kebersamaan di antara mereka. Foto – foto tersebut kemudian dicetak lalu ditambahkan judul menarik yang merepresentasikan kisah di dalamnya.
Hasil-hasil karya gambar, catat curhat dan foto ponsel kemudian di tempel dan dipajang di areal penungsian. Nantinya karya-karya tersebut dapat dibaca oleh para pengungsi dimasa senggang ataupun relawan-relawan yang berkunjung. Para peserta merasa senang hasil karyanya bisa dilihat oleh keluarga dan rekan-rekan mereka yang lain.
Sedangkan kegiatan ketiga yaitu reportase sedikit berbeda dengan 3 kegiatan lain yang bisa dinikmati secara langsung. Dalam kegiatan ini, peserta membuat video sederhana tentang hal menarik yang mereka temui di pengungsian pada saat itu lengkap dengan wawancara dengan narasumber.
Contohnya, tentang ketersediaan logistik bahan pangan dan pendistribusiannya untuk para pengungsi. Peserta mewawancarai koordinator pengungsi terkait hal tersebut. Menariknya, peserta diminta untuk meliput seperti reporter sungguhan. Hasil karya mereka nantinya akan diupload oleh fasilitator ke sosial media.
Kegiatan kelas jurnalisme warga berlangsung kurang lebih 2,5 jam. Obrolan-obrolan dan cerita menarik mengalir dari peserta. Suasana akrab dan kekeluargaan terbangun dengan mudah. Masih banyak cerita yang pasti masih mengendap belum digali dalam waktu yang sangat singkat tersebut.
Diharapkan kegiatan ini peserta mempunyai bekal untuk bisa menuangkan cerita suka maupun keluh kesah mereka dalam tulisan yang nantinya bisa dinikmati bukan hanya untuk mereka sendiri tetapi juga orang lain. (T)