MINGGU, 22 Oktober 2017, di kota Bangli tepatnya kantor Parisada Hindu Dharma Indonesia [PHDI], sekumpulan orang-orang yang sakit jiwanya, datang untuk berobat. Jiwa yang sakit, disebabkan rasa cinta. Kecintaan melahirkan kerinduan, rindu yang belum terobati mengakibatkan jiwa sakit.
Benar memang, jika hati yang belum mendapat apa yang didambanya, akan terus menagih. Tidak lagi ada kepedulian pada jarak, baik jarak berupa ruang atau waktu. Untuk mengobati kerinduan itu, maka pada waktu yang telah disebutkan tadi, berkumpullah orang-orang gila.
Mereka tidak merampok, tidak memperkosa, tapi hanya mencuri. Mereka mencuri sesuatu namun tidak merugikan orang-orang waras atau yang mengaku waras. Bangli ketika itu, menjadi tempat berkumpulnya segala ketidakwarasan. Apalah gila jika bukan lupa. Apalah lupa jika bukan gelap mata. Apalah sebab mata menjadi gelap terkecuali cinta buta. Kebutaan menjadi sebab ketidakpastian.
Tapi tunggu dulu, ketidakpastian barangkali menjadi milik semua manusia, termasuk yang tidak buta. Bukankah memang begitu yang diajarkan oleh waktu [baca: kala]? Ia menandakan adanya kehidupan sekaligus kematian. Menurut ajaran ‘Kala’, segala yang ada di bumi manusia ini telah divonis mati, bahkan ketika kehidupan baru direngkuhnya.
Kumpulan orang-orang gila itu ternyata berdiskusi! Diskusi ini terselenggara atas keputusan yang diambil tidak sepihak, sebagai hasil permusyawaratan yang diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya oleh komunitas yang bernama BASKOM. BASKOM adalah akronim dari Bangli Sastra Komala.
Mereka mendiskusikan dua buku yang berjudul Jaen Idup di Bali [Cerpen] karya I Made Suar-Timuhun dan Bulan Sisi Kauh [Prosa Liris] karya anak manusia yang menyebut dirinya Nirguna. Kedua buku itu dibuat dengan bahasa Bali. Ada dua orang yang ditunjuk sebagai pemancing diskusi, I Putu Supartika [Jaen Idup di Bali] dan I Putu Eka Guna Yasa [Bulan Sisi Kauh]. Kedua pembicara begitu semangat dengan pikirannya masing-masing. Supartika, anak muda usia tapi tidak wawasannya, dengan garang ‘mengunyah’ Jaen Idup di Bali karya Made Suar-Timuhun. Katanya, “Kau tahu? Inilah cerita-cerita yang lahir dari Desa”.
Untuk memperkuat argumentasinya itu, Supartika mengutip kalimat berikut ‘yen sing amah leak, pasti iriang timpal’ [jika tidak dimakan leak, pasti [membuat] teman iri]. Ungkapan itu menurut Supartika biasa didengar di masyarakat, terutama masyarakat desa yang masih percaya dengan hal-hal yang bersifat mistis. Selain tentang isinya, Supartika juga mengomentari cover Jaen Idup di Bali.
“Jika pertama kali kau menemukan buku ini di toko buku ataupun ada teman yang membawanya dan kau pinjam, maka kau akan menemukan cover yang menarik dari buku ini … Tapi, bagaimana jika kau mulai membuka halaman buku ini dan mulai membaca cerpen yang ada di dalamnya? Apakah tetap semanis atau semenarik covernya?”
Demikian Supartika berujar bahwa covernya menarik dan manis. Menarik karena dipandang, manis mungkin karena Supartika benar-benar ‘mengunyahnya’. Intinya, Supartika memuji cover buku itu yang dikerjakan oleh seorang kartunis handal bernama Pinky Sinanta. Bahasa yang digunakan pengarang Jaen Idup di Bali, adalah bahasa yang mudah, mengalir, tidak berbelit, dan tidak memerlukan interpretasi lebih untuk dapat memahaminya.
Bahkan, jika pembaca adalah seorang pembaca pemula, tidak akan kesulitan memahami cerita yang disajikan. Jadi Jaen Idup di Bali adalah cerpen dengan bahasa sederhana karya Made Suar-Timuhun yang patut dibaca dan dipahami sebagai tanggapan atas situasi sosial-kultural Bali. Pada tahapan inilah berlaku rumus ‘pengarang adalah pembaca jaman’. Apakah dengan bahasa sederhana, Jaen Idup di Bali menjadi tidak menarik? Kesederhanaan air yang mengalir tenang. Dan, dari dulu saya diajarkan, hati-hati pada air tenang, karena ia menghanyutkan.
Putu Eka Guna Yasa membahas Bulan Sisi Kauh karya Nirguna yang diberikan komentar oleh IBM Dharma Palguna. Ternyata ada tiga ‘guna’ [Palguna, Guna Yasa, Nirguna]. Guna bisa berarti sifat sebagaimana dikatakan IBM Dharma Palguna, tapi Guna bisa berarti kemampuan atau kegunaan seperti yang diungkapkan Guna Yasa. Jadi Nirguna bisa berarti tanpa sifat, bisa juga berarti tanpa kemampuan [kegunaan]. Mana yang benar?
Cover buku Bulan Sisi Kauh menurut Guna Yasa, menunjukkan embun di ujung ilalang yang diistilahkan sebagai ambun ri agraning kusa. Ada hubungan yang tidak sederhana antara embun dan ujung ilalang.
Guna Yasa menyebutkan ‘matahari yang bersinar di ujung embun itu adalah Paramatman, sedangkan embunnya adalah atman. Pada manusia yang telah suci jiwanya, sinar matahari tampak dengan jelas’. Selanjutnya, Guna Yasa juga mengomentari isi Bulan Sisi Kauh mulai dari permohonan maaf, sampai pada beberapa judul prosa liris yang terdapat di dalamnya.
Pembahasan Guna Yasa begitu mendalam, didasarkan pada hasil bacaannya terhadap sastra-sastra klasik yang diduga memiliki hubungan dengan Bulan Sisi Kauh. Guna Yasa juga menambahkan ‘karya sastra ini dapat dijadikan contoh penggunaan bahasa Bali yang sangat baik, dalam karya sastra. Dengan sarana kata-katalah ia [Nirguna] merakit aneka temuan dalam pencariannya. Hasi pergulatan dan pencariannya itu dapat kita jadikan suluh urip dan sangu pati’.
Pernyataan Guna Yasa tersebut, membuat saya ingin berpesan kepada Nirguna, ‘kata-kata juga sama dengan air, ia mengalir. Tidak hanya pada air deras, hati-hatilah juga pada air tenang, siapa tahu di sana ada buayanya. Jangankan di air, di darat pun buaya itu tidak sedikit [jika tidak dapat disebut banyak]’.
Sebagai penutup, ada dua refleksi yang diberikan oleh Guna Yasa: 1) Bulan Sisi Kauh adalah karya sastra teo-sentris dan belum memprioritaskan pada kritik sosial; 2) Sikap optimis dalam upaya mengembangkan sastra Bali Modern perlu dikembangkan, sebagaimana Rabindranath Tagore dengan karya-karyanya yang monumental.
Bangli, memang tempat berkumpulnya orang-orang gila. Kali ini hal itu terbukti, dengan berkumpulnya orang-orang gila itu dan membicarakan hal-hal yang disukainya. Alit Joule sebagai moderator mengantarkan diskusi dengan baik, sehingga situasi yang sempat memanas menjadi dingin kembali. Renes Muliani, anak muda berbakat, membacakan beberapa puisi karyanya sendiri, juga karya I Nengah Jati.
Putra Ariawan membacakan cerpen Jaen Idup di Bali. Wayan Supertama, salah satu penggiat sastra Bali, juga hadir dan memberikan pandangan-pandangannya. Beberapa orang guru SMA pun datang bersama dengan beberapa murid yang begitu pro-aktif, mulai dari mendengarkan sampai turut bertanya tentang hal-hal esensial.
Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Bangli turut hadir dan beberapa di antaranya memberikan komentar terhadap karya sastra yang dibicarakan juga acara yang diselenggarakan. Ternyata benar, sastra adalah ‘lampu penerang’. Penyuluh adalah yang memberikan penerangan bagi siapapun yang merasa berada di tempat gelap [saya].
Kabar mengenai berkumpulnya orang-orang gila ini memang terlambat jika dipandang dari segi etika jurnalis, seperti lawar masem. Tapi benarkah sesuatu benar-benar terlambat jika terus direnungkan?
Barangkali demikianlah sastra, ia selalu menyediakan segala sesuatu yang telah dianggap selesai untuk dipikirkan kembali. Sama seperti tokoh dalam sebuah cerita [cerpen terbitan tahun 2007 yang judulnya saya lupa] yang diajarkan berlari, bahkan sejak kakinya baru bisa memijak ke tanah. Tokoh itu hanya kenal lari, lari dan lari. Saya sebagai pembaca, sampai sekarang pun tetap bertanya, lari dari apa, dan mengapa? Dia selalu menjawab ‘Karena Saya [hanya] Ingin Berlari tanpa kenal kata berhenti!’ (T)