IDA Bhatari Batur yang bergelar I Ratu Ayu Mas Membah yang berstana di Gunung Tampuh Hyang suatu hari berniat membagi air hingga ke desa-desa di Bali bagian utara. Niat itu disampaikan kepada putranya I Ratu Gede Nengah.
I Ratu Ayu Mas Membah mengatakan kepada sang putra tentang amanat ayahandanya, yakni Dewa Indra yang berstana di Tirta Empul. Dalam amanat itu disebutkan I Ratu Ayu Mas Membah diperintahkan agar segera membagikan air Tirta Mampeh kepada masyarakat Bali dengan cara menjualnya dan tidak sekalipun diberikan dengan cuma-cuma.
Putranya, I Ratu Gede Nengah, keberatan dengan niat ibunya itu. Ia tak tega melihat ibunya harus berdagang menjajakan air kepada masyarakat. Selain itu, mengingat keayuan dan kecantikan ibunya. ia khawatir akan banyak terjadi hal yang tidak diinginkan dalam perjalanan. Maka sang putra menawarkan dirinya untuk menjual air kepada masyarakat, namun ibunya menolak. Karena berdasar amanat Dewa Indra bahwa dia sendiri yang harus melakukan tugas mulia ini.
Agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan di perjalanan, I Ratu Ayu Mas Membah mengubah wujudnya menjadi seorang nenek renta yang menjijikkan. Misi itu kemudian disetujui oleh putranya.
Dalam perjalanan menjajakan air, banyak hal terjadi, dan menyisakan cerita-cerita yang melatarbelakangi nama-nama tempat dan nama desa di Bali, seperti Desa Blandingan, Pura Puseh Meneng, Munti Gunung, Pura Pengojongan, Tejakula, Bondalem, dan lain-lain. Hingga pada akhirnya Ida Ratu Ayu Mas Membah kembali ke Tampuh Hyang.
Demikian cerita yang ditampilkan dalam sendratari garapan mahasiswa IHDN Denpasar di Taman Budaya Denpasar, serangkaian Bali Mandara Nawanatya, Jumat 6 Oktober 2017 malam.
Garapan IHDN Denpasar ini mendapat sambutan meriah dari penonton termasuk pengamat seni. Iringan musik sendratari itu digarap secara apik, demikian juga para penari yang memerankan berbagai tokoh cerita tampak bermain dengan bagus. Hanya, garapan alur cerita dan segi dramatiknya perlu mendapat perhatian lebih banyak lagi.
“Garapan musik mereka bagus. Hanya saja garapan mereka terlalu naratif,” kata pengamat seni, Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST,MA.
Dibia mengatakan sebagai institusi pendidikan agama wajar jika mengangkat misi agama. Hanya sekarang dengan alur dramatik seperti ini, kelihatan ceritanya agak naratif. Maksudnya, cerita semua urut begitu saja.
“Dan konteks ceritanya yang bolak-balik ke masa lalu dan masa kini, kurang dijaga alur ceritanya,” tutur Dibia.
Dibia menyarankan akan lebih baik bila dipilih satu bagian cerita yang ditonjolkan. Sehingga akan lebih menghasilkan dinamika yang lebih bagus. “Ini kan datar dia. Apalagi peran dadongnya jalan-jalan terus. Itu sebagai sebuah tontonan agak menjemukan,” jelas Dibia. (T)