KETIKA Gunung Agung masih berstatus waspada, lalu siaga, Putra bersama istri dan anaknya masih bisa tinggal dengan tenang di kampungnya di Karangasem, di wilayah Duda Utara, tepatnya di Banjar Geriana Kangin. Gempa memang terasa susul-menyusul, namun sebagai wartawan ia tahu banyak informasi resmi yang membuat ia bersama keluarganya tenang.
Bahkan ketika Gunung Agung ditingkatkan statusnya menjadi awas pada 22 September 2017 pukul 20.30 Wita, ia sebenarnya ingin tinggal dulu bersama istri di kampung sembari mencari informasi lanjutan dari sumber-sumber resmi. Namun orang-orang di desanya berbondong keluar kampung, mengungsi. “Awalnya saya sama istri mau di kampung dulu, tapi malam tiba tiba warga pada lari ngungsi, saya juga ikut kabur,” ujarnya.
Putra, lengkapnya I Wayan Putra, sehari-hari memang bertugas sebagai wartawan di wilayah Kabupaten Karangasem. Kesibukannya mengejar informasi dan meliput peristiwa memang agak meningkat dari biasanya, seiring meningkatnya aktivitas vulkanik Gunung Agung. Sebagai seorang wartawan, hal itu tentu biasa.
Namun ketika Gunung Agung ditetapkan statusnya menjadi awas, dan Desa Duda Utara kemudian ditetapkan sebagai Kawasan Rawan Bencana (KRB) 2, dan keluarganya mau tidak mau harus mengungsi, ia mengaku sempat panik juga. Stres. Pada saat yang sama memikirkan berita, memikirkan keluarga yang mengungsi, juga memikirkan ternak di kampung. Dan itu manusiawi.
Untungnya, sebagai wartawan yang memiliki banyak akses informasi, ia bisa mengatur waktu dengan cermat sekaligus mengatur perasaan secara perlahan. Dari kampung orang tuanya bersama warga lain mengungsi ke Denpasar, di Jalan Gunung Agung. Sementara ia dan istrinya mengungsi ke Klungkung, tepatnya di wilayah Banjar Pakel, Sampalan.
Proses pengungsian cukup menyedot konsentrasi. Setelah semua mendapat tempat pengungsian dengan baik, suasana hati pun mulai tenang. Dan saat itulah ia mulai membuat berita untuk dikirim ke kantornya agar media tempatnya bekerja tak menerbitkan koran kosong besoknya. Tentu saja ia tak menulis berita tentang diri dan keluarganya. Ia menulis berita tentang kondisi terkini Gunung Agung dan kondisi warga di pengungsian.
Dan, ingat, meski berada dalam suasana yang cukup tertekan, ia tak boleh menulis berita yang membuat warga menjadi panik. Tugas mulia seorang wartawan di daerah bencana, termasuk wartawan yang keluarganya ikut terdampak bencana, adalah membuat warga lain mendapatkan informasi sebenar-benarnya agar semua bisa menyelamatkan diri dari bencana.
“Saya harus tetap kerja baik, sekalipun tidak harus ditugaskan oleh redaktur, tapi karena memang itu kewajiban dan tanggungjawab saya sebagai wartawan,” kata Putra.
Wartawan lain, Kadek Jingga, juga memiliki pengalaman yang mirip. Ketika Gunung Agung berstatus awas, ia juga sibuk mengurus keluarganya yang harus mengungsi. Desa tempat ia lahir, yakni Tulamben, masuk dalam KRB dan berpotensi dialiri lahar jika terjadi erupsi. Ia mengaku stress juga saat itu, karena pada saat bersamaan ia harus menyelesaikan tugas liputan dari redakturnya.
Kini keluarganya sudah mengungsi di tempat aman di Denpasar. Namun ia tetap harus bolak-balik dari tempatnya liputan di wilayah Bangli ke desanya di Tulamben. Ia harus menengok ternaknya yang masih tertinggal. “Kini keluarga sudah aman, barulah bisa nyaman liputan,” katanya.
Kita tahu, ketika Gunung Agung dianggap bersiap meletus, banyak wartawan diingatkan oleh redakturnya atau pengamat media tentang tips dan strategi meliput di wilayah bencana. Strategi meliput di daerah bencana memang penting agar wartawan tetap selamat. Tak ada berita seharga nyawa, begitu kerap peringatan yang diberikan pada wartawan.
Namun jarang sekali ada tips meliput bencana bagi wartawan yang sekaligus diri dan keluarganya juga terdampak bencana. Mungkin isinya bagaimana menulis berita agar kesedihan dan rasa cemas diri sendiri tak ikut larut dalam berita yang ditulis. Atau bagaimana mengatur waktu dan perasaan, antara mengurus berita dan keluarga di pengungsian.
Yang jelas, selama ini sudah jamak dilakukan: pada saat terjadi bencana besar, pemilik media atau redaktur langsung menurunkan tim liputan. Tim itu bisa saja terdiri dari wartawan yang ikut terdampak bencana. Selain karena si wartawan yang terdampak itu sudah mengenal dengan baik daerah bencana, beban si wartawan juga akan jadi ringan karena punya teman liputan yang bisa diajak susah-senang di lapangan. (T)