“Kapan bidikmisi cair, ya?” ratap salah seorang mahasiswa yang hanya bergantung pada uang bantuan bidikmisi.
“Sabar aja. Baru juga segini sudah ngeluh. Gak mungkin gak cair. Makanya puter otak jangan nunggu bidikmisi cair doang,” jawab mahasiswa bidikmisi yang sok kuat.
***
Menurut Ristekdikti, bidikmisi adalah bantuan biaya pendidikan bagi calon mahasiswa tidak mampu secara ekonomi dan memiliki potensi akademik baik untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi pada program studi unggulan sampai lulus tepat waktu. Bidikmisi kependekan dari Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi.
Saat ini, para mahasiswa yang mendapatkan bantuan bidikmisi sedang dilema, gelisah, galau, merana. Persoalannya mudah ditebak, belum cairnya dana bidikmisi. Persoalan itulah yang membuat para mahasiswa bidikmisi mabuk kepayang, terlunta-lunta mencari asupan dana, kesana-kemari mencari alamat (Ayu Ting-Ting, dong). Seperti aku dan teman senasibku—Taufiqurrahman Al-Hafsyi—kesana-kemari mencari sesuap nasi, kok lebay sekali ya.
Seperti hari-hari biasanya, aku dan Taufiq memulai aktivitas dengan membuka facebook, update status, membaca buku barang selembar-dua lembar, menulis kalau gak malas, dan memikirkan, mau makan apa hari ini?
“Jas, mau makan apa hari ini?” tanyanya padaku ketika aku baru melihat dunia setelah mati sementara.
“Apa, ya?” ia balik nanya.
“Hmmm…”
“Gimana kalau beli mie instan aja, Indomie misalnya, atau mie Sedap, Sarimi barangkali?”
“Sudah dua hari aku makan mie, Fiq.”
Kali ini mimik wajah Taufiq berubah. Rasa iba kepadaku mungkin.
“Gimana kalau kita beli ayam aja sekali-kali?” ujarku.
Ia kaget.
“Emangnya kamu punya uang? Kan bidikmisi belum cair?”
Aku tersenyum walau terlihat tawar.
Beberapa menit kemudian…
“Fiq, mari makan!”
“Udah matang? Cepet banget,” katanya kagum. “Mana ayamnya?” lanjutnya.
“Ini,” kataku sambil menunjukkan sesaset Masako rasa ayam.
“Weeeladalahhh…”
“Ealah, aku ini lagi belajar mengelola keuangan kayak Bu Sri Mulyani, Fiq. Kita sebagai mahasiswa bidikmisi harus hemat. Negara inikan tidak hanya memikirkan dapuranmu tok kan. Kita harus menjadi mahasiswa bidikmisi yang visioner, Fiq.”
“Fiq… aku punya rencana…” kataku serius.
Kali ini ia memperhatikanku lekat-lekat.
“Gimana kalau kita demo saja kampus?”
Mukanya merah padam.
“Serius?”
“Serius.”
“Jangan, Jas! Nanti kita dipanggil pihak kampus.”
“Itukan hak kita, Fiq.”
“Iya aku tahu, Jas. Aku gak berani, Jas.”
“Sama aku juga gak.”
“Sialan.”
Lengang. Aku diam dan Taufiq diam dengan pikiran masing-masing. Mereka dan mencipta, ada kendala apa biaya bidikmisi gak cair-cair. Apa ada kesalahan pada kami selama ini. Apakah IPK kami gak bagus, atau kami jarang bikin PKM, aktif organisasi kampus barangkali, atau keuangan negara sedang devisit? Ah.. dunia memang penuh dengan kemungkinan.
Aku tahu, apa yang saat ini sedang dipikirkan oleh para mahasiswa bidikmisi. Hanya satu, kapan dana itu akan masuk ke rekening para mahasiswa. Banyak yang mengeluhkan akan hal ini dan banyak juga yang tabah akan hal ini, ada juga yang sok kuat.
Bagi mahasiswa pribumi, masih lumayan bisa pulang kampung walaupun sabtu-minggu untuk sekedar mengurangi pengeluaran. Lalu, bagaimana dengan mahasiswa perantauan yang jauh dari kampung halaman yang rata-rata penerima bidikmisi adalah mahasiswa yang terlahir dari orangtua petani yang pendapatannya setahun sekali ketika panen raya.
Sekali lagi ada yang mengeluh, ada yang tabah, dan ada yang sok kuat. Mahasiswa yang mengeluh, biasanya akan koar-koar di facebook, atau saling bincang kapan bidikmisi cair. Biasanya mahasiswa yang seperti ini adalah anak-anak perantauan. Lalu mahasiswa yang tabah, yang hanya bisa berkata, “Sabar, sabar, dan tunggu,” itu jawaban yang aku terima (e malah nyanyi).
Kemudian, mahasiswa yang sok kuat. Mahasiswa seperti ini tidak khawatir walaupun bidikmisi cair akhir semester, soalnya mereka ada uang bulanan dari orangtua, guys. Belum lagi bulan-bulan ini adalah bulan ulang tahun fakultas dan jurusan, yang kadang kala juga membutuhkan uang untuk mensukseskan acara itu. Oh iya lupa, bagi mahasiswa PPL, selamat ya harus ngekos lagi karena ditempatkan di luar kota. Uang lagi.
“Jas, kamu ngapain malah ngelamun?”
“Masa kita hanya makan Masako, Fiq, nasinya mana?”
Taufiq nangis sambil guling-guling. (T)