KEMARIN saya menjadi saksi bagaimana 2 peti yang isinya lontar-lontar tentang perdukunan dan magic (menangkap leak, mengobati bebayi, mengobati cacar, menghancurkan black magic, dstnya) sebagian menjadi tepung ludes dimakan tikus.
Saktikah tikus? Tentu saja.
Tikus adalah jelmaan Gajamugasuran, demikian mitologi Hindu berkisah. Ia mendapat anugrah Dewa Siwa karena telah dengan sangat kuat melakukan penebusan dosa. Ia juga diberi kesaktian pinih tanding. Karena kesaktiannya ia tergelincir menjadi ‘wegig’ dan sangat jahat, sampai-sampai melukai para dewa.
Perilaku Gajamugasuran membuat para dewa dan rsi dalam kesusahan. Tak terhitung tindak tanduknya yang tiada kenal ampun, melukai mereka yang tidak pernah terlukai hatinya, menyayat pikiran mereka yang selama ini dikenal teguh pikirannya. Ia mampu membuat para dewa yang tak pernah menangis menjadi tertunduk lesu dan menitikkan air mata.
Para dewa tidak berdaya dengan kesaktian Gajamugasuran. Hanya Dewa Siwa yang memberi anugrah kesaktian yang bisa menolong. Para dewa berdoa agar Dewa Siwa bersedia menolong dan memunahkan kesaktian Gajamugasuran.
Singkat cerita, Dewa Siwa mengirim Dewa Ganapati (Dewa Ganesa/Winayaka) untuk menundukkan Gajamugasuran.
Gajamugasuran yang diperangi oleh putra Dewa Siwa akhirnya kocar-kacir dan bersembunyi menjelma menjadi tikus kecil (mushaka). Dewa Ganesa melucuti keangkuhan dan kesombongan sang tikus kecil yang tiada lain adalah jelmaan Gajamugasuran. Gajamugasuran yang telah berwujud tikus itu diduduki Dewa Ganesa dan tertunduk. Sang Mushaka (demikian tikus jelmaan Gajamugasuran disebut) yang tunduk kemudian menjadi wahana/kendaraan Dewa Ganesa.
Tikus, dalam mitologi Hindu, bukan makhluk sembarangan. Jika kita lenggah, tidak merawat dan hormat pada pengetahuan yang tersimpan dalam bentuk lontar-lontar dan buku-buku, Sang Mushaka (tikus) akan melahap ludes dan pralina (daur ulang) lontar-lontar itu. Ia mampu meluluh lantak segala wujud alami, mampu meluluh lantak hati kita.
Di Bali sendiri, tikus tidak boleh dihujat, tidak boleh disalahkan dan dicaci, tidak boleh diburu dengan sembarangan. Sang Mushaka diberi gelar penghormatan sebagai Jro Ktut.
Sang Mushaka (tikus) tidak hanya melahap ludes dan pralina (daur ulang) lontar-lontar. Jika kita tidak serius menjaga keseimbangan ekosistem dan alam, sang Mushaka/ Jro Ktut dan keturunannya bisa melahap dan memberangus (mempralina) ribuan hektar padi di persawahan. Tidak hanya siap sedia memberangus lumbung pengetahuan, ia juga senatiasa bersiaga memberangus lumbung pangan kita. Sang Mushaka (tikus) dan pasukannya akan datang memberi pengingat yang menyesakkan.
Jika Dewa Ganesa adalah Dewa Kebijaksanaan, maka Sang Mushaka (tikus) mengemban tugas mengingatkan dan pralina segala bentuk ketimpangan alam dan keabaian manusia.
Dua peti lontar-lontar rusak dan hancur depuk berkeping bahkan menjadi saksi bagaimana keabaian dan keteledoran kita dihajar oleh Sang Mushaka. Lontar-lontar itu adalah perwujudan Dewa Ganesa, jika tidak dipelihara, tidak dirawat dan tidak dipelajari, Sang Mushaka berjanji datang untuk mendaurulang mengembalikannya ke pada Sang Embang (hening yang sepi tak terbayangkan). (T)
Catatan Harian 4 Agustus 2017