Cerpen: Lamia Putri Damayanti
Kabarnya, pemuda yang mati di atas bukit itu, disebabkan oleh hantu lelaki tua yang dibunuhnya setahun silam. Mayat pemuda itu ditemukan tercabik-cabik oleh sebilah pedang yang konon digunakannya juga untuk membunuh lelaki tua yang adalah pamannya sendiri. Satu tahun lalu, keduanya memang bersitegang karena sengketa tanah yang tak usai-usai. Sebab sebidang tanah yang tak jelas sertifikatnya, mereka berdua bertikai hebat sampai pertumpahan darah tak bisa lagi terhindarkan.
Sebilah pedang panjang itu menyayat punggung dan menyobek bagian belakang kepala si lelaki tua. Sebelum tewas, tubuh si lelaki tua sempat mengalami kejang-kejang. Matanya membeliak lebar. Lidahnya menjulur-julur karena kesakitan. Kedua tangannya mengais-ais udara – seolah-olah ingin menggapai sang pemuda yang tengah gemetaran menunggu ajal si lelaki tua.
Sesaat setelah itu, si lelaki tua tewas dengan darah yang berceceran di mana-mana. Pemuda itu langsung kabur. Bergegas lenyap tanpa meninggalkan jejak. Jika pun ada yang ia tinggalkan, hanya jejak kaki terputus yang tak pernah bisa diikuti. Sebab, setahun kemudian, setelah pemuda itu dinyatakan hilang dan lelaki tua itu telah mampus, pemuda itu ditemukan tewas dengan keadaan mengerikan sambil dikelilingi babi hutan. Sebilah pedang yang dulu digunakannya untuk membunuh pamannya sendiri menancap di ulu hatinya.
Tidak ada yang tahu siapa yang menancapkannya. Dan tak ada seorang pun warga yang berani mencabutnya. Mereka tahu itu kutukan dari si lelaki tua. Mereka tahu, hantu lelaki tua itu pasti tak akan tinggal diam, dia akan bergerilya memburu pembunuhnya. Dan membalaskan dendam kesumatnya akibat ruh yang dipaksa lepas dari jasadnya.
Banyak orang bilang, hidup seorang pembunuh memang tidak akan pernah tenang. Orang yang mereka bunuh akan menjadi hantu penasaran dan terus menggentayangi hidup mereka. Ada hantu-hatu yang beringas – yang bisa membunuh dengan keji seperti pemuda yang mati di atas bukitt. Ada pula hantu yang membunuh dengan perantara kesialan-kesialan. Seolah-olah, kematian itu terjadi karena memang sedang sial saja. Yang jelas, para pembunuh – pasti akan mati; entah setahun, dua tahun, atau belasan tahun kemudian – dengan keadaan yang mengenaskan. Keadaan yang sama sekali tidak wajar.
Seperti yang terjadi pada lima pemuda yang tiga tahun lalu memperkosa dan membunuh seorang gadis remaja di belakang pabrik bekas. Setelah memburaikan aurat gadis itu, mereka membuang tubuh tak bernyawanya di sumur bekas. Tidak ada orang yang tahu bahwa ada mayat dari seorang gadis malang di sana. Polisi tidak begitu pintar untuk mencium bau kebejatan yang menyengat. Semua aman terkendali… sampai akhirnya, satu persatu pemuda biadab itu mati mengenaskan. Mereka mampus dengan meninggalkan ketakutan mendalam akan gadis remaja itu. Mereka mati sembari membawa bukti pembunuhan dan pemerkosaan. Semua orang meyakini, hantu gadis itulah yang membunuhnya.
Hantu-hantu yang dikisahkan ingin membalas dendam pada pembunuh-pembunuhnya dianggap nyata dan abadi di semua tempat yang ada di muka bumi. Amarah hantu, katanya, sangat mengerikan. Mereka tidak akan membiarkan pembunuh mereka hidup dengan nyaman. Kemana pun mereka akan bersembunyi, di kolong tempat tidur, di celah-celah udara yang bahkan tak bisa ditelusupi atau bahkan sampai mengganti wajah, para pembunuh tak akan bisa lari dari amarah itu. Hantu-hantu itu pasti akan menemukan mereka. Suatu hari nanti, mereka akan datang, membunuh hati dan jiwa sekaligus…
Braaak!
“Cerita macam apa itu, Kun!” Jumadi menggebrak meja di depannya, sampai papan catur melonjak kecil bersama dengan pion-pionnya.
“Takut, Kang?” Kunang tertawa terbahak-bahak melihat wajah Jumadi seketika menjadi pias.
“Siapa yang takut? Cerita yang kamu bikin itu ngawur!”
“Ngawur bagaimana, Kang? Pemuda desa yang hilang setahunan ini dan ditemukan tewas di…” Kunang mengangkat tangannya, menunjuk bukit belakang desa yang lebat akan pohon-pohon pinus, “… itu kan nyata! Dan, toh, memang dia yang bunuh pamannya sendiri,”
“Hantu itu tidak ada,” potong Jumadi cepat. “Tidak ada hantu,” kata-kata Jumadi terasa semakin cepat. Seolah-olah tidak akan membiarkan Kunang memotong ucapannya.
“Tapi, Kang…”
“Kamu kebanyakan nonton film!” Jumadi cepat-cepat mendorong kepala remaja tanggung itu. “Mana ada hantu membunuh manusia? Hantu tak bisa menyentuh kita, kamu tahu?”
“Lho, siapa bilang, hantu itu membunuh manusia dengan tangan mereka sendiri?”
“Sudah-sudah! Saya tidak mau dengar, saya mau pulang!”
“Lho, Kang! Ya jangan tinggalkan saya sendiri di sini. Saya tidak mau ronda sendiri!” Kunang berteriak-teriak memanggil Jumadi. Kepalanya celingak-celinguk takut. Tentu saja, walaupun ia tertawa melihat wajah Jumadi pias. Dirinya sendiri juga takut akan ceritanya.
Jumadi terlihat enggan kembali dan menghiraukan semua panggilan Kunang. Biar saja remaja itu meronda sendirian. Ia enggan mendengarkan cerita lebih banyak tentang hantu yang membalas dendam dari Kunang.
***
Jumadi benar-benar pulang. Tidak melanjutkan ronda. Ia berjalan sendirian menembus semak-semak belukar di sepanjang jalan menuju rumahnya. Mulutnya berkomat-kamit – entah menggumamkan apa. Sejujurnya, ia kepikiran betul dengan cerita Kunang. Terutama, dengan hantu yang membalas dendam. Cerita itu tentu hanya karang-karangan Kunang saja. Cerita yang dibuat untuk anak-anak agar tidak pulang lebih dari maghrib. Tetapi, cerita itu terlalu mengerikan untuk anak-anak yang belum mengerti tentang kematian yang dipaksakan.
Lagipula, mana ada hantu? Itu hanya mitos yang dibuat-buat oleh manusia saja. Jumadi seharusnya tidak terlalu memikirkan cerita itu. Apalagi sampai mempercayainya. Usianya sudah melebihi kepala tiga dan tidak ada lagi urusan baginya untuk hanya sekadar mendengarkan cerita Kunang. Seharusnya, tadi dia memang tidak perlu meminta Kunang bercerita apa saja untuk mengisi kekosongan meronda tadi.
Hanya saja, apakah orang-orang yang terbunuh benar-benar akan datang sebagai hantu dan membalas dendam? Tubuh Jumadi seketika gemetaran. Rasanya seluruh bulu kuduknya meremang. Ia mempercepat langkahnya dan bahkan hampir setengah berlari. Sesampai di rumah, ia langsung mengunci rumah dan menutup semua jendela rapat-rapat. Jumadi bahkan memaku beberapa sisinya dengan kayu. Ia menutup semua celah rumahnya dengan benda apapun. Ia tak membiarkan ada lubang sekecil apapun di dinding-dinding rumahnya. Bahkan semut pun tak akan ia biarkan masuk.
Jumadi menyelimuti dirinya dengan selimut tebal dan meringkuk di atas kasur. Semenjak ibunya mati empat tahun lalu, Jumadi jadi tinggal sendiri. Sementara istrinya terpaksa terbang ke Saudi Arabia menjadi TKI. Sebenarnya, dengan keadaan seperti itu, ia sudah terbiasa hidup sendiri. Suasana sepi sama sekali tidak menakutkan baginya. Tetapi, entah mengapa, malam ini semuanya terasa berbeda.
Ia bisa mendengar semua aktivitas mendiang ibunya ketika masih hidup. Ia mendengar suara air yang mengalir, piring dan gelas yang berkelontang. Ia bisa mendengar air sumur yang ditimba. Ia bisa mendengar suara kompor yang dinyalakan dan minyak yang mendidih. Tubuhnya semakin gemetaran. Mulutnya hendak berteriak tetapi tidak bisa. Semua aktivitas yang dulu pernah dilakukan oleh ibunya, mendadak bisa dirasakannya kembali. Dan, bahkan, ia bisa melihat ibunya tepat di depan wajahnya. Yang seharusnya sudah mati empat tahun lalu…
***
Jumadi ditemukan mampus di kamarnya sendiri. Setelah dua minggu tidak menampakkan diri. Tubuhnya dililit oleh selimut. Wajahnya terlihat ketakutan dengan mulut menganga dan mata membeliak yang sudah dipenuhi oleh belatung. Tidak ada yang tahu mengapa Jumadi bisa tewas seperti itu. Tidak ada tanda-tanda kekerasan. Rumahnya bahkan terkunci dari dalam. Saat diotopsi, para petugas hanya mengatakan bahwa Jumadi mati kelaparan dan stres berat
Tersiar kabar, bahwa Jumadi mati karena hantu. Kabar ini menyebar dengan cepat ke seluruh pelosok desa. Bahkan, terdengar sampai telinga istri Jumadi yang berada di Arab Saudi. Tetapi, hantu siapa membunuh Jumadi?
“Tapi, Jumadi, kan orang baik-baik. Beda dengan pemuda yang mati di bukit itu. Dia jelas-jelas membunuh pamannya. Jadi, pasti hantu pamannya sendiri yang membunuh pemuda itu,”
“Lho, siapa bilang pasti hantu yang membunuh pemuda itu,” Kunang tiba-tiba muncul dan menyela percakapan sekumpulan warga.
“Lalu siapa lagi?”
Kunang tiba-tiba tertawa. “Hantu itu tidak ada,” jawabnya kalem. “Tidak ada hantu,” ucapnya lagi – mengulang kalimat yang pernah dikatakan oleh Jumadi. Salah satu warga di sana mendorong kepala Kunang dengan keras. “Bodoh! Kamu sendiri yang membikin cerita itu kemudian kamu bilang hantu itu tak ada?”
“Saya kan belum selesai cerita. Begitu pula ketika saya bercerita dengan Kang Jumadi,”
“Lalu, mengapa Jumadi mati?”
“Ya tidak tahu, nasib orang, siapa yang bisa menerka?”
“Jadi, yang membunuh Jumadi itu benar-benar hantu atau bukan?” mendengar itu Kunang hanya tertawa lagi. Tidak ada hantu. Jumadi benar, hantu itu tidak ada. Kalaupun hantu memang ada, mereka adalah manusia itu sendiri, metafora lain dari ketakutan-ketakutan mereka. Yang membunuh pemuda itu, kelima pemuda pemerkosa, dan juga Jumadi… adalah rasa takut dari sudut tergelap dari manusia.
Hantu hanyalah metafora dari ketakutan terbesar manusia. Sisi tergelap yang menyeruak di saat yang tidak tepat. Dan Jumadi merasakannya. Rasa bersalahnya muncul kembali tatkala mengingat almarhum ibunya – yang malas dirawatnya karena sakit keras. Yang pada suatu hari tiba-tiba saja tak bergerak lagi, lalu dikiranya sudah mati. Yang kemudian dengan riang segera ia kafani karena kematian ibunya berarti pertanda kebebasan hidup bagi Jumadi. Dan ketika memasukkannya ke dalam keranda, tiba-tiba jantung ibunya kembali berdetak.
Jumadi tahu, sekaligus ikut merasakan, bahwa ibunya sebetulnya masih hidup. Tetapi Jumadi tak mau tahu. Ada kebebasan yang telah menantinya. Satu-satunya cara untuk mendapatkan kebebasan itu adalah dengan melepas Ibunya. Ia cukupkan waktu luang-waktu luang yang sebelumnya ia gunakan untuk mengurusi ibunya. Setelahnya, waktu luang-waktu luang itu akan ia pergunakan untuk hal lain, bersenang-senang misalnya.
Tanpa mengindahkan jatung yang masih berdetak, ia meminta beberapa warga untuk turut segera menguburkan ibunya dengan alasan takut hutan. Ibunya dikubur saat itu juga – hidup-hidup; dan mati dengan cara yang tak pernah bisa dibayangkan oleh siapapun di dalam tanah – dengan dililit kuat-kuat menggunakan kain kafan.
“Sudah jangan ngomongin hantu lagi!” Kunang kembali menyela gosip warga. “Hantu itu tidak ada!” (T)
***