15 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Cinta Terikat di Suatu Tempat Entah di Mana

Agus WiratamabyAgus Wiratama
February 2, 2018
inCerpen

Lukisan: Kabul I Ketut Suasana

33
SHARES

 

Cerpen: Agus Wiratama

PERLAHAN dua cacing mendekati kedua telapak kakiku. Kemudian mereka menari bagaikan penari ulung yang siap pentas di permukaan tapak kakiku, seakan menari di atas panggung gemerlap. Segerombol semut merah datang, kegirangan melihat kedua cacing itu untuk dijadikan menu pesta makan. Di sela-sela itu, daun kering yang berserakan seakan sepakat membanting diri di atas tanah. Begitu juga ranting bambu, berbisik dengan ranting bambu lain dalam sunyi.

Melihat pemandangan itu, aku selalu berteriak sekuat tenaga. Harusnya para petani yang lewat di sampingku dengan cangkul, sembari menuntun sapi-sapinya, mendengarkan teriakanku. Tetapi petani-petani itu lewat begitu saja. Aku bingung. Kehidupan desa biasanya ramai dengan sapaan dan senyuman, apalagi ketika orang-orang saling bertemu dan berpapasan.

Tapi, di depanku, mereka lewat begitu saja. Sejak saat itu, dalam hidupku, baik siang, malam, maupun pada senja dengan cahaya emas menawan, tak ada seorang pun menyempatkan diri untuk menyapa.

Tetesan air mata yang diserap tanah gembur tempatku berdiri ini, turut memohon pada setiap kepala yang lewat. Aku berharap mereka bisa menjelaskan kenapa tangan kiriku dengan luka yang menganga justru menyihir kedua kaki dan tanganku yang lain untuk tidak bergerak. Semua itu seperti diikat oleh rantai besi yang sangat berat. Sedangkan pohon beringin besar yang melindungiku dari panas dan damuh tak juga mampu menjawab pertanyaan yang sering melompat dari mulut keringku, “Di mana aku sekarang?”

Kemarin malam, Karto lewat di depanku membawa lampu pompa tua karatan. Di kepalanya bertengger topi jerami untuk melindungi kepalanya dari tetesan embun. Aku tahu ia berburu belut untuk dijual pada pedagang di pasar ketika cahaya mulai mengintip dari arah timur. Mataku basah. Mataku kuusuap-usapkan pada bahu kanan dan bahu kiri seperti seekor sapi yang melengos. Tak bisa karena air mata dengan kedua tanganku karena tangan itu seperti dikunci oleh rantai yang begitu berat. Aku simpulkan, rantai besar yang mengikat tanganku, walau tak dapat kulihat. Aku merasakan dinginnya besi mengikat tangan dan kaki.

Pada saat itu, aku memanggil Karto dengan suara lembut seperti dulu ketika kami biasa bertemu. Tetapi, ia tak menjawab. Suara lembut itu kuulangi berkali-kali. Tetapi tetap saja ia tak menoleh, tetap saja ia tak menyahut. Dengan perasaan kesal dan penuh tenaga aku meneriaki namanya. Ia tak juga memutar lehernya untuk melirikku.

Ludah akhirnya kutelan. Kekesalanku menyurut. Aku mencoba memanggilnya dengan cara yang lain. Karto adalah lelaki yang suka bermain perempuan. Beberapa perempuan pernah ia tiduri. Setelah ingatan itu menancap dengan kokoh dalam keningku, aku mencoba menjadi seorang wanita genit yang siap menggodanya. Dengan sedikit senyum pada bibir kering ini, kemudian kuperlihatkan dadaku yang besar dengan cara membusungkannya. Tidak hanya itu, aku juga membuat mataku ikut tersenyum. Entah bagaimana caranya, yang jelas aku telah mencobanya dengan menaikkan pipi dan menekuk sedikit alisku yang samar karena tak terpoles pensil alis. Tapi, kain putih yang menutupi dada hingga kaki ini tak mampu memperlihatkan kecantikanku yang sesungguhnya. Sial, aku tak mampu menggodanya.

Dengan usahaku yang seperti itu, Karto tetap saja lewat tanpa menyapa. Ia sama seperti petani dan orang-orang lainnya yang setiap saat selalu mengabaikanku seperti angin sejuk yang ketika hilang tak diberi ucapan terima kasih.

“Sialan kau, Karto, dasar kacang lupa pada kulitnya,” ucapku sekuat tenaga. Tetapi kakinya yang sangat kokoh itu tak mampu kubuat berhenti atau mengarahkan langkah itu menuju tempatku berdiri. Ia tetap melangkah mengikuti arus air di sungai kecil itu sambil mengintai setiap lubang di pinggir sawah dekat sungai.

Barangkali ia tak menghiraukanku karena terik cahaya bulan yang menganga dilahap lebat daun beringin tempatku berdiri. Tetapi, ingin sekali rasanya aku menghampiri lelaki itu, kemudian menampar kedua pipi yang dilindungi oleh bulu di wajahnya yang gelap. Karto itu memang lelaki yang tak tahu malu. Aku telah melepas nama baikku demi dia, dan sekarang ia melupakan segalanya.

Di tempat ini memang tak ada yang menemaniku. Setiap sedih meminjam ruang dalam tubuhku, marah merasuki jiwaku lebih dalam, atau pun gelisah yang menyihir setiap jengkal tubuh ini, aku selalu bercerita pada pohon beringin, daun kering, atau cacing dan semut. Meskipun tak ada jawaban dari mereka, tapi aku ingin mereka tahu tentang diriku yang terbungkus oleh segala emosi.

Aku juga ingin bercerita pada tanah gembur yang kuinjak bahwa ketika Karto lewat, secara tidak langsung ia mengajakku terbang menuju masa itu. Masa di mana aku sempat ingin dibunuh oleh istrinya.

Perempuan gemuk yang kumal itu mendatangiku dengan tergopoh-gopoh sambil membawa sebilah sabit yang bergerigi. Ia ingin memotong leherku. Dengan langkah penuh rasa marah sambil mengangkat sabit, ia berteriak sepanjang jalan.

“Ratni, di mana kau bersembunyi. Aku akan memotong lehermu!”

Mendengar dia berteriak aku langsung melompat dan bersembunyi di dalam mobilku yang parkir di garasi samping rumah. Untung saja Karto menyusulnya dan menarik wanita itu sambil merayu agar dia mau kembali ke rumah.

Sesungguhnya, istri Karto itu punya alasan yang kuat ingin membunuhku. Ia telah mendengar desas-desus yang ditiupkan angin kampung. Tetapi perempuan itu tak mampu menggayung tangannya ketika rayuan Karto menerkam dan mengajak kembali pulang.

Wanita itu selalu mengenakan rok lusuh yang jarang dicuci dan baju yang bertuliskan I LOVE BALI. Aroma kumalnya pun mengganggu setiap hidung yang berpapasan. Bau itu tak akan habis ditiup angin. Ditambah lagi bau keringat dan bau rambut kusam yang tak terurus. Benar-benar membuat mual. Aku tak habis pikir alasan Karto, lelaki tampan dengan postur tubuh yang tinggi itu menikah, terlebih bersetebuh dengan wanita itu.

Awalnya, Karto pernah mencoba merayuku dengan kata-kata manis yang aku tahu ia dapat pada sebuah acara di televisi. Aku langsung luluh dengan rayuan itu. Aku sudah tahu ia telah punya istri, tetapi apalah daya perempuan ketika ditikam dengan kata-kata yang manis. Terlebih aku memang mengagumi lelaki itu sejak dari dulu.

Karena senjatanya itu adalah kata-kata yang manis keluar dari mulut orang yang aku kagumi dari dulu,ia langsung membuatku tak mampu mengingat apapun selain dirinya. Aku bagai bunga kering yang tertiup angin kata.

Aku pun sesungguhnya mempunyai seorang suami, tetapi suamiku tak sepandai Karto dalam hal merayu. Pernikahanku dan suamiku pun bukanlah kehendakku. Aku terpaksa menikah dengannya karena janji atau disebut sesangi yang ingin dilunasi oleh keluargaku. Kakek dan ayahku sempat berjanji bila memiliki anak perempuan atau cucu perempuan, mereka akan menjodohkannya dengan lelaki dari keluarga kerabat kakekku. Janjinya itu ia lunasi melalui diriku. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan perasaanku. Tetapi hal itu tidak boleh ditolak karena menurut kakekku, apabila sesangi tidak dipenuhi, akan terjadi sesuatu yang buruk. Dan aku pun, setelah lewat sedikit dari masa remaja, dinikahkan dengan seorang lelaki yang hanya bisa mengelus-elus kepala ayam setiap sore di jaba Pura.

Karena itu, ketika aku dirayu oleh Karto, ketika itu pula aku hanyut dalam rayuan. Tubuhku hanya bisa diam walau suara berisik dari mulutku tak bisa dihentikan. Aku sadar ketika itu sedang berada di sawah, karena kesadaran itu pula aku berendam dalam rasa khawatir tanpa mampu melakukan perlawanan. Seandainya ada orang yang melihat kami, maka itu adalah petaka. Berita itu akan membara di telinga masyarakat desa yang mempunyai hobi untuk membicarakan orang. Tidak hanya perempuan, laki-laki pun biasanya membicarakan orang dengan menggebu-gebu mengikuti nalurinya masing-masing.

Ketika cinta kami sedang berkobar, terdengar suara berisik dari balik semak. Suara itu membuat kami tersentak. Langsung saja kami bergegas mengenakan pakaian masing-masing.lalu aku dan Karto memeriksa suara dari balik semak itu. Tak terlihat ada yang mecurigakan.Tetapi, “Sial!” ucap Karto, setelah melihat dua orang pemuda yang tak dapat dikenali wajahnya telah lari terbirit-birit.

Benar saja, beberapa hari setelah itu berita menyebar. Ketika mendengar berita itu, suamiku langsung menampar dan menyirami seluruh tubuhku dengan kata-kata kasar, bukan kata-kata romantis seperti yang Karto hujani padaku. Karena itu pula istri Karto ingin menggoreskan celurit itu ke leherku. Namun, semenjak kejadian itu suamiku mengajakku tinggal di desa lain. Alasannya sederhana, agar aku tak bertemu dengan Karto lagi.

Karto yang sesungguhnya aku cintai pun tak tahu terima kasih. Setelah ia menikmati tubuhku, kini ia tak menyapaku dalam gelap. Ia telah melumat habis tubuhku berkali-kali. Biaya sekolah anaknya pun, ia minta dari ku. Ia tahu aku mencintainya, ia tahu aku penjual beras yang mampu menghasilkan banyak uang. Apakah ia hanya menunggangiku untuk hidupnya? Entahlah, yang jelas aku mencintainya. Tetapi itu dulu. Dulu ketika tanganku tak terikat seperti sekarang. Kini, ia lewat begitu saja di depanku. Ia sama-sama memuakkan dengan suamiku.

“Karto, kau sama-sama sialan dengan lelakiku. Anjing kau, Karto, bangsat, lelaki bangsat!” teriakku lebih histeris ketika ia lewat di depanku. Namun, ketika makian itu belum berakhir, Karto telah hilang dilahap gelap. Tak lagi terdengar langkah kaki dan tak terlihat pula baju kuning usang yang bertuliskan logo partai dan foto calon DPR yang ia gunakan itu.

Setelah aku memaki Karto, seorang pria dengan badan kurus berjalan mendekatiku.Wajahnya tak terlihat jelas. Ia mengenakan ikat kepala berwarna putih yang menutupi sebagian rambut panjangnya. Baju kaos oblong putih yang dihiasi bercak lumpur di beberapa titik kaos putih itu. Ia juga menggunakan kamben berwarna hitam dan selendang berwarna hitam putih kotak-kotak. Ketika itu, angin kembali berembus dengan lembut. Purnama ditutupi kepulan awan tipis. Dan suara raungan anjing terdengar seakan mengitariku.

Ia muncul dari jalan setapak yang ditutupi oleh rimbunan pohon bambu. Sepertinya aku mengenalnya, “Siapa dia?” gumamku. Aku begitu penasaran, tetapi aku tak berani meneriakinya lantaran orang itu belum tentu aku kenal. Di samping itu, ia terlihat tak seperti orang-orang yang lain, yang melewatiku begitu saja.

Pada saat itu pula aku tersentak, kaki orang itu tak menyentuh tanah. Ia berjalan bagai mengenakan papan seluncur yang tak menimbulkan irama dengan langkah kaki. Ia bagaikan daun kering tertiup angin. Kali ini aku yakin, aku benar-benar tidak mengenalnya. Aku meyakinkan diri karena ia diikuti oleh dua pengawalnya yang begitu besar. Lima kali lipat dari tubuh lelaki berbaju putih usang itu. Ditambah dengan benda asing di atas kepala orang itu yang menyala menyerupai api.

Lelaki kurus itu semakin dekat denganku. Ia adalah satu-satunya orang yang beniat mendekat. Aku sedikit lega, tetapi tubuhku merespon dengan getaran yang tak berhenti. Secara perlahan, wajahnya mulai terlihat. Wajahnya telah keriput seperti wajah kakekku yang sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Namun, matanya kosong. Yang terlihat hanya warna putih tanpa lingkaran hitam di tengah-tengah bola mata itu. Dan yang membuatku bergetar tak hentinya adalah dua mahluk besar di belakang lelaki itu sangat mirip dengan patung-patung yang dipasang di depan candi di Pura Dalem.

Perlahan ia berjalan, angin dan anjing masih bersenandung dengan nada dan tempo masing-masing yang menjadi satu, begitu pula dua mahluk besar hitam yang mirip patung itu mengikutinya dengan setia. Ia terus mendekat dengan mata kosong dan dua mahluk belakangnya. Kali ini, jantungku berdegup semakin cepat. Keringatku keluar seperti aliran air yang siap melapisi sekujur tubuhku. Kakiku masih saja tak bisa digerakkan dengan leluasa. Kakiku seperti mati rasa, karena rantai yang tak terlihat itu semakin mencekik. Kutarik kaki kiriku dengan kedua tangan, tetapi rantai itu terasa bertambah kencang mencekik leher kaki-kaki ini.

Akhirnya laki-laki dengan pengawalnya itu sampai di depanku dengan sangat tenang. Ia berdiri sebentar dengan mata kosong itu. Lalu, mulutnya yang ditutupi kumis itu terlihat menggerutu. Seolah dia membaca doa-doa yang tak terdengar olehku. Tak lama kemudian laki-laki itu bersila. Dua mahluk yang mengikutinya itu tetap diam tanpa bergerak sedikit pun seperti patung yang sesungguhnya.

Aku semakin takut. Entah hal apa yang akan mereka lakukan padaku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Lari pun, aku tak bisa. Detak jantungku kian mengencang, keringatku tak henti-hentinya mengucur.

Tanpa memerdulikan ketakutanku ia tetap melakukan sebuah ritual yang tak kumengerti. Lelaki itu melalukan tahap selanjutnya dengan menghimpitkan telapak tangan kanan dan tangan kirinya. Lalu ia meletakkan di dadanya. Ketika itu rantai pada kaki tak terasa lagi, namun ketika itu pula dua mahluk besar dan hitam yang mirip patung raksasa itu mengambil kedua tanganku dengan sangat cepat seperti sambaran petir. Satu memegang tangan kananku dan yang satu lagi memegang tangan kiriku. Mereka menyeretku menuju ke pohon kelapa gading.

Rumah warga tak jauh dari sini. Menyadari hal itu, aku berteriak sekencang-kencangnya dengan maksud minta tolong. Aku menangis dengan sangat keras. Tangisanku tak dihiraukan oleh siapapun.Aku bodoh, aku lupa tak ada yang peduli lagi, menangis darahpun, tak kan ada yang memerdulikanku.

Sesampainya di pohon kelapa itu, kedua tanganku ditarik ke belakang dan tak bisa digerakkan. Kakiku diikat begitu saja entah dengan benda apa. Aku tak melihatnya tetapi aku merasakan ikatan yang sama lagi.

Tanpa kusadari, lelaki lusuh itu sudah berada di sampingku. Ia bebisik, “Kau akan tetap terikat di sini sampai waktu kematianmu yang sesungguhnya tiba!”

Tubuhku kembali lemas, mulutku hanya bisa terdiam. Sedangkan rambutku yang halus jatuh ke depan hingga menutupi wajah. Sambil menunduk karena lemas, kulihat lagi luka menganga di tangan kiri yang tak terasa. Satu hal yang kuingat sebelum berdiri di sini adalah ketika aku mencoba mengiris tangan kiriku dengan pisau dapur. Setelah itu berhari-hari kedua mataku tak juga bisa dibuka, namun ketika aku sadar aku sudah berada di bawah pohon beringin dengan kaki dan tangan terikat tanpa ada benda yang mengikat.

Kini, aku dipindahkan ke pohon kepala gading,ditemani makhluk yang mirip patung raksasa itu terus-menerus. Tapi, satu hal pertanyaanku yang hingga kini belum terjawab, “Aku di mana?” (T)

Tags: Cerpen
Previous Post

Ketika Mati, Benarkah Kenikmatan Duniawi Bisa Dirasakan Manusia di Surga?

Next Post

Indra Andrianto# Sugesti Bayangmu, Segelas Anggur Tentang Kamu

Agus Wiratama

Agus Wiratama

Agus Wiratama adalah penulis, aktor, produser teater dan pertunjukan kelahiran 1995 yang aktif di Mulawali Performance Forum. Ia menjadi manajer program di Mulawali Institute, sebuah lembaga kajian, manajemen, dan produksi seni pertunjukan berbasis di Bali.

Next Post

Indra Andrianto# Sugesti Bayangmu, Segelas Anggur Tentang Kamu

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

LELUHUR JAGUNG

by Sugi Lanus
June 13, 2025
0
PANTANGAN MENGKONSUMSI ALKOHOL DALAM HINDU

—Catatan Harian Sugi Lanus, 13 Juni 2025 *** Ini adalah sebuah jejak “peradaban jagung”. Tampak seorang ibu berasal dari pulau...

Read more

Apa yang Sedang Disulam Gus Ade? — Sebuah Refleksi Liar Atas Karya Gusti Kade

by Vincent Chandra
June 12, 2025
0
Apa yang Sedang Disulam Gus Ade? — Sebuah Refleksi Liar Atas Karya Gusti Kade

Artikel ini adalah bagian dari tulisan pengantar pameran tunggal perupa Gusti Kade di Dinatah Art House, Singapadu, opening pada tanggal...

Read more

Tanah HGB, Kerjasama dan Jaminan Kredit

by I Made Pria Dharsana
June 10, 2025
0
Perjanjian Pengalihan dan Komersialisasi Paten dalam Teori dan Praktek

Tanah HGB, Kerjasama dan Jaminan Kredit : Pasca Putusan MK Nomot 67/PUU-XI/2013 Penulis: Dr. I Made Pria Dharsana, SH., MHumIndrasari...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

June 5, 2025
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Rizki Pratama dan “Perubahan Diri” pada Acara “Suar Suara: Road Tour AKALPATI” di Singaraja
Panggung

Rizki Pratama dan “Perubahan Diri” pada Acara “Suar Suara: Road Tour AKALPATI” di Singaraja

DI acara “Suar Suara: Road Tour AKALPATI” itu, Rizki Pratama tampaknya energik ketika tampil sebagai opening di Café Halaman Belakang...

by Sonhaji Abdullah
June 10, 2025
New Balance Sneakers Store di Indonesia Terpercaya
Gaya

New Balance Sneakers Store di Indonesia Terpercaya

SAAT ini sneakers bukan lagi sekadar kebutuhan untuk melindungi kaki saja melainkan telah berkembang jadi bagian penting dari gaya hidup....

by tatkala
June 9, 2025
I Wayan Suardika dan Sastra: Rumah yang Menghidupi, Bukan Sekadar Puisi
Persona

I Wayan Suardika dan Sastra: Rumah yang Menghidupi, Bukan Sekadar Puisi

ISU apakah sastrawan di Indonesia bisa hidup dari sastra belakangan ini hangat diperbincangkan. Bermula dari laporan sebuah media besar yang...

by Angga Wijaya
June 8, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [19]: Mandi Kembang Malam Selasa Kliwon

June 12, 2025
Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

June 7, 2025
Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

June 7, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [18]: Bau Gosong di “Pantry” Fakultas

June 5, 2025
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co