MANTRA PENJINAK ULAR
datanglah ke desaku, bujang
akan kuberi kau sebait mantra
adalah angin yang mendesirkan
dari telinga menuju perasaan
agar lakumu seiring ucapan
ini mantra penjinak ular
yang lama sudah hilangnya
tak diketahui pula riwayatnya
padamu ia berjodoh rupanya
maka segala ular di mayapada
padamu karib dan bersaudara
jangan takut. jangan hendak
melangkah mundur dariku
tak ada syarat berat melekat
cukup lakoni dengan ikhlas
nanti akan lancar mengalir
darahmu jadi sedingin ular
bisa tak lagi membuat gentar
(2016)
KOPI GUATEMALA
Ada kopi terbaik. Menjadikan
bahagia si penikmat yang kesepian.
Di Guatemala ia tumbuh
hujanlah membasuh dan mengasuh.
Ada kopi terbaik. Damai perasaan
petani ke biji-bijinya tersusupkan.
Di daun-daunnya setiap pagi embun
bersuluh turun.
Ada kopi terbaik. Di Guatemala
tempatnya. Kitalah penyair yang bahagia
menikmati wangi sihir puisinya.
(2016/2017)
KUCING HITAM EDGAR ALLAN POE
Kucing hitam itu aku pinjam dari cerita
pendek yang sumpek
dipenuhi anyir darah, gelimpang mayat
hilang kepala, dan serakan
belulang pengerat.
Oh, tidak ada Dewa, apalagi Tuhan
di sini. Keyakinan
lebih rentan dari udara.
Biarkan pemuda Edgar bingung mencarinya.
Kelak, ia pun akan sadar
kami pernah saling bertemu di meja judi
dan luput saling bunuh diri.
Kami memilih terserap
ke rona bibir perempuan
dan lenyap ke dalam remang.
Hanya ngiang ngiau di kejauhan, dan
sorot mata yang menyala mengincar nyawa.
(2016)
BATU
kerap kausebut keliru
aku adalah sebuah batu
mengapung membawa rindu
(2012/2016)
KELAK SAAT TAK MENULIS SAJAK
Di masa tuanya, ia akan mengayuh sampan sendirian. Ke tepian yang jadi muara segala gairah dan perhentian pengetahuan. Tubuhnya mula-mula diliputi gelisah. Benda-benda yang pernah diberinya nama dan harapan, kembali menciptakan riak yang mendesaknya untuk abai pada perjalanan. Hasrat itu hendak menariknya mundur di setiap langkah yang ia ulur. Tapi angin dingin terus menggiring tubuh ke muara itu. Dan sampan pun hanya sampai di batas doa. Bersama karma dimasukinya punarbhawa.
(2017)
GAMBAR HUTAN
Seorang anak menggambar hutan. Ia luput membubuhkan burung pun satwa lainnya. Hutan yang lebat yang menyimpan jantung air itu semacam kesepian panjang yang tumbuh dari kesedihan tak terperikan.
Disimpannya gambar hutan di laci, berbaur dengan pensil warna, penghapus, dan penggaris. Ia berencana merampungkan hutan yang telah diciptakannya kelak, di usia saat anak-anaknya lahir dan bertanya di mana hutan terletak.
(2017)
HAKIKAT MEMISAH
Mayat burung membusuk di bawah pohon ini.
Pohon hayat. Tempat anak-anak membangun
impian nan sarat.
Ada jejak kaki membekas abadi. Dinaungi
daun-daun yang berguguran dimainkan angin.
Sebentar lalu dilupakan.
Malam yang jatuh begitu cair. Bercucuran
membilas yang bertahun diuji usia. Jadi kerak
melapisi tubuhnya yang retak.
Melampaui segenap gegabah. Tak terhitung
jumlah tabah. Berakhir memisah ini kisah.
(2016)
MENCUCI DIRI
Aku ingin mencuci diriku. Betapa hujan
memahami seluruh kenangan dalam pejam.
Betapa dingin kesendirian dan samar perasaan.
Aku ingin mencuci diriku. Meluruhkan
rupa-rupa daki. Biar hati yang bernoda hitam
jadi semula. Tak berpaling dari kenyataan.
(2017)
SAJAK TIGA SEUNTAI
Lukai langit
Mencipta badai
Di kening
Pada mata bening
Warna mega
Langit yang bercahaya
Kuning terbanting
–jasad daun-daun
Sebuah desakan
Air mata bergulir
Merelakan takdir
Sihir penyair
(2017)
MENGGAMBAR AWAN
Kekasihku menggambar awan. Dirasa belum
cukup putih ditimpa hitam. Tibalah merah
dijatuhkan. Terhapuslah biru yang lebih dulu
membentang itu.
Kekasihku paham. Luka digurat seiring alur
garis hitam. Katanya, “Tiada guna lebih lama
memendam.” Dan merah terakhir dijatuhkan.
Biru terakhir terhapuskan.
(2017)