“Matematika, Percaya Diri = Sukses!” Begitu kata sebuah iklan lembaga bimbingan belajar di sebuah perempatan jalan protokol yang kerap saya lewati. Ditulis pada sebuah baliho besar iklan tersebut memang mampu mencuri perhatian, setidaknya bagi pengguna jalan yang kebetulan berhenti ketika lampu lalu lintas menyala merah. Iklan yang cerdas menurut saya. Hanya dengan tiga kata iklan tersebut berusaha memberi opini bahwa sukses tak akan terwujud tanpa bekal percaya diri dan matematika, atau sukses dapat diraih jika kita pandai matematika ditambah rasa percaya diri.
Namun sukses dalam hidup tentu tak terwujud hanya dengan pandai matematika. Banyak ilmu lain yang harus kita kuasai, misalnya akuntansi, komputer, bahasa Inggris dan ilmu terapan lain. Maka itu banyak lembaga bimbingan belajar bermunculan menawarkan metode belajar yang konon mampu membuat anak-anak kita menjadi pandai dan memiliki bekal untuk masa depan mereka.
Sukses memang selalu dikaitkan dengan masa depan. Untuk itu banyak orang tua yang memasukkan anaknya di lembaga bimbingan belajar, ikut les ini-itu agar anak mereka pintar dan nilai-nilai mereka bagus, kalau perlu agar menjadi juara kelas. Semua bermuara pada satu kata: masa depan. Masa depan yang entah kapan datangnya, yang membuat anak-anak kita tak bisa lagi menikmati masa kanak-kanak atau remajanya, sebab waktu mereka dihabiskan untuk belajar dan belajar. Mereka tak sempat lagi bermain atau sekadar bergaul dengan lingkungan.
Karena alasan masa depan para pemuda-pemudi kita ramai-ramai ikut mendaftar sebagai peserta ujian CPNS sebab menurut mereka menjadi pegawai negeri sipil (PNS) kini menjanjikan. Karena alasan masa depan pula mereka yang baru tamat SLTA ramai-ramai melanjutkan studi ke universitas keguruan sebab menjadi guru kini memiliki prospek cerah bagi masa depan. Perkara mereka menyukai pekerjaan sebagai PNS atau guru yang hendaknya memiliki semangat mengabdi dan mendidik itu urusan belakangan.
Saya tidak terlalu percaya kepada sesuatu bernama masa depan. Menurut saya daripada menghabiskan energi memikirkan masa depan lebih baik kita memfokuskan diri pada masa kini. Sebab masa depan adalah apa yang kita lakukan pada masa kini, begitu pula masa kini adalah apa yang kita perbuat di masa lalu. Hiduplah pada masa kini, kata-kata yang sering kita dengar dari para nabi, orang-orang yang melakukan perjalanan ke dalam diri. Mereka telah menyadari kenisbian waktu jauh sebelum Albert Einstein menemukan teori relativitas. Hidup pada masa kini juga berarti kita tak mencemaskan masa depan atau menyesali masa lalu.
Maka masa depan atau masa lalu boleh jadi tak begitu merisaukan kita. Kita hidup di kekinian, mengisi waktu dengan belajar atau bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa memikirkan hasilnya nanti. Kita menjadi yakin akan kebijakan semesta, hukum aksi-reaksi, hukum karma. Kita tak takut atau cemas lagi dengan hantu masa depan atau setan masa lalu. Kita menjadi optimis menjalani kehidupan. (T)