PENTAS drama Dongeng Tantri dalam Festival ke Uma, di Subak Uma Ole, Banjar Ole, Marga, Tabanan, Sabtu 24 Juni 2017 malam, dibuka dengan lamban dan hening. Penonton terpaku. Dingin angin sawah menerpa wajah-wajah.
Seorang wanita duduk di ujung depan panggung. Ia bisa dibayangkan seperti seorang ibu yang sedang menunjukkan diri sebagai pembawa cerita pada anak-anaknya. Wanita itu juga seperti sedang mempertunjukkan nilai-nilai kesabaran. Terlihat betapa ia suntuk mengendalikan kesabaran dengan mimik wajah juga napas yang diatur sedemikian rupa. Sangat teratur.
Kemudian, seorang wanita lain, berada di depan panggung. Ia menembangkan seuntai kidung dengan suara yang sangat merdu. Pada saat ini penonton seolah sejenak melupakan hiruk-pikuk kehidupan masa kini yang padat, pepat dan sibuk. Mereka seolah mengajak penonton masuk ke dalam jalur penghubung antara masa lalu dan masa kini.
Apalagi, ketika kaki yang putih dan bersih dari kedua wanita itu dengan sangat leluasa menginjak jerami yang beberapa bercampur lumpur di areal panggung. Wajar saja, tempat pementasan ini adalah di tengah-tengah sawah yang lengkap dengan sebaran jerami.
Wanita yang tadi membawakan kidung itu keluar. Tinggalah seorang wanita duduk di ujung depan panggung masih dengan pilihan gestur yang sama, yang menunjukkan sebuah kesabaran. Lalu, beberapa anak keluar dengan sangat leluasa, mereka bermain sebagaimana layaknya anak-anak yang bermain di sawah.
Wanita yang duduk itu mulai bercerita, dan para anak-anak memvisualkan cerita yang dinarasikan si wanita itu. Dongeng Tantri dimulai. Pertunjukkan pun mengalir dan perhatian penonton pun tersedot ke panggung.
Nama tontonan itu bukan hal penting. Apakah teater, drama atau drama tari. Namun anak-anak yang bermain di arena sawah itu menunjukkan kemampuan mereka dalam mengelola diri demi tontonan yang bagus dan demi pesan yang disampaikan kepada penonton. Adegan anak-anak saat mendramakan cerita memang nyaris sempurna. Formulasi adegan terlihat sangat pas, apakah dalam gerakan yoga, tari, akting, atau formula lainnya. Sehingga penonton tidak jenuh melihat gerakan-gerakan anak-anak itu.
Gerakan itu salah satunya adalah kayang. Kayang yang dilakukan bukanlah kayang yang main-main atau serius seperti dalam pertandingan olahraga. Gerakan yang mereka lakukan adalah gerakan yang terlihat benar-benar padu, sangat indah, dan enak ditonton.
Permainan mereka membawakan Dongeng Tantri, yakni cerita-cerita tentang binatang (fabel) membuat penonton, khusunya para pengamat seni pertunjukkan kagum dan berdesis. “Permainan yang luar biasa, seperti bukan manusia yang melakukannya,” kata seorang teman, dramawan muda Wayan Sumahardika.
Sebagai sebuah pertunjukan yang dilakukan oleh anak-anak, mereka telah melampaui kemampuan orang dewasa dalam bermain peran. Hal itulah yang mengundang kekaguman para penonton, baik pengamat seni, atau penonton pada umumnya.
Pada beberapa adengan, anak-anak itu memerankan tokoh sebagai binatang, seperti anjing, burung, monyet, angsa, dan empas. Dalam bermain peran menjadi sosok binatang, mereka mampu mengubah dirinya seolah-olah menghadirkan jiwa bintang-binatang itu ke dalam dirinya. Tokoh monyet misalnya, salah seorang anak yang memainkannya benar-benar membuat penonton paham bahwa itu adalah monyet yang sedang bermain, monyet yang sedang serius, atau monyet yang sedang bersiasat. Bagaimana tidak, gerakan yang dipilih mampu merepresentasikan monyet dalam artian sesungguhnya. Mulai dari gesture hingga suara yang menirukan suara monyet.
Dalam permainan ini, monyet digambarkan sebagai tokoh yang jahil dan tidak bisa diam. Hal itu pun mampu divisualkan oleh anak-anak itu dengan sangat baik. Bahkan, sangat memukau. Begitu pula ketika berperan menjadi anjing. Gerak-gerik anjing seakan-akan telah diobservasi dengan matang sehingga anjing dalam artian sesungguhnya mampu dihadirkan dalam diri pemain, dan itu membuat penonton tidak bertanya-tanya lagi, apakah itu anjing atau mahluk yang lainnya. Peran-peran yang lain pun demikian, seperti burung, angsa, atau empas itu sendiri.
Beberapa hal lain yang lebih mencengangkan adalah tatapan mata dari anak-anak itu yang tak main-main, tatapan mereka tidak menunjukkan sama sekali kegugupan bermain di depan umum. Tidak menunjukkan bahwa mereka adalah pemain anak-anak. Yang terlihat mereka seperti pregina wayah atau bisa diartikan sebagai seniman matang.
Vokal, juga bukan suatu masalah yang besar untuk anak-anak ini. Vokal mereka yang meruang adalah salah satu alasan para penonton yang paling belakang memilih menghentikan obrolannya karena panggung mampu memberi penawaran lebih dari pada obrolan.
Dayu Ani, seniman dari Sanggar Maha Bajra Sandhi yang menjadi pengasuh Sanggar Bumi Bajra Sandhi, memang benar-benar berhasil menyalurkan jiwa kesenimannya kepada anak-anak. Bisa diduga, Dayu Ani tak sekadar melatih anak-anak untuk bergerak, melainkan juga melatih anak-anak untuk mengelola jiwa, di atas panggung, mungkin juga di luar panggung.
Anak-anak dari Bumi Bajra Sandhi memberi warna penting dalam Festival ke Uma yang memang digelar untuk memanjakan kegembiraan anak-anak. (T)