JANGAN rendah diri sebagai bangsa dari timur yang begitu percaya mitos-mitos. Lha, di Eropa, belahan dunia yang konon amat modern, mitos tetap dijadikan rujukan untuk memprediksi final Liga Champion antara Real Madrid dan Juventus, Minggu 4 Juni 2017 nanti.
Semua tahu. Di media massa, mitos ini selalu jadi tema ulasan yang menarik. Sejak Kejuaraan Klub Eropa (European Cup) diubah namanya menjadi Liga Champions pada tahun 1992, tidak ada satu tim pun yang mampu mempertahankan trofi tersebut. Manchester United pernah punya kesempatan mematahkan mitos itu pada Liga Champion musim 2008-2009. Namun di final klub itu gagal setelah diempaskan Barcelona dengan 0-2.
Kini Real Madrid punya kesempatan untuk melenyapkan mitos yang selalu dibicarakan (bahkan dipercaya) oleh sebagian besar penduduk sepakbola dunia itu. Madrid seakan berakata: “Masa sih gak boleh juara Liga Champion dua kali berturut-turut? Itu hanya mitos, bukan peraturan dalam sepakbola.”
Tak diragukan lagi bahwa Real Madrid adalah raksasa sepak bola Eropa dalam beberapa dekade terakhir. Sebelas piala Liga Champions sudah cukup rasanya membuktikan dominasi mereka. Pada musim ini, Real Madrid dengan sangat dramatis mampu memasuki final dan berkesempatan menjadi satu-satunya klub yang mampu mempertahankan gelar Liga Champion setelah Manchester United gagal melakukannya pada musim 2008-2009.
Real Madrid dengan sangat yakin mampu mempertahankan gelar mereka sebagai ajang balas dendam pada Juventus atas kekalahan di semifinal dua tahun lalu. Pertemuan mereka di ajang final pernah terjadi pada musim 1997-1998 dengan kemenagan tipis 1-0 untuk Real Madrid di mana Zidane saat itu masih bermain untuk si Nyoya Tua.
Memenangkang laga kali ini rasanya adalah target utama bagi si Nyonya Tua setelah mereka mampu mendominasi liga domestik dengan raihan 2 gelar (liga dan cup). Tetapi Duo Decima adalah pelengkap gelar bagi Real Madrid setelah mematahkan dominasi Barcelona di La Liga. Tentunya hanya meraih 1 gelar tidaklah cukup memuaskan gairah para madridista.
Pertandingan kali ini akan menjadi pertandingan final yang ideal. Real Madrid adalah klub yang tidak pernah gagal mencetak gol ke gawang lawan semejak perempat final Liga Champion melawan Manchester City musim lalu. Dengan ketajaman BBC (Benzema, Bale, Cristiano), mereka mampu mengkoyak-koyang tim besar sekaliber Bayern Munchen dan Athletico Madrid dengan Ronaldo mencetak back-to-back hat trick.
Juventus pun memiliki statistik yang luar biasa. Mereka adalah klub yang paling sedikit kebobolan dalam ajang kali ini. Pertahanan mereka sungguh luar biasa ditambah ambisi Buffon yang hanya melewatkan gelar Liga Champion sebelum memikirkan untuk gantung sepatu.
Real Madrid tampaknya harus berhati-hati terhadap pergerakan Dybala. Gelandang serang berusia 23 tahun ini benar-benar menjadi momok serius bagi pertahanan Real Madrid. Tak hanya itu, ketajaman Higuain akan benar-benar memutar otak Zidane untuk membendung serangan khas gaya Italia. Real Madrid juga memiliki senjata rahasia selain akan memaksimalkan produktivitas Cristiano Ronaldo. Isco telah membuktikan kelasnya sebagai gelandang kelas dunia menggantikan peran Gareth Bale yang selama ini banyak didera cidera.
Pertandingan kali ini benar-benar akan terasa spesial. Pertandingan ini akan dilaksanakan pertama kalinya dengan atap tertutup untuk menghindari serangan teror udara setelah kejadian bom di Manchester minggu lalu. Semua mata pecinta sepak bola akan tertuju pada pertandingan kali ini.
Mitos, ah Mitos!
Jika merunut pada mitos, Juventus lebih banyak diunggulkan. Sebagaimana ditulis Tribunnews.com yang mengutip laporan media Italia, Tuttosport. Media itu mengumpulkan opini dari jurnalis di tiga benua, yakni Eropa, Amerika, dan Asia. Ada 50 jurnalis yang nyetor opini. Dari 50 jurnalis itu, sebanyak 38 jurnalis lebih mendukung kemenangan Juventus.
Banyaknya penilaian Juve akan juara Liga Champions musim ini juga didukung faktor mitos bahwa belum ada juara Liga Champions dua kali berturut-turut. Sebagai juara bertahan Madrid dibebani dengan mitos yang terkenal itu. Tapi, sekali lagi, Madrid mungkin bertanya dengan tekad bulat: “masa sih mitos tak bisa dipatahkan? Itu mitos, bukan peraturan!”
Zinedine Zidane, selaku pelatih tentu punya tekad menghancurkan mitos tersebut. Sebagai salah satu pemain sekaligus pelatih yang punya “ikatan batin dan emosional” paling dalam dengan Liga Champion tentu tahu apa yang harus ia lakukan untuk membawa Real Madrid sebagai tim pertama yang menjadi juara Liga Champion dua kali berturut-turut, sekaligus sebagai juara ke-12 kalinya.
Zidane adalah salah satu pencetak gol pada final Liga Champions saat mengalahkan Bayer Leverkusen pada 2002. Saat Madrid juara Liga Champion ke-10 tahun 2014, Zidane adalah staf pelatih Carlo Ancelotti.
Yang unik, Zidane pernah menjadi pemain andalan Juventus sebelum hirah ke Real Madrid. Zidane pun sempat merasakan pahitnya dikalahkan Real Madrid di final pada 1997 dan 1998. Pada final kali ini Zidane tentu saja tak ingin membalaskan rasa pahit itu ke Madrid, melainkan justru ingin memperpanjang rasa pahit yang dialami Juventus. (T)