JIKA rumah dimasuki ular, jangan panik. Banyak orang bilang itu pertanda sesuatu. Ya jelaslah sesuatu: Ular…
Jika rumah di tepi sungai, tepi hutan, atau bersebelahan dengan semak, ular masuk pekarangan bukan hal aneh, itu sesuatu yang wajar. Mungkin ular mengejar kodok-katak lari masuk pekarangan. Atau memang rumahnya bagus buat ular, seperti banyak rumput tak terawat, jarang dibersihkan kebon dan bunga-bunga.
Kiatnya sederhana, ini warisan leluhur Bali dan Jawa: “Ritual Tabur Garam”. Taburkan garam di pekarangan. Silahkan taburkan dengan santai tanpa doa-doa.
Tapi sebagaimana orang timur kebanyakan, apapun juga, bahkan tanam pohon ada doanya. Berdoa sebelum menabur garam di halaman dan batas-batas rumah itu hal yang “memuliakan”. Berdoa dan puja bahwa kita berbagi ruang dan alam dengan semua makhluk.
Takutkah ular pada garam?
Secara ilmiah katanya tidak. Ular, kabarnya menurut kitab-kitab dan legenda, memiliki sense of territory, sebagaimana binatang lain, yang tidak takut pada garam. Secara turun-temurun para leluhur mengatakan kalau ular atau berbagai binatang liar mencium garam atau menemukan garam, dia akan tidak berumah di sana.
Bendera putih saat perang artinya menyerah. Musuh yang menyerang bukan takut pada bendera putih, tapi mereka tidak lagi menembaki musuhnya. Mungkin, menurut insting kehewanan saya, garam itu semacam “bendera putih” bagi ular dan binatang liar lainnya.
Mereka-mereka bisa menangkap sinyal kehadiran manusia, atau malah bisa jadi “sinyal perdamaian” untuk damai bertetangga antar makhluk.
Bukankah setiap sesaji Hindu Nusantara tidak lepas dari kehadiran sejumput garam? Apa maknanya? Garam semacam menjadi simbol niskala kemanusiaan kita: Makhluk yang “menguasai proses penggaraman”. Makhluk yang memahami laut dan berakal.
Semoga semua makhluk berbahagia.. Om bhumi shanti, pertiwi shanti, samudera shanti, akasa shanti. Sarwaprani hitangkara ya nama swaha.. (T)
*Catatan Harian 10 Mei 2017