PENYELENGGARAAN lomba menulis cerpen Festival Sastra (Festra) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Undiksha, tahun ini kembali diadakan dengan peserta yang relatif banyak. Artinya, para penulis cerpen masih bersedia memberikan kepercayaannya untuk mengikutsertakan naskahnya.
Dalam keseluruhan lomba, sebagian peserta memang telah sanggup berada pada capaian bahwa mereka telah berusaha untuk menulis cerpen yang bagus. Akan tetapi, banyak pula yang tak sadar, sebagai penulis cerita pendek, selain kita berjalan pada keyakinan, perlu kiranya pikiran bahwa menulis cerita itu memerlukan banyak pertimbangan.
Sebagaimana kita tahu bahwasannya sebuah cerpen adalah ekspresi naratif. Kesadaran semacam ini adalah sebuah struktur untuk membuat cerita pendek yang tak dapat digugat dan tak diketemukan celah lemahnya. Sebab dalam sebuah lomba menulis cerita pendek, yang ditemukan hanyalah pencerita yang sempurna. Pencerita yang baik akan tersisih, apalagi pencerita yang buruk. Pencerita yang buruk tak akan dapat tempat. Tak akan dicatat.
Jika anggapan itu bisa saya andalkan, maka sebagai tukang cerita, tuntutan dalam laku kerja adalah menemukan hal yang baru dan menceritakannya dengan indah. Sementara di tengahnya adalah proses transformasi ide menjadi tulisan. Dalam proses itulah kemudian dibutuhkan egoisme dan ambisi dalam diri. Ketidakpuasan adalah kunci membuat cerita yang sempurna.
Apa yang kemudian dikatakan Jardiel Poncela bahwa Ketika sesuatu dapat dibaca tanpa usaha, usaha besar telah dilakukan dalam penulisannya. Usaha itu kita terjemahkan dalam wujud si pencerita yang mesti berulang-ulang membaca tulisannya dan menduga-duga apa yang menjadi kelemahan. Kemudian merasa tidak puas dan memperbaikinya lagi. Hingga tak terjadi kesalahan, apalagi kesalahan yang bersifat elementer (belepotan dalam penggunaan kaidah bahasa). Itu sangat disayangkan bagi sebuah naskah yang akan diikutsertakan dalam sebuah lomba.
Tapi harapan untuk mencapai hal itu demikian jauh adanya. Dari banyak naskah yang terkumpul lebih banyak naskah yang berada di tataran baik. Tidak mumpuni sebagai cerita pendek yang sempurna. Banyak penulis tidak sadar bahwa setiap elemen akan saling menguatkan. Tak ada yang boleh berdiri sendiri. Membumbung tinggi sekali. Seperti filsafat dari Jepang; paku yang menonjol harus dipalu.
Pada cerpen Jiwa-Jiwa Laut karya Livia Hilda misalnya, si penulis mencoba mencari jawab —ke manakah manusia setelah mati? Ia mencoba memberi warna baru dengan perumpamaan bahwa jiwa-jiwa orang yang telah mati berumah di laut. Bukan di surga atau neraka yang tidak jelas tempatnya. Saya rasa ini adalah cerpen dengan tema yang paling berat. Dan tentu amat sulit menyulap tema yang berat menjadi suguhan yang ringan seumpama Albert Camus mengkongkretkan absurditas L’etranger.
Hampir sebagian dari cerpen Jiwa-Jiwa Laut mampu diceritakannya dengan baik. Namun tak sedikit pula bagian cerita yang menjadi celah kelemahan. Si pencerita tak mampu memberi beban yang seimbang antara ekplorasi imajiner dan realitas. Kadang-kadang, bila penulis cerita lebih mengedepankan imajiner yang terjadi justru cerita itu lebih dekat dengan cerita fantasi yang memerlukan pemikiran tertentu untuk menerimanya.
Si penulis juga terlalu enteng menggunakan nama tokoh Sukab dan Alina yang selama ini dekat di telinga kita sebagai tokoh yang digunakan Seno Gumira Ajidarma. Mestinya si pencerita ini tidak melakukan hal itu. Penentuan nama tokoh kadang-kadang juga penting agar ia menjadi cerita yang original seutuhnya. Tapi, toh, cerita ini memiliki kelemahan paling sedikit sehingga ia pantas menjadi cerpen terbaik.
Sementara pada cerita John Yang Malang karya Bayu Catur terlihat sangat mementingkan teknik bercerita ketimbang apa yang dia ceritakan. Sebenarnya, cerpen ini juga memiliki potensi menjadi cerpen yang sempurna. Namun sayangnya, si pencerita justru menjejal dengan dialog-dialog yang berbau fisafat sehingga terlihat penulis mengungkapkan sesuatu yang abstrak secara abstrak pula. Inilah yang disinyalir oleh Sutardji Calzoum Bachri sebagai salah satu penyakit cerpen Indonesia. Hal itu kiranya tak perlu dilakukan penulis dalam durasi halaman cerita yang singkat karena berisiko meniadakan cerita.
Cerita semacam ini juga kerap menimbulkan tingkat kehambaran cerita yang tinggi. Penulis juga tak menyadari, bahwa dalam menulis cerpen penting juga memosisikan diri sebagai pembaca. Cerpen yang berhasil tentu akan membuat pembaca tak akan menyangka bahwa ia akan mendapat sebuah kejutan ketika ia selesai membacanya.
Kasus ketimpangan takaran cerita juga terjadi pada cerpen Sepanjang Kabut Berembus karya Ida Ayu Made Diah Naraswari. Cerita ini mencoba menggali sebuah kepercayaan sebuah desa tentang kabut yang sanggup membunuh manusia. Eksplorasi kultur etnik semacam ini memang manjadi lahan basah yang menjanjikan untuk diolah menjadi sebuah cerita pendek. Dan menghadapi lahan basah, tentu penulis harus sadar bahwa ia harus menjelma petani yang pandai membaca curah tanah dan cuaca di sekitar. Jika tak demikian, ia tak akan sanggup menuai buah yang baik dari pohon yang ia tanam.
Dalam membaca cerpen Sepanjang Kabut Berembus ini, ada usaha berpikir dengan logika terbalik —menentang pemikiran orang desa yang berpegang teguh pada hal-hal yang bersifat kepercayaan. Hal ini memang cukup berhasil dilakukan. Namun sayangnya, penulis terjebak dengan menciptakan alur patah-patah. Dan celaka pula, cerita ini menjadi lemah karena fokus ceritanya pecah.
Ada juga cerpen dengan judul Tanah Wayah karya Putri Handayani dan Jero Mangku Alit karya I Putu Darmika yang menempel unsur ke-bali-annya dengan dominan. Si penulis cerpen menyelipkan mantra-mantra dan istilah yang bersifat kontekstual dan amat sulit dipahami tanpa catatan kaki atau penjelasan dalam bentuk lainnya. Hal semacam ini sering kita masukkan ke dalam sebuah tindakan salah kaprah. Mengambil tema lokal sebagai penanda primodial mestinya cukup saja menggunakan cara showing don’t telling. Cukup tunjukkan, jangan katakan.
Sementara cerita yang lain seperti Missing you, Imoral, Bukan Sebelah Tangan, dan Unusual Thing (untuk mewakili karya lainnya) dominan mengambil tema sekolah. Tema yang semacam itu tidaklah buruk bila ia dituturkan dengan cara pandang yang lain dan dengan teknik bercerita yang rapi dan mumpuni.
Katakanlah cerita Kenakalan Remaja Manusia yang ditulis Eliza Vitri Handayani di Koran Tempo. Cerpen itu memiliki daya tutur yang kuat dengan setiap elemen yang tidak hanya menempel, tapi melekat seutuhnya. Si pencerita amat rapi menata setiap unsur cerita. Di satu sisi, kita memang tidak bisa memuja cerpen yang rapi. Tapi di sisi lain, cerpen yang rapi kadang sering kita sebut bagus. Mungkin demikian yang sering terjadi bila kita mengalami sebuah proses pembacaan teks cerpen.
Itulah yang menjadi musabab kebanyakan cerita yang terkumpul dalam lomba ini masih berada di garis perkembangan. Artinya memerlukan intensitas menulis yang lebih tinggi agar mencapai kestabilan dalam bercerita dan menuai takaran yang pas untuk dinikmati sebagai cerita pendek. Kemudian, sebagai pencerita kita senantiasa membayangkan seorang pembaca memeluk erat sebuah kertas. Di atas kertas itu, adalah sebuah cerita yang kita tulis.
Pada akhirnya, keberhasilan panita Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Undiksha, dalam menggelar sebuah lomba adalah sebuah kenyataan yang harus direnungkan. Setiap tahun dalam lomba ini, kadang ada penulis yang tampil gemilang dan tak beberapa lama kemudian menghilang. Terlebih lagi, tahun ini lomba yang digelar menyasar usia muda (15-22 tahun).
Kisaran usia itu amatlah labil dalam bidang kepenulisan. Hal ini juga tak urung mestinya menjadi tantangan agar tak setiap lomba berakhir hanya pada penentuan juara dan setelah itu, boleh tak ada kabar berita. Saya memandang lomba menulis cerpen ini adalah salah satu ruang untuk terus berusaha menghasilkan penulis-penulis baru dan di dalamnya juga ada usaha pembinaan dan pengembangan minat kepenulisan. Dan usaha yang demikian tentu tak akan mudah. Tak akan pernah. (T)
Pemenang Lomba Menulis Cerpen Festra Basindo Undiksha Singaraja
Juara 1
Jiwa-jiwa Laut/Livia Hilda/Sastra Inggris Undiksha
Juara 2
John yang Malang/Bayu Catur/SMA Lab Undiksha
Juara 3
Sepanjang Kabut Berhembus/Ida Ayu Made Diah Naraswari/BK Undiksha
Harapan 1
I Wayan Agus Wiratama/Bahasa Indonesia Undiksha
Harapan 2
Ketut Degeng dan Rumah Singgah/Gusti Putu Satia Guna/Bahasa Indonesia Undiksha
*Penulis adalah salah satu anggota Dewan Juri