DALAM lontar-lontar Jawa (Majapahit) tidak ada yang menyebut secara gamblang ada tradisi perayaan Galungan dan Kuningan.
Tidak satupun ahli menemukan data valid soal keberadaan Galungan dan Kuningan bersumber dari tradisi Majapahit. Tulisan-tulisan para ahli dan lontar-lontar yang saya baca menyisakan pertanyaan besar atau lubang besar dari mana sumber tradisi ini. Tulisan-tulisan yang ada hanya meraba-raba. Tidak ada yang berani memastikan asal-usul tradisi ini.
Atau ini Galungan dan Kuningan memang tradisi asli khusus untuk dirayakan di Bali?
Sementara itu, tradisi wariga dan pawukon yang menyebutkan 30 uku di antaranya Galungan (Dungulan) dan Kuningan berasal dari Jawa periode Jawa Kuno dan Sunda Kuno. Tradisi pemakaian uku dalam prasasti di Bali baru bersamaan dengan pergantian bahasa prasasti dari Bali Kuno ke Jawa Kuno.
Lebih menarik lagi, Kuningan adalah nama kerajaan di Jawa Barat atau Tatar Sunda. Timbang, Kuningan, Darma, dan Luhur Agung adalah nama-nama wilayah di sekitar Gunung Cermei, yang juga disebut sebagai gunung atau poros spiritual Kuningan. Inilah salah satu pusat atau mandala masyarakat Sunda kuno.
Satu lagi mandala suci Sunda kuno adalah Gunung Galunggung atau disebut sebagai Gunung Galungan. Gunung Galungan ini menjadi sumber kemuliaan dan kesaktian orang Sunda (Atja & Saleh Danasasmita, 1981b: 29, 35).
Jawa yang diperintah oleh Rahiyang Isora dapat dikuasai oleh Rahiyangtang Kuku yang berkuasa di Kerajaan Kuningan (Atja & Saleh Danasasmita, 1981c: 10, 30). Disebutkan juga Sang Resi Guru Demunawan sebagai figur yang menjaga tatanan keseimbangan antara penguasa Jawa dan penguasa Sunda.
Adakah tali-temali tradisi Galungan-Kuningan ini dengan naskah-naskah Bhumi Parahyangan yang naskahnya sangat banyak soal “Hindu-Buddha”, seperti: Sanghiyang Siksakandang Karesian, Sewaka Darma, Carita Parahiyangan, Amanat Galunggung, Serat Catur Bumi, Kawih Paningkes, Jatiniskala, Sanghiyang Raga Dewata, Serat Dewa Buda, Carita Ratu Pakuan, Dharma Patanjala, Sang Hyang Hayu, dan sebagainya?
Rekomendasi saya, jangan pernah menganggap tradisi Hindu di Bali tunggal mengekor tradisi Majapahit. Masih banyak sumber naskah kuno yang lebih kuno dari keberadaan tradisi Majapahitan. Naskah-naskah Sunda kuno sangat penting dibaca untuk melacak tradisi yang tidak sama dengan tradisi Majapahit.
Mungkin saja Bali Kuno (Bali Aga-Bali Mula) dan Sunda Kuno yang sama-sama menolak tunduk pada Majapahit itu punya tali-temali jauh sebelum Kerajaan Majapahit berdiri. Salah satu indikasi ini disebutkan dalam keyakinan masyarakat Desa Julah bahwa leluhur mereka punya hubungan dengan Raja Medang Kamulan. Sunda Kuno dan Bali Kuno siapa tahu bertemu di titik periode Medang Kamulan?
Selamat merayakan Hari Suci Kuningan. Semoga Bhatara Guru senantiasa memberi kejernihan pikir dan kemuliaan batin. (T)