RATNA duduk termenung di samping jendela memperhatikan rintik-rintik nyanyian hujan jatuh dari langit. Ia terheran akan rintik-rintik hujan.
“Mengapa begitu banyak air jatuh dari langit? Bukankah air adanya di laut, sungai, dan di danau? Apakah langit sedang menangis? Atau nenek yang ada di surga sedang menyiram bunga-bunga taman surga?” Tanya Ratna dalam hati.
Lama ia terdiam, sampai kemudian ia tersenyum sendiri.
“Kalau memang benar nenek sedang menyiram bunga di taman surga, sungguh bahagianya nenekku yang cantik itu di surga,” pikir Ratna.
Ia kemudian melamun.
“Nenek bernyanyi riang menyiram berbagai warna di taman surga seperti waktu nenek masih hidup. Ia sering menanam bunga dan menyiramnya di halaman rumah. Oh, nenek yang cantik, aku menjadi rindu denganmu,” bisik Ratna dalam lamunannya.
Tiba-tiba ibunya datang menghampiri Ratna.
“Ratna sayang, mengapa kamu melamun di jendela memperhatikan hujan?”
Ratna terkejut oleh suara ibunya. “Nggak, Bu, saya tidak melamun, tetapi saya lagi membayangkan senyum nenek yang sedang menyiram bunga di taman surga, hingga airnya jatuh jadi hujan di bumi,” jawab Ratna.
“Ratna-ku sayang, memang benar nenek sedang bahagia menyiram bunga di taman surga, tetapi air siraman bunga taman surga tidak sampai jadi hujan di bumi,” jelas ibunya.
“Oh begitu, ya, Bu. Lalu, hujan itu dari mana Bu?” tanya Ratna bingung.
“Oh, hujan itu dari awan mendung di langit, Sayang.” jawab ibunya.
Namun, Ratna masih bingung dengan perkataan ibunya yang belum ia mengerti. Kok bisa air jatuh dari awan. “Bu, mengapa awan bisa menjutuhkan air hujan?” tanya Ratna bingung.
Ibunya tersenyum bahagia mendengar pertanyaan putri mungilnya. “Ratna, Sayang, awan itu terdiri atas banyak atau berjuta-juta butiran air yang sangat kecil menjadi satu di udara yang mendingin di langit dan dijatuhkan oleh angin hingga turun jadi hujan,” ucap ibunya.
Ratna masih bingung memikirkan butiran air yang ada di awan, sedangkan di langit ia tahu tidak ada danau, sungai, dan laut. Dari mana datangnya tetes airnya?
“Bu, bagaimana bisa ada air di awan sedangkan di langit tidak ada danau dan sungai maupun laut?” tanya Ratna.
Ibunya kembali tersenyum bahagia mendengar pertanyaan anaknya yang begitu kritis. “Sebentar, Sayang, ibu merapikan dapur dulu. Nanti ibu ceritakan sesuatu,” kata ibunya yang sudah selesai memasak.
“Ya Bu, tapi jangan lama-lama,” ucap Ratna yang tak sabar ingin mendengar perjelasan ibunya.
Beberapa saat kemudian. “Sudah siap sayang, mendengar cerita Ibu!” ucap ibunya yang sudah duduk di samping Ratna.
“Sudah, Bu,” jawab Ratna serius.
Ibunya mulai menjelaskan proses terjadinya hujan dengan menceritakan kisah Si Tetes Air dari dongeng “Drip’s Journey”:
***
Di laut, Si Tetes Air dan teman-temannya sedang asyik bermain dengan teman-temannya. Mereka menelusuri lautan yang luas. Si Tetes Air tidak sengaja menemukan cahaya matahari dan medekatinya. Tiba-tiba, tubuh Si Tetes Air terasa hangat dan mulai ringan kemudian menghilang.
“Tubuh kita menguap,” kata Si Tetes Air. Mereka melayang naik ke langit tersedot oleh sinar matahari. Kini, tubuh mereka burubah menjadi udara dingin. Mereka pun saling berpegangan membentuk awan agar tidak terbawa jauh.
“Oh, tubuh kita kembali lagi tetapi semakin dingin. Ayo, pegangan yang kuat,” ucap Si Tetes Air kepada teman-temannya.
Teman-teman Si Tetes Air semakin banyak yang tersedot oleh matahari. Mereka besar dan berat menjadi awan di langit.
“Kalian semua kok jadi ikut menjadi awan,” kata Si Tetes Air.
“Ya, ni, kami tidak kuat menahan panasnya matahari, hingga tubuh kami ringan dan menguap terbang ke atas” kata teman-temannya bergemuruh.
“Ayo, kita bersatu menjadi awan yang besar agar tidak terjatuh,” pinta Si tetes Air. Langit pun menjadi bergemuruh.
Ketika mereka saling berpegangan, datang angin mendorong mereka. Mereka tergerak mendekati pegunungan. Tubuh mereka digoncang angin dan dibenturkan ke pegunungan. Karena tidak kuat lagi saling berbegangan, mereka pun terjatuh ke bumi. Mereka berteriak jatuh pada daun-daun, masuk ke akar pohon, masuk melewati lubang-lubang tanah, dan jatuh ke sungai.
Masih tak sadarkan diri, mereka terbawa oleh arus sungai hingga sampai ke laut.
“Hai Tetes Air, kok baru kelihatan? Ke mana saja kamu pergi?” tanya ikan dan teman-teman Si Tetes Air yang masih berada di lautan. Si Tetes Air belum menyadari kalau ia sudah sampai di rumah yaitu di laut.
“Hai teman, tenyata kita sudah kembali lagi ke rumah,” teriak Si Tetes Air kegirangan.
Semenjak kejadian itu, Si Tetes Air dan teman-temanya menjadi senang dan tidak takut lagi jika terkena sinar matahari. Mereka pun selalu bermain dengan cahaya matahari agar bisa terbang menjadi awan kemudian jatuh menjadi tetesan-tesan hujan dan pulang lagi ke laut.
***
Ratna tersenyum gembira mendengar cerita ibunya.
“Begitulah proses terjadinya hujan, Sayang,” ucap ibunya mengakhiri cerita Si Tetes Air.
“Jadi begitu terjadinya hujan. Si Tetes Air disedot oleh matahari. Si Tetes Air dan teman-temannya menjadi awan. Kemudian, digoyang-goyang dan didorong ke gunung oleh angin. Lalu, terjatuh menjadi rintik-rintik hujan. Hebat Si Tetes Air,” pikir Ratna yang kini sudah paham.
***
Ratna, sebagai anak yang masih menimba pendidikan di PAUD sudah belajar proses terjadinya hujan melalui cerita sederhana. Ia tidak harus rumit mengikuti teori sains, tetapi mudah memahami karena disederhanakan sesuai usia.
Coba seandainya Ratna mendengarkan penjelasan dari ibunya bahwa proses terjadinya hujan, yaitu air di bumi menguap menuju atmosfer membentuk mendung dan terjadilah proses kondensasi. Kemudia, awan mendung semakin membesar terbawa angin ke daerah pegunungan. Lalu, karena butiran-butiran air semakin berat berada di awan mendung, maka jatuh butiran air itu menjadi tetesan-tetesan air hujan.
Jika penjelasannya seperti itu, apa yang ada dalam pikiran Ratna kemudian? Mungkin penjelasan itu akan dilupakan begitu saja, karena penjelasan itu tidak merangsang imajinasi.
Suatu hari, Ibu Nengah memasuki kelas PAUD, terjadilah hujan gerimis.
“Hujan gerimis ya? Oh ya, masih ingat kenapa bisa ada hujan?” tanya Ibu Nengah kepada anak-anak.
“Karena air lautnya disedot sama mataharinya dan jadi awan. Awannya didorong ama anginnya. Awanya nabrak gunung. Airnya jatuh jadi hujan,” ucap salah satu anak.
“Kayak cerita ibu itu ya?” celetuk salah satu anak di kelas.
“Ya, kayak cerita Si Tetes Air yang ibu ceritakan dulu,” jawab Ibu Nengah.
“Ceritakan lagi, Bu!” pinta anak-anak.
Ibu Nengah pun kembali menceritakan Si Tetes Air. Anak-anak selalu senang mendengarkan cerita walaupun cerita yang sama dan sudah didengar berulang-ulang. Sebab, dunia imajinasi anak-anak sangat liar dan mengagumkan yang sering tidak dipahami oleh orang dewasa. (T)