ADA hutan dan pegunungan yang demikian penting dalam perjalanan Airlangga, yaitu pegunungan Wanagiri.
Berawal dari sebuah “pralaya”, lalu menggungsi ke Wanagiri, dan dari sanalah ia memulai perjalanan batinnya, melihat dari atas, menyusun lapis-demi-lapis yang tersisa, dan mempersatukan Jawa.
”Pralaya” atau ”mahapralaya” artinya zaman kekacauan / kiamat / mala petaka / porakporanda / kehancuran besar / kematian / gambaran amarah dari para dewa.
Pralaya Medang atau Mataram Kuno dalam Prasasti Pucangan (Calcuta) yang dikeluarkan Erlangga pada 1041M berbunyi :
“ri kālaning pralāya ring yawadwipa i rikāng sakakāla (Tahun tidak terbaca dengan jelas) 928 / 938 / 939 saka ri prahara haji wurawari masö mijil sangke lwaram ekarnawa rūpanikāng sayawadwipa rikāng kāla”
Prof. H. Kern mengartikan kurang lebih sebagai berikut:
“ketika terjadi pralaya di Pulau Jawa pada tahun 928 / 938 / 939 saka dari prahara Haji Wurawari, ketika ia keluar dari Lwaram, seperti hamparan lautan keadaan seluruh Pulau Jawa pada saat itu – rata”
3 versi tahun peristiwa Mahapralaya : 928 +78 : 1006 M (Kern, 1913) 938 +78 : 1016 M (Boechari, 1976) 939 +78 : 1017 M (Sedyawati, 2006). Tahun Suryasengkala “Locana agni vadane” berarti tahun 1010 M. Sedangkan jika membacanya “Sasalancana abdi vadane” maka berarti 1016 M.
Pralaya Kerajaan Mataram adalah Peristiwa serangan haji Wurawari dari Lwaram ke istana Medang di Wwatan. Peristiwa ditafsirkan terjadi tahun 1016 M era Raja Darmawangsa (991-1016 M) saat berlangsung pesta penikahan Pangeran Airlangga (16 tahun) dengan Dewi Laksmi, putri sulung Dharmawangsa. Di tengah keramaian, tiba-tiba istana diserang dan dibakar Wurawari, Serangan ini menyebabkan Medang mengalami kehancuran dan gugurnya Dharmawangsa beserta para petinggi kerajaan.
Inskripsi di Prasasti Kalkuta menggunakan kata Sanskerta “Arnawa” atau “Ekarnawa” kata ini menggambarkan adanya peran lain berupa bencana alam.
Beberapa tafsir “Arnawa” atau “Ekarnawa”
– Banjir besar
– Air laut yang menggenang
– Seperti lautan susu (Prof. C.C. Berg, epigraf dan sejarahwan)
– Lautan susu ini diaduk atau dikocok oleh para dewa (Mitologi Hindu)
– Berasosiasi buih laut yang berwarna putih
– Berdasarkan kalimat “the whole Jawa looked like one (milk) sea at that time” (Van H Labberton 1922) menginterprestasikan sebagai gemuruh aliran air, banjir atau gelombang pasang air laut
– “Milk sea” atau “Ocean of disaster”
Dari sudut pandang ini muncul dugaan bahwa peristiwa serangan Wurawari terjadi berbarengan dengan adanya bencana alam. Bencana bisa terkait dengan adanya Tsunami atau bisa juga Banjir Bandang. Tsunami atau Banjir. Mengacu pada kalimat “lautan susu memutih”, “banjir besar”, “laut menggenang”, sementara “diaduk atau dikocok” dikaitkan dengan gempa bumi kuat.
Tafsir ini diperkuat oleh arti nama Erlangga atau Airlangga
– Erlangga diartikan sebagai orang yang terhindar dari (banjir) air
– Airlangga berarti “Air yang melompat”
– Berg (dalam Bommelen, 1971) dan Van Hi Labberton sependapat bahwa “Erlangga” diterjemahkan sebagai “orang yang dapat lolos dari bencana (banjir)”
– ‘Er’ artinya adalah kata bahasa Jawa untuk air, dan ‘langga’ artinya “minum sedikit-sedikit” atau ‘menyesap’ tau ‘menyedot’.
– Airlangga artinya adalah ‘dia yang minum air’, yakni “ia yang menyedot air laut”
Menggungsi ke Wanagiri
Saat peristiwa serangan, Airlangga menyelamatkan diri ke baratdaya tepatnya di hutan dan pegunungan Wanagiri, desa Cane bersama permaisuri, Mpu Narotama dan para pertapa. Dari atas sini ia sepenuhnya dapat melihat keadaan dataran Jawa saat itu. Beberapa bulan kemudian Erlangga dan Narottama menuju desa Terep di kaki gunung Penanggungan.
Digambarkan pada saat itu “seluruh Jawa seperti hamparan yang memutih” bukan memerah oleh darah peperangan. “Seluruh Jawa” kalimat ini seakan memperjelas Airlangga sedang melihat Jawa dari atas. Dari pegunungan Wanagiri inilah ia menyaksikan pemandangan dramatis banjir besar tersebut.
Jika benar Tsunami, Airlangga juga akan mudah melihatnya dari atas, bekasnya membentang di arah pesisir selatan. Bukankah foto satelit pasca Tsunami Aceh 2004 daratan di pesisir tampak rata memutih? Oleh penulis Airlangga, digunakan kalimat seluruh Jawa untuk mendramatisir peristiwa tersebut. “Seluruh Jawa” bisa jadi untuk tujuan menggambarkan benfana yang dramatis, mungkin agar mendapat simpati rakyat Medang.
4 tahun pasca “Pralaya”, Gunung Merapi meletus tahun 1020 M skala VEI 4 (Newhall, 1998). Letusan besar ini menguatkan asumsi adanya aktifitas gempa bumi besar sebelumnya di sebelah timur pesisir DIY (Jawa Timur). Ada yang teman dan pendapat mengatakan bahwa Danau Borobudur menjadi semakin dangkal dan sempit, dan akhirnya menjadi kering pada akhir abad ke 13 atau pada tahun 1288 Masehi (Murwanto, 1996).
Bukti lain pasca serangan:
Pasukan Wurawari tidak menduduki wilayah istana tapi justru langsung mundur ke Blora yang kemudian memunculkan cerita bahwa pasukan Ratu Laut Kidul datang membantu mengusir Wurawari. Kisah Kedatangan pasukan Ratu Laut Kidul selalu identik dengan peristiwa gelombang tsunami besar yang menerjang daratan. Jika benar tsunami tentu saja tak sampai masuk ke istana Medang di Wwatan yang jauh di daratan. Namun gempa kuatnya mampu menyiutkan nyali siapapun yang merasakan.
Apa Wurawari?
Kerajaan Wurawari dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora) hanyalah kerajaan bawahan yang kecil, atau vassal Sriwijaya. Sriwijaya bahkan sudah pernah dikalahkan Mataram dalam peristiwa Anjukladang di era kekuasaan Dyah Wawa. Prasasti Anjukladang berangka tahun 859 Saka (937M) dibuat oleh Mpu Sindok, merupakan prasasti kemenangan perang kerajaan Mataram dari serangan pasukan keturunan Balaputradewa Sriwijaya, Mpu Sindok pada masa itu masih menjabat Rakyan Mapatih Hino.
Pasca peristiwa serangan Wurawari, Airlangga kemudian membangun kembali kerajaan dan mengembalikan wibawa kerajaan. Pada tahun 1019 M Secara berturut-turut Air Langga dengan mudah menaklukan raja-raja bawahan (vassal) Sriwijaya seperti Bisaprabhawa tahun 1029 M, raja Wijayawarman dari Wengker tahun 1034, Raja Adhamapanuda tahun 1031 M termasuk Wurawuri tahun 1035.
Jadi mungkinkah Wurawari mampu menghancurkan Medang sedemikian dahsyat hingga menciptakan “pralaya” tanpa disertai bencana? Mungkinkah Medang porakporanda hanya karena mereka lengah dan melemah saat upacara perkawinan Airlangga? Kemungkinan besar: Tidak.
Demikianlah, kadang serangan manusia dan amukan alam sering datang bersamaan. Sejarah mengajari bahwa Airlangga menyelamatkan diri dalam situasi amukan manusia dan amukan alam dengan hijrah ke Wanagiri, menyepi dalam ketinggian pegunungan, melihat ke dalam diri dan melihat bentang alam sampai jauh ke tepian kaki langit. Setiap dari kita sebaiknya punya Wanagiri kita masing-masing, tempat mengungsi dari amukan situasi hidup yang kadang tak bersahabat. (T)