Pertengahan tahun 1990-an, Teater Angin SMAN 1 Denpasar sedang suntuk-suntuknya bergaul dengan teater dan puisi. Sejumlah siswa suntuk di teater, sejumlah siswa lain tergila-gila pada puisi.
Yang suka puisi biasanya mendekatkan pergaulan pada penyair-penyair dari Sanggar Minum Kopi, seperti Warih Wisatsana, Wayan Jengki Sunarta, Oka Rusmini, Tan Lioe Ie. Teater dan sastra saat itu memang sedang menjadi tuan rumah di Denpasar. Histeria sekaligus guyub.
Ada banyak siswa menunjukkan minat sangat besar pada puisi. Dalam hampir setiap kesempatan mereka akan bertanya tentang puisi, bagaimana menulisnya, bagaimana cara membangun rima, bagaimana membuat metafora, sampai cara mengirim karya ke media massa.
Penyair yang rajin meladeni siswa saat itu, salah satunya adalah Wayan Jengki Sunarta, selain juga ada Riki Dhamparan Putra. Ke mana pun Jengki dan Riki pergi untuk bikin acara sastra, bahkan hingga ke Desa Marga di Tabanan, sejumlah anak akan ikut.
Ada seorang siswa saat itu, yang sangat pendiam. Tak banyak bertanya. Tapi selalu ikut temannya untuk mengikuti para penyair-penyair dalam acara sastra. Siswa perempuan itu seolah hanya sebagai penggembira, hanya ikut-ikutan.
Namun beberapa tahun kemudian, siswa perempuan yang tak banyak bertanya itu membuat para penyair di Bali terkejut. Siswa itu menunjukkan sejumlah puisi, baik di media massa maupun yang ditunjukkannya sendiri. Puisi-puisi penuh tenaga dan kuat, terutama dalam mempertanyakan tentang diri dan kehidupan di sekitarnya.
Rupanya siswa perempuan yang pendiam itulah sesungguhnya menjadi pendengar dan penyerap paling baik dari segala petuah-petuah Jengki, Riki, dan teman-teman penyair lain. Setelah tamat SMA, siswa perempuan itu makin menunjukkan jati dirinya sebagai penyair. Puisi sempat dimuat di Jurnal Kalam dan saat itu sempat dipuji Goenawan Muhamad dalam acara sastra di Taman Budaya Denpasar yang diadakan Teater Utan Kayu (TUK).
Siswa pendiam itu adalah Putu Vivi Lestari yang kemudian dikenal sebagai salah satu penyair perempuan Bali yang kuat. Dia melesat mengikuti bakatnya. Sementara teman-teman sesama menjadi siswa SMA dulu, yang banyak bertanya tentang puisi, justru tak begitu kelihatan.
Dialah Vivi Lestari, yang sungguh mengejutkan sekaligus membuat sangat sedih, pada Sabtu, 8 April 2017 Pkl. 20.00 WITA, ia meninggalkan teman-temannya untuk selamanya, setelah menderita penyakit kanker darah.
Di laman facebook, penyair yang paling dekat dengan Vivi saat muda, Wayan Jengki Sunarta, mengabarkan kesedihannya dengan menulis puisi.
“Entah kebetulan atau bukan, sejak senja tadi aku gelisah dan merasa ada yang aneh, sebab hujan kelabu turun tiada henti, dan aku menulis puisi muram. Dan, ternyata aku dapat kabar duka, sahabat kami yang baik, penyair Putu Vivi Lestari telah pergi mendahului kami jam 8 malam tadi. Dia terkena kanker darah. Aku syok mendengar berita duka itu. Bahkan aku belum sempat menjenguknya. Bahkan buku puisiku “Montase” yang dipesannya belum pula sampai padanya. Duh, Vivi, begitu cepat kau pergi…,” demikian tulis Jengki.
Beberapa jam sebelum Vivi dikabarkan pergi, Jengki sebenarnya sudah menulis puisi muram yang kemudian ia anggap sebagai pertanda. Puisi itu kemudian didedikasikan untuk sahabatnya yang baik itu.
Hujan Kelabu
-untuk penyair Putu Vivi Lestari-
mengenangmu,
hujan kelabu
membasahi kalbu
dua kucing hitam
mendengkur
di atas kasur
serangga senja
bernyanyi lirih dan ragu
bunga-bunga kamboja
luruh di halaman rumah
langit bagai kerak kopi
hujan kelabu belum henti
aku pun tak usai
mengenangmu…
(WJS, Sabtu, 8 April 2017)
Penyair Pranita Dewi juga tak bisa menyembunyikan kesedihannya setelah mendengar kabar Vivi pergi menghadap Sang Kahlik. Ia menulis puisi untuk Vivi:
Vivi Lestari,
memang hujan
mengganti air
mata di pipiku
merembesi bumi
memengapkan hati
kehilanganmu
begitu mencengkam
maut begitu
mencengkeram.
selamat jalan…
Vivi adalah penyair bersahaja, namun banyak memiliki teman. Salah seorang penyair yang juga wartawan Made Sujaya juga menuliskan rasa sedihnya:
Terbenam dalam rasa kehilangan yang dalam. Selamat jalan, Vivi Lestari, kawan sepermainan di rahim puisi. Angin mungkin menyapu bayangmu, tapi puisimu tetap abadi, di hati kami
Sementara penyair Sinduputra menulis:
……bukan kematian yang kau takutkan..
Tapi air mataku mengalir deras…….
Vivi memang layak dikukuhkan sebagai penyair perempuan yang sudah memberi sumbangan kepada dunia sastra Indonesia dengan mewariskan puisi-puisi yang baik. Inilah dua puisi Vivi Lestari:
UPACARA AKHIR TAHUN
“Ke barat kekasihku”
Jalan makin hitam
merapat di sisi tahun
anak-anak gerimis
menari
pada layangan angin
Detik ini
biarkan lilin mengurai
tangis
di sela jemari bunga
hingga cahaya yang lahir
menuntunmu berteduh
pada bayangan sendiri
“Ke barat kekasihku”
Di sana laron melepas sayap
kunang-kunang berbagi cahaya
pada langit
pada bulan yang ragu
merangkai detik
Sementara daun-daun kenangan
meranggas
menuai badai
keluh kesah kabut
menyayat
doa harapan
CABO
Di bulan juni
Yang resah
Selalu kata-kataku
Sesat
Entah di rambutmu
Di ujung suaramu
Atau di liku tubuhku
Aku tahu
Sebuah legenda kaca
(kesetian yang tak selesai)
Telah usai
Kau bukan kaisar shahjahan
Di penjara masa tua
Yang tersalib
Dinding pualam
(oleh cinta ataukah sesak birahi)
Bukan pula Kalindi Kunj
Dimana mata air
Menyindir kesendirianku
:”janda yang haus
Tersesat di belantara
Tanpa rimba”.
Di bulan juni
Yang resah
senja gelisah
Sejarah memaku pintu dekapan sisi kubah
Kaca-kaca bergambar
Burung merak terlunta
Terlupa lorong
Kalyana Manta
Meski pilar-pilar menopang
Runtuhan sesaji
Para dewa
Barisan restu
Nenek moyang
Tetap saja
Aku tergagap
Warna merah
Di belahan rambut
Sebuah ikatan ataukah pengabdian
Tanpa batas?
Di bulan juni
Yang resah
Sejarah cemas
Bergegas
Menerka musim
:”Kenapa setia tak menunggu
Di ujung ranjang”.
Ada camar
Yang sesat
Saat langit
Mengirim
Senja yang lain
Di mataku
Antara angin masa lalu
Dan hari ini
Buih ombak
Mendesah lebih riuh
(mungkin suaramu
Atau nafasmu)
Di dadaku
antara renda bermotif bunga
dengan lapisan
busa halus
antara bercak
tanganmu
yang tertinggal 10 tahun
silam
ada camar
tersesat
saat mania Giorgio Armani
mengngirim wewangian
rempah
di leherku
atau Christian Dior
menyelipkan
dedaunan luruh
di kulitku
di pantai yang jauh
sebuah dosa indah
terselip
di lipatan bibirku
dan di ujung
rambutku
yang gemetar
kata-kata hilang makna
“puasaku batal
Hari ini”
Selamat Jalan, Penyair, bersama Tuhan teruslah menulis puisi-puisi yang baik…