ENAM pemain remaja dan anak-anak yang tergabung dalam Bondres Citta Usadhi dari Mengwi, Kabupaten Badung, mengocok perut penonton dalam parade bondres Bali Mandara Nawanatya 2017 di panggung Madya Mandala Ksirarnawa, Taman Budaya, Denpasar, Sabtu 11 Maret, malam.
Enam seniman belia itu adalah Ni Ketut Ayu Yulia Ratu, Nyoman Atheny Prama Sastra Dewi, A.A.M. Gita Ningtyas Adi Susila, Putu Yayang Lorensia Novita, Ni Dewi Septi Andayani dan Ni Putu Asri Widyasari. Semuanya perempuan.
Dengan adegan-adegan lucu mereka memparodikan sekuel cerita tantri Gertak Kambing. Itu cerita tentang macan yang kuat tapi bodoh takut sama kambing yang lemah namun cerdik. Parodi Gertak Kambing dimainkan sebagai pijakan media untuk menggambarkan dilematik situasi yang melanda kehidupan kekinian yang sudah dibius berbagai perangkat tekhnologi.
Bondres Citta Usadhi memanggungkan bondres dengan sejumlah unsur mirip sendratari. Sebuah pilihan yang cukup beralasan, karena perempuan-perempuan cantik itu harus tetap tampak cantik meski menggunakan rancangan kostum yang disesuaikan dengan penokohan cerita. Mungkin mereka ingin memberontak kecenderungan bondres yang selama ini kerap menggunakan kostum aneh agar terkesan jelek, cacat fisik, alias buruk rupa.
Yang hendak dijabarkan sekaa bondres perempuan itu adalah tema busul mincid. Dengan tema ini mereka menyoroti tentang perkembangan teknologi saat ini yang berdampak pengaburan sekat kehidupan dari berbagai lapisan umur yaitu anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua.
Tingkah polah anak kecil sudah melewati batas umur dari dunianya. Remaja kehilangan kesopanan moral, didera kebebasan yang justru dapat menghancurkan masa depannya. Kalau hal ini tidak ditengarai niscaya lambat laun dapat mengikis kebalian orang Bali.
Seperti sinonggan tetua orang Bali yang mencibir sesuatu yang berlebihan ibarat busul minced, yakni jenis penyakit kulit, biasa tumbuh di pantat, berupa bintik kecil bernanah tapi sangat menyakitkan. Walaupun kecil, kebetan sakitne terasa sangat menyiksa.
Tentu saja, mereka menyindiri dunia mereka sendiri. Anak-anak sekarang dibesarkan oleh tekhnologi informasi yang kini sangat mudah dan murah untuk dimiliki. Misalnya smartphone dengan konten wayah-wayah di media sosial yang membuat anak-anak, meski masih kecil, namun kata-kata dan perilakunya bisa melebihi orang dewasa. (T/ole/R)