SIAPA pun yang sempat belajar bahasa Indonesia di sekolah menengah pasti mengenal Anak Agung Pandji Tisna. Namun dalam pelajaran itu, Pandji Tisna hanya dikenalkan sebagai sastrawan angkatan Pujangga Baru lengkap dengan judul-judul roman yang ditulisnya seperti ”Sukreni Gadis Bali”.
Sedikit sekali siswa, khususnya di Bali, diajarkan untuk mengenal Pandji Tisna sebagai pengarang yang lahir di Pulau Dewata secara lebih lengkap, misalnya bagaimana proses kreatifnya sebagai pengarang yang juga seorang keturunan raja dan kemudian menjadi raja.
Atau apa saja yang bisa dipetik dari semangat kepengarangannya atau apa sumbangannya bagi perkembangan sastra modern di Bali?
Padahal ditilik dari sudut sejarah sastra, Pandji Tisna sangat layak dipelajari secara lebih rinci terutama sebagai pemicu bagi berkembangnya iklim penciptaan karya-karya besar di Bali. Apa saja yang layak dipelajari dari Pandji Tisna?
Pengarang yang hidup sezaman dengan Sutan Takdir Alisyahbana, Armin Pane, Sanusi Pane, dan lain-lain ini lahir 11 Februari 1908. Ia meninggal 2 Juni 1978 di tempat peristirahatannya di kawasan wisata Lovina.
Ia pengarang besar dari Bali yang melahirkan roman-roman besar seperti ”Ni Rawit Ceti Penjual Orang” (1935), ”Ni Sukreni Gadis Bali” (1936), ”I Swasta Setahun di Bedahulu” (1937) dan ”I Made Widiadi dan Kembali Kepada Tuhan” (1957).
Karena kebesarannya itulah ia layak diperingati atau dikenang secara istimewa. Apalagi, selain sebagai sastrawan, Pandji Tisna juga dikenal sebagai peletak dasar-dasar dunia pariwisata di Buleleng, Bali, dengan membangun kawasan Lovina.
Namun, tampaknya di Bali, Pandji Tisna tidak sepopuler yang kita bayangkan. Orang-orang di Bali praktis mengenal Pandji Tisna hanya dalam buku-buku pelajaran sastra di sekolah menengah. Tentu saja, karena Bali sendiri sepertinya tak begitu bangga memiliki Pandji Tisna.
Meski karyanya tetap dibaca oleh siswa dan penikmat sastra di Indonesia bahkan dunia, ternyata di Bali terutama di Buleleng namanya tak pernah diabadikan dalam prasasti apa pun. Secara fisik, tak ada gedung sastra atau gedung kesenian yang bernama Gedung Pandji Tisna. Tak ada patung Pandji Tisna di ruang publik mana pun di Bali. Konon ada jalan bernama Jalan Panji Tisna, namun itu jalan kecil yang tak mudah dikenal orang.
Sebagai seorang tokoh yang layak dicacat dalam sejarah perkembangan sastra modern di Bali, Pandji Tisna juga tak pernah dielu-elukan oleh sastrawan dan penikmat sastra di Bali dalam sebuah upacara peringatan, sebagaimana yang dilakukan misalnya terhadap penyair Chairil Anwar.
Keluarga Puri Buleleng (Puri Agung Singaraja) sebenarnya pernah beberapa kali membuat acara peringatan kelahiran dan meninggalnya Pandji Tisna, namun acara itu tak memiliki gaung yang luas dan tidak mengesankan sebagai sebuah acara peringatan untuk seorang sastrawan besar yang sudah dimiliki dunia.
Pada peringatan 100 Tahun Panji Tisna, tahun 2008 lalu, kelahiran Pandji Tisna sempat dirayakan dengan pementasan arja doyong dari Gianyar garapan Wayan Dibya dengan cerita yang diolah dari roman ”Sukreni Gadis Bali”.
Tapi acara itu tak semeriah HUT Kota Singaraja yang di dalamnya sekaligus juga untuk mengenang raja besar sekaligus pendiri Kota Singaraja, Anglurah Pandji Sakti. Jika Pandji Sakti sangat dibanggakan dalam sebuah perayaan besar, tentu Pandji Tisna sebagai penerus juga seharusnya berhak dikenang dengan perayaan yang juga besar.
Terlepas dari berbagai kontronversi yang dialamatkan kepada sastrawan tersebut, Pandji Tisna layak mendapatkan penghargaan untuk diperingati secara rutin dalam setiap hari kelahirannya. Karena sebagai penerus silsilah raja-raja di Buleleng, ia menunjukkan sikap kepeloporan dalam upaya-upaya membangun Buleleng (dan Bali) secara modern melalui sastra, pendidikan dan pariwisata. (T)