JANGAN bertanya soal hasil debat Pilkada Buleleng kepada orang Buleleng yang kebetulan lewat di kawasan Desa Pancasari, Selasa 7 Februari sore hingga malam dan Rabu 8 Februari juga pada sore hingga malam. Mereka kemungkinan besar akan marah.
Lha, tentu saja marah. Wong sedang berjuang melewati jalur horor (air, lumpur dan batu memenuhi jalan dan mobil dipaksa nerobok dengan perasaan was-was), masak ditanya soal Pilkada.
Dalam kondisi seperti itu, telat sampai di rumah, telat sampai di tujuan, atau telat bertemu relasi dalam acara makan malam bahkan bukan lagi soal penting. Yang penting itu selamat.
Ini memang ironis. Paradoks. Nungkalik. Bersamaan dengan pertunjukan debat Pilkada Buleleng di hotel mewah di Denpasar, Selasa malam itu, jalan raya Singaraja-Denpasar, tepatnya di wilayah Pancasari, memang kembali diterjang banjir lumpur. Laman-laman facebook pun diisi gambar mobil dan motor “berenang” di jalanan.
Yang menarik, dalam debat Pilkada pada ronde kedua yang disiarkan langsung TV lokal itu, tak sekata pun disinggung soal banjir di Buleleng. Kata-kata yang berseliweran adalah kata-kata yang membosankan semacam pengentasan kemiskinan, penanganan kesehatan, peningkatan pendidikan, peningkatan kesejahteraan, lapangan kerja, pariwisata, ekonomi dan kata-kata lain yang selalu muncul dengan pongah dalam setiap pilkada atau pemilu.
Padahal, jika bencana banjir dan tanah longsor terus-terusan jadi hantu dan selalu menjadi teror menakutkan di Buleleng, jangankan bekerja dan sejahtera, beranjak keluar rumah pun warga berpikir seribu kali.
Lihatlah, selama masa kampanye sejak akhir 2016, media massa sepertinya banyak dihiasi berita dan foto tentang banjir, tanah longsor dan angin ngelinus. Berita-berita itu bersaing dengan berita kampanye dari dua pasangan calon, Dewa Sukrawan/Dharma Wijaya dan Agus Suradnyana/Sutjidra.
Banjir fenomenal terjadi di kawasan wisata Pemuteran, Gerokgak, Disebut fenomenal karena ada seorang warga memasang foto di laman facebook yang kemudian menjadi viral. Foto itu berisi aksi satir – seseorang diving di areal banjir lengkap dengan alat menyelam seakan orang itu sedang menyelam di lautan keruh.
Banjir juga terjadi di sejumlah titik di Kota Singaraja, seperti di Jalan Ahmad Yani bagian barat yang selalu dihiasi cerita pilu dari warga yang mukim di sekitar jalan itu. Titik lain tak usah disebut lagi, karena sudah terlalu sering jadi berita di media massa pada setiap musim hujan.
Banjir di Pancasari bukan sekali ini terjadi. Pada awal-awal masa kampanye Pilkada Buleleng, kawasan yang menjadi jalur utama Singaraja-Denpasar itu sudah sempat diterjang banjir parah.
Seperti biasa yang terjadi kemudian adalah komentar saling lempar tanggung-jawab tanpa menyelesaikan persoalan. Jika ditarik ke belakang, banjir di Pancasari itu memang langganan dan sudah melewati beberapa kali Pilkada, baik Pilkada Buleleng maupun Pilkada Bali.
Yang bikin agak kesal dan menyesal, dalam debat Pilkada berita-berita banjir (meski ditulis dengan sangat satir atau sangat memilukan oleh wartaawn) ternyata tak bisa menjelma dan menyusup sebagai materi pertanyaan, baik dari panelis maupun dari paslon dalam sesi saling tanya-jawab.
Lho, lho, lho, kan tema debat soal pembangunan ekonomi, pariwisata, dan politik, bukan penanganan bencana? Oh, ya, ya, bencana itu selama ini memang kerap dianggap urusan nasib masing-masing, bukan urusan ekonomi, pariwisata, apalagi politik. Tapi, jika banjir jadi langganan, kapan warga bisa bekerja dan meningkatkan taraf ekonomi? Jika banjir terus, bagaimana turis bisa tertarik lewat meski untuk sekadar singgah untuk kencing.
Pada masa kampanye pun tampaknya para paslon Pilkada tak merasa penting untuk menyampaikan program penanganan banjir kepada warga calon pemilih. Kalau pun ada komentar, itu sifatnya insidental karena ditanya wartawan saat terjadi banjir. Setelah banjir reda, wacana tentang banjir tak berarti lagi.
Ini sama seperti lelucon tentang seseorang yang memperbaiki atap rumahnya yang bocor pada saat hujan. Karena jika tak hujan, rumahnya tak dianggap bocor.
Sejumlah pemilik akun di facebook tampaknya sudah geregetan menghadapi banjir langganan di Pancasari. Seorang pemilik akun bahkan tanpa dosa berkomentar di akun temannya yang memposting foto-foto banjir di Pancasari.
“Gimana sih Ahok? Katanya bebas banjir. Panggil Ahok ke sini sekarang,” begitu komentar seorang pemilik akun untuk menanggapi foto banjir di jalur penting itu.
Ahok kita tahu adalah calon Gubernur di Pilkada DKI. Dengan komentar semacam itu pemilik akun mungkin ingin melemparkan semacam sindiran seakan-akan banjir terjadi di wilayah DKI Jakarta dan Ahok dipanggil untuk mengatasinya.
Semua tahu, soal penanganan banjir di DKI memang selalu menjadi wacana dan materi debat dalam Pilkada. Tentu karena ibukota itu memiliki titik-titik rawan yang selalu dilanda banjir. Karena wacana-wacana semacam itulah muncul perdebatan sengit tentang normalisasi aliran sungai, pembangunan waduk, atau pembuatan sodetan.
Dari debat itu pun muncul kosa kata yang tak asing lagi selama masa kampanye dan masa debat, seperti penggusuran, rumah susun, digeser bukan digusur, rumah terapung, dan membangun tanpa menggusur. Semua kosa kata itu muncul karena para paslon memang serius menjabarkan program penanganan banjir. Dari semua itu, warga pemilih bukan hanya dengan mudah bisa menentukan pilihan, tapi juga mendapatkan pelajaran tentang banyak hal.
Di Buleleng, bukankah banjir yang kadang disertai tanah longsor, sudah bisa dianggap teror yang datang setiap hujan deras? Kenapa masalah itu seakan tak layak diperdebatkan dengan serius, dan seakan hanya cukup jadi keluh-kesah, caci maki dan sindir-sindiran? (T)