15 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Puisi yang Gagal Membuat Pembacanya Bahagia – Ulasan Buku Puisi Andy Sri Wahyudi

I Made AstikabyI Made Astika
February 2, 2018
inUlasan
10
SHARES

#Judul buku: Energi Bangun Pagi Bahagia #Penulis: Andy Sri Wahyudi #Penerbit: Garudhawaca Yogyakarta #Tahun Terbit: Juni 2016

TERUS terang, membaca puisi-puisi Andy Sri Wahyudi di dalam bukunya Energi Bangun Pagi Bahagia saya tidak menemukan kebahagiaan apa pun. Bahkan, boleh dikatakan saya justru kehabisan energi ketika membacanya. Melelahkan. Padahal, menurut Andy sendiri “tugas pemimpin adalah membuat rakyatnya bangun pagi bahagia”. Saya sebagai salah satu rakyatnya merasa tidak bahagia. Jika batasan “bahagia” adalah terbebas dari segala yang menyusahkan, (maka) ke-57 puisi dalam antologi itu malah benar-benar menyusahkan saya.

Betapa tidak, sampai pagi tadi kening saya ini mengkerut memikirkan apa sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh penyair kelahiran Yogyakarta itu. Ketika kening saya mengkerut itu artinya saya tengah berpikir keras dan ketika seseorang sedang berpikir keras sesungguhnya ia sedang jauh dari dunia ke(bahagia)an. Tugas saya berikutnya adalah memikirkan apa kira-kira yang menyebabkan puisi-puisi Andy kebanyakan menguras energi saat saya membacanya? Setelah dibaca dengan saksama, berikut akan saya tawarkan beberapa alternatif penyebabnya.

Pertama, keutuhan/kesatupaduan (unity) puisi-puisinya longgar. Kelonggaran ini memungkinkan timbulnya puisi-puisi absurd. Absurditas itu disebabkan oleh ketiadaan batas lagi antara yang nyata dengan yang imajiner, manusia dengan hewan dan tumbuhan, benda-benda alam dengan benda-benda kebudayaan. Ruang-ruang kosong dalam puisi-puisi tersebut terlalu lebar bahkan banyak. Jika puisi terlalu lebar memberi ruang-ruang kosong baik antarkata, antarlarik, antarbait, kemungkinan keutuhan puisi tidak akan terjaga.

Keutuhan itu menyangkut hubungan yang erat dan logis antarberbagai unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa-peristiwa dan keseluruhan pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan. Keutuhan juga semacam benang merah yang menghubungkan bebagai aspek cerita sehingga seluruhnya dirasakan sebagai satu kesatuan yang utuh dan padu.

 

berapa jarak kesepian dari hidupmu?

puntung-puntung kretek menggambar sejarah di setiap malam

dongeng-dongeng menggenang di secangkir kopi.

malam ini ada yang lupa

pada kekasih yang manja

ke mana hati ini berlari?

….

(Titik-titik Air)

 

Televisi tak pernah mengajariku merasakan cinta

Burung-burung dan serangga hanya mengajariku berbisik

Aku menertawai rindu yang mulai menari-nari di rubuhku

Rindu adalah antagonis yang manis

….

(Berani Patah Hati)

Secara sintagmatik, hubungan antarkata dalam puisi di atas boleh dikatakan padu. Namun, secara paradigmatik, hubungan antarlarik pada kedua puisi di atas tidaklah utuh, bahkan tidak padu. Inilah yang saya maksud ruang-ruang kosong itu terlampau longgar. Hubungan antara jarak kesepian dengan puntung kretek dengan dongeng-dongeng sangatlah lebar. Pun berlaku sama pada hubungan televisi-cinta dengan burung-berbisik dengan rindu-tubuh dengan rindu-manis.

Puisi-puisi semacam ini benar-benar mengingatkan saya kepada puisi-puisinya Afrizal Malna. Jika Chairil Anwar menggali kata hingga akarnya untuk membangun makna, Sutardji Calzoum Bachri membebaskan kata dari makna, (maka) Afrizal menganggap kata tidak penting dalam proses penciptaan makna, yang penting adalah relasinya dalam struktur (Gaus, 2014). Kutipan ini akan membela kelemahan atas kelonggaran kepaduan puisi-puisi di atas. Itu berarti kita akan memperoleh makna puisinya manakala kita mampu menembus relasi-relasinya dalam strukturnya yang serba berjarak itu.

Yang dapat membahagiakan ketika orang membaca puisi adalah hanya satu hal yakni saat mampu melakukan penghayatan yang intens terhadapnya. Namun, sebagaimana yang dikatakan oleh Riffatere puisi selalu menyatakan sesuatu secara tidak langsung, mengatakan sesuatu dengan maksud yang lain. Di sinilah letak susahnya pembaca. Jalan satu-satunya agar mampu menangkap maksud sebuah puisi adalah dengan melakukan pembacaan berlapis.

Ini memang pekerjaan yang berat. Pembacaan heuristik menghasilkan arti sajak berdasarkan konvensi bahasa belum sampai kepada makna puisi. Dengan kata lain, pembacaan itu baru sebatas pembacaan harfiah (denotatif) atau kebanyakan menyebutnya makna di dalam kamus. Pembacaan semacam ini bisa dicontohkan sebagai berikut.

 

Energi

sri, jika hidup hanya diam dan sudah tak terkatakan

jangan hiraukan suara mesin atau suara Tuhan

guncanglah!

 

Bagi saya, pertanyaan pemandu dalam pembacaan heuristik adalah “apakah itu…?”. Dengan demikian kita bisa bertanya “apakah itu sri?”, “apakah itu jika?”. “apakah itu hidup?”, dan seterusnya. Intinya adalah mencari arti dari masing-masing kata yang ada di dalam puisi. Pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan berdasarkan konvensi sastra.

Artinya, sebuah sajak diinterpretasikan melalui pemahaman kata dari makna konotatif dan ketidakberlangsungan ekspresi yang sengaja dilakukan oleh penyair. Pembacaan hermeneutik ini membuat puisi dapat dipahami maknanya secara keseluruhan. Dengan demikian, selain “apakah itu…?” akan diperlukan pertanyaan pemandu tambahan dalam memahami seluruh konstruksi kata dalam puisi yaitu “mengapa…?”. Kita kemudian bisa mempertanyakan “mengapa sri?”, “mengapa hidup?”, mengapa guncanglah?, dan seterusnya.

Kedua, puisi-puisi Andy tidak mementingkan metafora (idiom/ungkapan). Padahal, puisi-puisinya memperlihatkan prinsip bahwa apa saja bisa masuk ke dalam puisi. Kata-kata tidak diseleksi secara ketat. Kata-kata yang sebelumnya tidak mengandung muatan puitis kini menjadi bebas bertebaran dalam puisi seperti kue tart, cumi goreng, jajanan pasar, televisi, sekolah, ekonomi, buah tomat, sapu lidi, kemoceng, dll. Bahkan, masih ada ungkapan yang terbaca klise seperti ufuk timur, fajar menyingsing, menggunung, lembaran hidup, dll.

Ketidakketatan itulah yang mungkin menjadi penyebab metafora pada puisi-puisi itu lemah.Tradisi puisi pada zaman Chairil ditandai dengan penjagaan ritmis puisi dengan persajakan yang terpelihara ketat, dengan asonansi dan aliterasi yang terjaga, serta dengan simbol-simbol bunyi yang dibangun dengan konsisten. Dengan irama-irama semacam itu, puisi-puisi sezaman Chairil mampu membangun suasana; liris.

Kebanyakan puisi-puisi Andy menggunakan “tanya” di dalamnya. Sudah tentu, jenis kalimat tanya yang dipakai adalah tanya yang retorik. Artinya penyair tidak sedang butuh jawaban berupa informasi, penjelasan, klarifikasi, atau konfirmasi atas apa yang disampaikan dalam puisi-puisinya.

 

di manakah jam dinding?

apakah ini diam?

apakah sudah makan cumi goreng atau ikan bakar hari ini?

siapakah yang membunuh rindu?

kamu di mana?

apakah kita sudah tersenyum untuk semua anak manusia, untuk hutan, untuk musim panen dan televisi?

di manakah ibu swasti bersekolah?

apakah padipadi bisa tertawa seperti aku ibu?

 

Segala bentuk tanya semacam itu mengimplikasikan bahwa puisi-puisi tersebut tidak hanya sedang mendeskripsikan sesuatu tetapi juga berusaha membangun dialog-dialog pemikiran/perenungan. Memang, puisi Andy bukan hanya sebagai puisi-puisi yang kontemplatif, melainkan juga puisi komunikatif. Salah satu kontemplasi yang dimaksud diwakili oleh puisi yang berjudul “?” sebagai berikut.

 

?

Bu guru, mohon terangkan bagaimana sejarah perasaan

manusia itu?

 

Bila puisi kontemplatif menyangkut hubungan antara subjek-objek, dalam puisi komunikatif yang terbangun adalah hubungan antara subjek-subjek. Kedua hubungan itu dibangun dalam puisi, saling mengisi. Namun, di sisi lain ada kemungkinan disebut puisi-puisi ini disebut sebagai puisi empirik yang kontemplatif. Alam empirik memegang peranan penting dalam puisi-puisi Andy. Rata-rata berbicara sekitar alam sekitar; lingkungan alam, yang mampu ditangkap secara indrawi.

Berbagai hal yang ada di alam, terutama benda-benda menjadi detail penting dalam puisi-puisinya. Konsisten memasukkan benda-benda ke dalam puisinya tanpa harus mempertimbangkan bunyi estetikanya. Kata-kata benda dengan leluasa masuk tanpa beban bunyi yang dapat menimbulkan rima dalam larik atau antarlariknya. Jika boleh dikatakan puisi-puisi yang ditulis tidak terlalu memainkan bunyi-bunyi bahasa. Ini dimungkinkan oleh penangkapan penyair terhadap fenomena-fenomena yang ada di sekitarnya apa adanya.

Jika asas estetika penyair tahun 70-an yaitu kata adalah representasi dari dunia pengalaman bukan dunia gagasan atau dunia sistem yang serba abstrak, homogen, monoton, suci, dipakai sebagai dasa dalam menentukan kualitas puisi-puisi dalam antologi itu pasti akan gagal. Dunia pengalaman merupakan dunia yang konkret, heterogen, variatif, unik. Seberapa jauh kata-kata yang digunakan dalam puisi dapat membawa kita ke dalam dunia pengalaman, dan sudah tentu tidak hanya berusaha memahaminya tetapi juga mengalaminya.

Jika menggunakan perspektif 70-an sebuah puisi yang baik harus memenuhi kesatuan imaji. Jika dalam puisi tidak ada kesatuan imaji maka akan mengganggu proses penyampaian maksud kepada pembaca. Inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan puisi-puisi gelap. Puisi-puisi Andy lebih banyak bergerak dalam dunia pengalaman. Mengajak kita untuk ikut serta dalam segala cerita (yang sekalipun alurnya masih terbata-bata) yang dibangun dalam puisinya. Sekalipun kadang-kadang menggugat di tengah-tengah pencariannya yang serba merenung, serba diam, serba sunyi, serba setia, dan serba rahasia.

Andy tampaknya tidak terlalu banyak bermain di wilayah bentuk (tipografi). Sekalipun mencoba menemukan ‘sesuatu’ di kutub puisi-puisi pendeknya. Tipografi puisinya lagi-lagi (mungkin) kena gesekan Afrizalian, yang lebih condong ke dalam bentuk naratif. Yang menarik adalah, puisi-puisi di halaman pertama hampir semua kata menggunakan huruf kecil.

Lalu, puisi-puisi berikutnya diawali dengan huruf kapital pada setiap lariknya. Saya lebih condong ke “huruf kecil” itu. Jika saja Andy konsisten menulis semua puisi-puisinya (kecuali judul) dengan mengggunakan huruf kecil, bisa jadi ini adalah tawaran yang menarik (khas) pada puisi-puisinya.

 

Memandang Jauh I

: Mando Sariano

 

langit adalah mata hati yang mencintai gunung dan desau angin

di sana kekasih matahari sore sedang duduk bersimpuh,

ia membaca debur ombak yang selalu berbisik lirih:

kita adalah dunia yang terbuat dari bahasa yang sunyi

untuk membuat gelombang yang menjadi.

 

Bandingkan dengan:

 

Regenerasi

Catatan untuk Tunes

 

Ingatan lahir dari benturan kata-kata

Hari ini adalah doa dari masyarakat masa lalu

Dunia adalah api yang dinyalakan bayi-bayi manusia

Dari kepala ke kepala. Dan kita adalah anak-anak api.

Api dunia.

Masa kematangan puisi-puisi Andy sesungguhnya ada pada puisi yang berjudul “Memandang Jauh I” dan “Memandang Jauh II”. Sekalipun kedua puisi ini pendek tetapi kesatuan emosi dan kepadatan maknanya sangat terjaga. Hanya saja, yang paling mengganggu adalah keterangan waktu penulisan puisi tersebut tidak logis. “Memandang I” seharusnya adalah hipogram dari “Memandang Jauh II” tetapi pada kenyataannya puisi kedua lebih dahulu tercipta dibandingkan dengan puisi pertama. Gejala semacam itu tentu menyalahi konsep hipogram karena judul puisi kedua sebagai teks mengeksplisitkan sebagai respons puisi pertama sebagai teks pertama.

Sementara itu, puisi yang belum menemukan “apa-apa” adalah pada puisi “Aku Menggugat kepada Lupa”. Puisi ini memang harus digugat lebih lanjut. Andy mungkin benar-benar sedang “lupa” saat menulis puisi ini. Satu-satunya puisi yang paling panjang tetapi emosinya benar-benar liar, meletup tanpa ada kontrol yang ketat, hanya sebagai etalase satuan linguistik; pajangan kata-kata semata.

Bahwa puisi-puisi Andy memang sedang berusaha membebaskan diri dari tekanan makna kata-kata. Maka wajahlah jika Aprizal dalam pengantarnya menyatakan “puisi yang cenderung membebaskan diri dari teritori makna”. Pembebasannya dilakukan dengan menghilangkan batas-batas antara fiksi dan kenyataan. Semua yang ada dalam jangkauan matanya berhak untuk ikut ambil bagian dalam puisinya. Segala macam formalitas bahasa berusaha untuk dilupakan, bahkan ditiadakan sama sekali.

Hanya saja, dalam menarasikan segala sesuatu yang ada itu terlalu longgar sehingga memungkinkan yang diinginkan ikut terlibat dalam puisinya memiliki imajinasi ke mana-mana. Tak ada jalinan yang mampu mengikatnya. Memang, beginilah kodrat puisi-puisi bergaya posmodern itu. (T)

Tags: Puisiresensi
Previous Post

Bela Rakyat, Padahal Rakyat Lebih Bangga Lihat Mahasiswa Tamat

Next Post

Agus Terburu-buru, Anies Khas Akademisi, Ahok Seperti Bukan Ahok

I Made Astika

I Made Astika

I Made Astika, S.Pd., M.A. adalah dosen di Fakultas Bahasa dan Seni, Undiksha, Singaraja. Ia penulis puisi, esai dan cerpen, dalam bahasa Indoneisa dan Bali. Juga rajin bikin status inspiratif di Facebook. Jika kepo, akun Facebook-nya bernama Astika Tulang Gadang

Next Post

Agus Terburu-buru, Anies Khas Akademisi, Ahok Seperti Bukan Ahok

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

‘Prosa Liris Visual’ Made Gunawan

by Hartanto
May 15, 2025
0
‘Prosa Liris Visual’ Made Gunawan

SELANJUTNYA, adalah lukisan “Dunia Ikan”karya Made Gunawan, dengan penggayaan ekspresionisme figurative menarik untuk dinikmati. Ia, menggabungkan teknik seni rupa tradisi...

Read more

Mengharapkan Peran Serta Anak Muda untuk Mengembalikan Vitalitas Pusat Kota Denpasar

by Gede Maha Putra
May 15, 2025
0
Mengharapkan Peran Serta Anak Muda untuk Mengembalikan Vitalitas Pusat Kota Denpasar

SIANG terik, sembari menunggu anak yang sedang latihan menari tradisional untuk pentas sekolahnya, saya mampir di Graha Yowana Suci. Ini...

Read more

‘Puisi Visual’ I Nyoman Diwarupa

by Hartanto
May 14, 2025
0
‘Puisi Visual’ I Nyoman Diwarupa

BERANJAK dari karya dwi matra Diwarupa yang bertajuk “Metastomata 1& 2” ini, ia mengusung suatu bentuk abstrak. Menurutnya, secara empiris...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati
Kuliner

45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati

SIANG itu, langit Seririt menumpahkan rintik hujan tanpa henti. Tiba-tiba, ibu saya melontarkan keinginan yang tak terbantahkan. ”Mang, rasanya enak...

by Komang Puja Savitri
May 14, 2025
Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila 
Khas

Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

PROJEK Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) di SMA Negeri 2 Kuta Selatan (Toska)  telah memasuki fase akhir, bersamaan dengan berakhirnya...

by I Nyoman Tingkat
May 12, 2025
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co