PERCAYALAH, sukacita Natal sudah tampak sekarang ini. Tidak percaya? Coba kita tengok etalase-etalase mall, betapa banyak pohon terang menghiasi pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan di Kota Denpasar itu, yang jumlahnya kini terus bertambah hingga menyesaki sudut-sudut kota.
Belum juga percaya? Silakan lihat dekorasi-dekorasi dengan ucapan “Merry Christmas” di hotel-hotel atau restaurant yang tumbuh bagai jamur di Bali ini.
Masih juga belum percaya? Coba pejam mata, tarik nafas panjang, tahan selama sepuluh detik, dan hembuskan perlahan, tentu Anda akan merasa rileks, dan ketika Anda rileks, di situlah ada kedamaian. Itulah Natal yang sebenar-benarnya Natal: Perayaan bagi hari kelahiran sang pembawa damai, Yesus Kristus nama-Nya.
Masih belum percaya lagi? Apa boleh buat.
Saya sendiri percaya bahwa Natal sudah dekat, sangat dekat, bukan hanya karena saya tahu bahwa sebentar lagi tanggal 25 Desember, tetapi juga karena istri saya terus menerus mengingatkan saya bahwa sebentar lagi Hari Natal. Ia sumingrah betul menjelang Natal, bukan karena apa, tetapi karena sebentar lagi adalah jatahnya untuk mendapatkan baju baru, sepatu baru, lengkap dengan dandanan yang baru.
“Setahun sekai.” katanya.
Tentu sebagai suami yang mencoba untuk baik, saya akan mengeluarkan segenap kemampuan, tenaga, pikiran dan jiwa saya untuk memenuhi kebutuhan – dan kalau bisa – juga keinginan istri saya itu. Tetapi baik saja tentu belum cukup, sebab apa-apa yang menurut saya baik untuk dilakukan, belum berarti mendatangkan kebaikan di mata istri saya. Begitu pula sebaliknya.
Saya merasa bahwa perempuan begitu rumit, ia mahluk yang pelik, padahal di dalam Alkitab disebutkan bahwa perempuan itu adalah penolong, bukan perongrong.
Dan ketika semua sudah pada puncaknya, pikiran keruh, otak lusuh, tiba-tiba saja saya diigatkan kembali tentang Kasih, sebab adalah keharusan bagi kita semua untuk saling mengasihi, dan dengan kasihlah kita dapat menjalani semua kehidupan.
“Kasihilah Tuhan Allahmu, dan dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri.” (Lukas 10:27)
Ahay, ketika saya diingatkan oleh Firman Tuhan di atas, saya seperti mendapat skak mat. Jleb. Menurut keyakinan yang saya anut bahwa kehidupan itu memang mengacu pada pokok ini. Kasih ini.
Pertama, kasih yang tertuju kepada Tuhan dan selanjutnya kasih yang tertuju kepada sesama manusia. Dalam keseharian tentu saja saya selalu dihadapkan oleh persoalan-persoalan juga kesulitan hidup. Kesulitan-kesulitan hidup itu selalu menyerang saya sehari-hari layaknya pertandingan bola ketika Timnas Indonesia diserang oleh musuh tujuh hari tujuh malam. Musuh serang terus, saya panas terus…
Tetapi sejatinya, apakah saya memang pernah benar-benar memiliki musuh? Siapa musuh saya?
Apakah seseorang yang begitu jahat sehingga timbul kebencian dan kepahitan yang mendalam di dasar hati? Lalu apa yang harus saya lakukan apabila seseorang yang berbuat jahat, meminta bantuan kepada saya, dan apakah saya siap tulus membantu?
Jawaban dan tindakan saya atas semua pertanyaan ini adalah refleksi diri saya: apakah kasih Yesus Kristus telah tertanam, bertumbuh, dan berbuah di dalam pribadi saya?
Oleh sebab itu, saya memilih untuk mengasihi saja, sebab Tuhan sudah jauh lebih dulu mengasihi saya dan semua manusia di muka bumi ini. Saya memilih untuk mengasihi saja sebab
“kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak dopan dan tidak mencari keuntungan sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.” (1Korintus 13:4-6)
Inilah Natal yang sesungguhnya: mengasihi. Sebab kasih mampu mendatangkan damai sejahtera bagi kehidupan kita semua. Sekarang, percayalah, Natal sudah dekat. Selamat Natal dan menjelang Tahun Baru. Salam kasih. (T)