“Kenapa kita di sini?”
SEBUAH pertanyaan klasik yang telah tergerus zaman dan tak dihiraukan lagi. Sebagian besar orang akan menertawakan pertanyaan itu. Tapi tak akan ada yang bisa menjawabnya. Dari zaman filsuf Yunani, seperti Plato, Socrates, Aristoteles dan lain sebagainya, hingga zaman digital ini pertanyaan itu tetap tidak akan memiliki jawaban sempurna.
Kehidupan semakin kompleks. Kebutuhan hidup semakin banyak. Ambisi manusia semakin luas. Semua itu membuat umat manusia melupakan pertanyaan itu. Pertanyaan mendasar sederhana namun yang tak akan bisa terjawab.
Konflik dan bentrok tak ada habisnya, bahkan untuk masalah-masalah sepele. Siswa sudah merasa hebat dan merasa tak memerlukan guru lagi. Pejabat sudah terlena dengan sistem yang membebaskan mereka mengambil uang tanpa bekerja. Anak muda sudah mulai meragukan eksistensi mereka saat melihat jumlah like yang sedikit pada foto yang baru saja mereka unggah di media sosial. Pemuka agama tidak lagi mengemukakan agama, tetapi justru kepentingan manusiawinya. Yang benar ditindas, yang salah dimuliakan.
Kaliyuga.
Ya, kaliyuga. Begitulah orang Bali menyebutnya. Saat saya masih kecil saya pikir itu hanyalah bualan dan gertakan belaka. Namun seiring tumbuh dewasa, saya merasakannya dan itu memang benar terjadi. Semuanya dibalik-balik. Tidak ada lagi common sense, akal sehat. Akal sehat sudah tidak berlaku lagi.
Apakah Anda pernah berpikir bahwa hari kiamat adalah hari di mana komet besar menghantam Bumi? Ataukah hari di mana alien menginvasi planet kita? Ataukah hari di mana terjadinya badai matahari? Atau mungkin Anda percaya dengan kiamat yang disebabkan oleh zombie? Atau apakah anda berpikir kiamat terjadi karena wabah penyakit yang tak bisa disembuhkan?
Di antara semua kemungkinan penyebab kiamat ada satu kemungkinan lain: kiamat karena manusia kehilangan akal sehat. Kemungkinan punahnya manusia karena kehilangan akal sehat sudah pernah difilmkan pada tahun 2006.
Film berjudul “Idiocracy” menceritakan dua tokoh utamanya bangun dari hibernasi panjang selama 500 tahun dan melihat peradaban manusia yang mengalami degradasi mental. Yang ada hanyalah budaya-budaya orang-orang bodoh, dungu dan malas. Semua orang memiliki IQ rendah. Tidak ada lagi keingintahuan intelektual, tanggung jawab sosial dilupakan sepenuhnya, keadilan dan hak manusia pun sudah tak berlaku lagi. Akal sehat sudah punah.
Atas dasar inilah saya sedikit mendukung masyarakat Jepang yang cenderung memilih untuk tidak menikah dan tidak ingin punya anak. Untuk apa menciptakan generasi baru, jika Bumi ini hanya akan semakin teracuni? Bahkan ada sebuah gerakan bernama Voluntary Human Extinction Movement, atau secara harfiah berarti gerakan kepunahan manusia secara sukarela.
Dalam pandangan gerakan ini, tujuan untuk tidak mereproduksi manusia lagi adalah untuk mengurangi degradasi lingkungan. Dan diterima atau tidak, saya rasa tingkat kerusakan lingkungan memang berbanding lurus dengan jumlah populasi manusia.
Bumi ini rusak. Manusia yang hidup di dalamnya sebenarnya dihukum.
Hidup tak karuan. Terbebani masalah pekerjaan. Terbebani masalah keluarga. Terlilit hutang, anak-anak terlantar. Sakit hati ditinggal pacar. Beban berat menyelesaikan skripsi. Lalu gantung diri. Semuanya menyebalkan. Semuanya adalah masalah. Hidup di Bumi ini adalah hukuman. Lalu untuk apa hidup jika hanya untuk menjalani hukuman?
Itu hanyalah salah satu cara pandang terhadap kehidupan.
Hidup juga bisa dipandang sebagai hadiah. Manusia yang hidup di Bumi ini adalah para pemenang.
Hidup adalah sebuah kesempatan yang diberikan kepada manusia untuk dimanfaatkan sebaik mungkin. Sang pemenang diberikan kesempatan untuk mengecap segala karunia Tuhan. Mulai dari segala pengalaman berharga, kebersamaan dengan orang-orang terkasih dan kemampuan merasakan cinta. Kemampuan menikmati tempat-tempat indah di seluruh pelosok dunia. Semuanya itu adalah keistimewaan manusia hidup. Hanya manusia yang hiduplah yang mampu menikmati segala keindahan itu.
Sudah ada banyak orang yang sadar akan hal ini, dan saya yakin semakin lama akan semakin banyak yang sadar akan keindahan Bumi dan semuanya akan kembali ke akal sehat mereka. Semakin kita sadar, akan semakin sedikit konflik dan bentrok antar agama, semakin berkurang siswa yang tidak menghormati gurunya, akan berkurang pejabat yang korup, semua pemuda tak akan mempedulikan media sosial mereka karena mereka tahu bahwa keberadaan dirinya tak perlu dibuktikan dengan jumlah like, dan para pemuka agama akan kembali ke akal sehat mereka dan mengajarkan agama dengan cara yang sepatutnya.
Hanya butuh kesadaran. Kesadaran yang dipicu dengan cara belajar seumur hidup. Belajar tanpa henti, baca buku setiap hari, cari pengalaman positif sebanyak-banyaknya.
Hanya butuh kesadaran dan keingintahuan untuk menjawab pertanyaan “Kenapa kita di sini?”
Apakah kita adalah orang-orang yang dihukum untuk menjalani kehidupan sulit yang penuh masalah? Atau apakah kita merupakan para pemenang yang dihadiahi kesempatan untuk merasakan kenikmatan hidup yang tak terbatas dalam harmoni dan kedamaian?
Dalam mitologi Yunani terdapat istilah “Era Keemasan” di mana kedamaian, keharmonisan, kestabilan dan kesejahteraan hidup pada suatu masa terjadi. Di masa ini, manusia hidup hingga masa tua dan pada akhirnya meninggal dengan tenang. Saat itu semuanya stabil, tidak seperti masa ini. Tapi era keemasan itu bisa kita wujudkan kembali jika kita semua sepakat untuk sadar dan kembali ke akal sehat kita.
Hentikan Kaliyuga bersama-sama.
Dari sekian jenis makhluk di Bumi ini, hanya manusia hidup saja yang mampu merasakan kesedihan dan kebahagiaan. Hanya manusia hidup saja yang mampu memutuskan untuk memilih perasaan yang mana.
Hanya satu dari sedikit kesadaran saya yang sederhana. Semoga tidak ada yang tersinggung. Ambilah manfaatnya dan lupakan hal yang tidak penting. Semua orang tujuannya baik.
Salam Damai 😀