BELAJAR dari figur dan tokoh perempuan, itulah barangkali pesan utama dari buku kumpulan cerpen berbahasa Bali terbaru I Made Suarsa, “Luh-Luh”. Buku ini memuat 19 cerpen yang kesemuanya berkisah tentang perempuan, dari perempuan dewasa, ibu-ibu, hingga tokoh perempuan anak-anak.
Sebagai seorang penulis, Made Suarsa tergolong sangat produktif. Sudah ada lima buku kumpulan cerpen berbahasa Bali yang lahir dari tangannya, yakni Gde Ombak Gde Angin (2007), Merta Matemahan Wisia (2008), Nguntul Tanah Nulengek Langit (2013), Calonarang (2015), dan terakhir Luh-Luh (2016). Dosen Sastra Indonesia Universitas Udayana ini juga menulis puisi Bali anyar yang terangkum dalam kumpulan Ang Ah Ah Ang (2005), Gunung Menyan Segara Madu (2005), Kunang-Kunang Anarung Sasi (2007), Kama Bang Kama Putih (2011).
Karya-karya Made Suarsa lainnya berupa Geguritan Sastrodayana Tattwa (2002), Geguritan Udayanatamotattwa (2002), Geguritan Pura Dalem Petasikan (2002), Geguritan Sakuntala (2002), Geguritan Kebotarunantaka (2005), Geguritan Madya Pratama Sadutama (2006), Geguritan Ken Arok Ken Dedes (2008), Geguritan Kanakaning Kanaka (2008), Geguritan Sandhyakalaning Majapahit, Geguritan Dharma Tattwa (2013), Kidung Tantri (2013), Geguritan Siwaratri (2014). Ada juga beberapa buku lain, Amanat Geguritan Purwa Sengara (1985), Orang-orang di Sekitar Pak Rai (1995), Prastanika Parwa Lan Swargarohana Parwa (1999), Oka Susharana: Pendidik Pejuang Pejuang Pendidik (2001), dan Teks, Konteks, Konteks (2008).
Di luar aktivitas tulis menulis dan mengajar, Made Suarsa juga sangat aktif dalam peshantian. Ini terbukti dengan begitu banyaknya sekaa shanti yang menjadi binaannya. Penulis kelahiran Gelulung, Sukawati 15 Mei 1954 ini bisa dikatakan memiliki keahlian yang lengkap. Sangat produktif di Sastra Bali Modern dan juga menguasai sastra tradisional. Perkawinan dua bidang sastra Bali ini sering tampak dalam karya-karyanya.
Eksperimen, Artis, dan Infotainment
Buku kumpulan cerpen “Luh-Luh” terlihat seperti sebuah proyek eksperimen bagi Made Suarsa. Kesembilan belas cerpen dalam buku ini menghadirkan tokoh perempuan sebagai tokoh utama cerita dan menggunakan nama tokoh sebagai judul. Menariknya 12 dari 19 cerpen tersebut, jika diperhatikan dari nama tokoh dan cerita yang tersaji berasosiasi dengan para artis yang sering muncul di televisi, baik bintang film, penyanyi maupun komedian.
Keterkaitan itu makin terlihat dengan adanya ilustrasi yang mirip sekali menggambarkan sosok si artis yang dimaksud. Ini berarti pembacaan pertama yang dilakukan oleh sang ilustrator juga tak menampik adanya kaitan kisah-kisah dalam cerpen ini dengan kisah-kisah para artis atau pun tokoh-tokoh terkenal.
Bagi pembaca yang senang menonton acara infotainment di televisi atau mengikuti gosip artis-artis dan tokoh terkenal, pasti akan dengan mudah mengenali sepenggal kisah hidup siapa yang dihadirkan oleh penulis dalam tiap cerita. Tentu saja penulis tak bermaksud ikut-ikutan bergosip atau sekadar menampilkan kisah orang terkenal dengan nama yang disamarkan, ada pelajaran yang hendak disampaikan dalam kisah-kisah tersebut. Penulis juga berusaha keras mem-Bali-kan tokoh-tokoh tersebut, menuliskan kisah-kisah mereka dalam bingkai kehidupan orang Bali yang tak segemerlap dunia keartisan di ibukota Jakarta.
Cerpen Luh Enji, pembuka buku ini, dengan cepat mengingatkan pada sosok Angelina Sondakh. Menang kontes kecantikan, menjadi terkenal, menikah, menjadi anggota DPR, ditingal meninggal suami, lalu dibui karena korupsi. Dalam cerpen ini Luh Enji digambarkan sebagai anak pasangan petani miskin di desa, yang kemudian memenangi ajang adu kecantikan, menetap dan mendapat kedudukan di kota, menikah dengan orang yang juga punya kedudukan, sebelum ditinggal mati suami, lalu dipenjara karena menerima suap dan menggelapkan uang. Mirip bukan?
Simak lagi cerpen-cerpen berikut, Luh Tingting (hal. 13), Luh Nia (hal. 19), Luh Yuni (hal. 25), Luh Keket (hal. 31), Luh Mano (hal. 43), Luh Tari (hal. 49), Luh Iis (hal. 61), Luh Tessy (hal. 67), Luh Cita (hal. 79), Luh Niki (hal. 103), Luh Widya (hal. 109). Kesemuanya berasosiasi dengan kehidupan para artis. Sekali lagi yang rajin menonton infotainment dan mengikuti kehidupan para artis akan dengan mudah mengenali nama-nama modifikasi atau boleh dikata nama hasil kreativitas penulis itu. Nama-nama tokoh itu memperlihatkan Made Suarsa seolah sedang bermain-main dan memasukkan unsur-unsur humor.
Selain dari kalangan artis, ada juga cerpen yang terinspirasi dari tokoh terkenal seperti dalam Luh Susy (hal. 73). Tokoh ini mirip dengan sepak terjang Menteri Perikanan dan Kelautan saat ini, Susy Pudjiastuti. Luh Susy diceritakan sebagai anak nelayan yang hanya tamatan SMP namun berhasil membantu meningkatkan kehidupan para nelayan di pesisir dengan membangun paguyuban pedagang ikan. Paguyuban ini berkembang pesat dan Luh Susy dilamar untuk menjadi pimpinan Koperasi Mina Se-Bali.
Cerpen Luh Nyoman (hal. 91), tampaknya terinspirasi dari kisah sukses pemilik Toko Nyoman, yang merupakan salah satu toko tekstil terkenal di Bali. Meskipun sukses, Luh Nyoman Sukini digambarkan sebagai sosok yang pemaaf dan murah hati terhadap sesama. Dia tidak mendendam meskipun sempat diperlakukan tidak adil oleh petugas saat masih berdagang keliling dulu.
Cerpen lain, Luh Enjaline (hal. 97) terinspirasi dari kematian tragis Enjeline yang sempat menggemparkan Bali pada pertengahan tahun 2015. Cerpen ini terasa sangat realis dan menunjukkan Made Suarsa mengikuti perkembangan berita di media. Kepekaan pengarang terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi juga terlihat dari cerpen Luh Dolly (hal. 37). Berlatar penutupan lokalisasi PSK di Gang Dolly Surabaya, cerpen ini boleh dikatakan sebagai cerpen realis yang paling berhasil dalam kumpulan ini. Kejutan muncul tatkala kepindahannya ke Bali ternyata bukan berakhir sebagai PSK, melainkan membukakan pintu taubat. Dia menikah dengan orang Bali dan menjadi warga Bali yang sangat taat.
Sebaliknya ketika membaca cerpen-cerpen yang berkaitan dengan artis, muncul kebingungan antara melihat kisah itu sebagai penggalan kisah para artis ataukah sebagai sebuah cerita utuh yang berdiri sendiri. Seberapa pun usaha penulis untuk mem-Bali-kan tokoh-tokohnya, ataupun kisah-kisahnya, bayangan atau imaji akan kisah-kisah orang-orang terkenal tersebut terus saja muncul. Memang pembaca akan dengan mudah menikmati, mengidentifikasi tokoh dalam cerita sebagai artis ini artis itu, atau tokoh ini tokoh itu, tapi di saat bersamaan kebosanan pun datang.
Layaknya menonton infotainment di televisi, artis datang dan pergi, muncul lalu tenggelam, meledak sesaat, terkenal lalu senyap, begitulah kisah-kisah dalam buku ini. Seringkali cerita dituturkan dengan sangat cepat, kurang detail, dan terburu-buru. Andai kata cerita itu tidak tertolong oleh kisah artis yang sudah terlanjur terkenal, dan dikenali pembaca, meragukan cerita tersebut dapat dibaca sebagai satu kisah yang utuh. Cerita yang memang cerita. Barangkali halaman membatasi penulis karena bagaimana pun sebelum terbit sebagai sebuah buku, semua cerpen sudah pernah dimuat di dua media berbahasa Bali, Bali Orti (Bali Post) dan Mediaswari (Pos Bali).
Entah ini memang proyek dari awal, atau proyek yang tak disengaja namun kebetulan terkumpul cerpen yang seragam dalam tema (berkaitan dengan artis), alur cerita dan gaya bahasa dalam kumpulan ini pun nyaris seragam. Tidak ada kebaruan teknik bercerita, dan sulitnya menemukan kejutan. Asosiasi dengan kehidupan para artis terkenal benar-benar seperti dua sisi mata uang. Memudahkan pembaca membangun imaji di satu sisi, sekaligus menjadikan cerita gampang ditebak dan mematikan imaji itu sendiri. Seperti tak bisa menahan diri untuk mengatakan di setiap usai membaca, “Oh hanya begitu”.
Jika cerita tersebut dibaca sebagai cerita utuh, mengesampingkan kaitan dengan kehidupan para artis, sebagian besar tokoh dalam kumpulan ini memiliki keseragaman profesi, yakni sebagai pregina (penari) atau penyanyi. Dua profesi itulah yang mendominasi cerita dan menimbulkan kejenuhan. Disini tampak usaha mem-Bali-kan tokoh-tokoh tersebut menimbulkan kontradiksi terhadap realitas, seperti ada kesan dipaksakan. Memang, cerita tak harus sama dengan realitas, cerita bisa apa saja, namun tetap saja ada unsur-unsur logika yang harus diperhitungkan. Apalagi realitas dunia hiburan di Bali tidaklah segemerlap dunia hiburan di ibukota Jakarta.
Sebagai contoh cerpen Luh Keket, yang seperti mirip dengan artis Chaterine Wilson, digambarkan sebagai seorang penari andal dan terkenal. Saking terkenalnya Luh Keket diundang menari ke seluruh pelosok negeri dengan upah tinggi. Sampai suatu ketika dia mendapatkan kiriman uang dalam jumlah besar yang ternyata hasil pencucian uang dan ditangkap polisi. Cerita ini tampak sedikit dipaksakan dengan kasus pencucian uang yang sempat ramai diberitakan bila kita tidak mengaitkannya dengan kisah hidup Chaterine Wilson.
Erotisme, Pelajaran, dan Khotbah
“Yadiastun makakalih batisnyané lumpuh, mampuh kukuh I Gdé Suka ngipuh ikuh, malabuh gentuh, ngruruh linuh bukit runtuh, iluh aduh-aduh duuh-duuh makrécékan peluh, malih nengkluk malih matajuh, ngandang-nganjuh, lingkah-lingkuh, kantos lepah-lepuh, munyiné ngacuh, saah-sauh kadi rauh, ten nawang kangin kauh, during taler tabuh labuh ring bibih sibuh jepit taluh, uyak tebu tuh, séla kutuh, wong pusuh, macukang kepah kalawan kepuh, nyikiang mantri kalawan galuh. Makudang dauh, “Patih Taskara Maguna”, tuyuh ngucek ngruek nebek matikel sapuluh “Rangda” manyonyo waluh kantos gragah gruguh wawu pacentokan “Calonarangé” nanjek mupuh…”
Petikan di atas diambil dari cerpen Made Suarsa berjudul Calonarang dalam kumpulan Calonarang (2015). Buku ini berisi 16 cerpen dari Calonarang 1 sampai Calonarang 16, yang bertebaran adegan “Nyalonarang”. Sejak itu istilah “Nyalonarang” untuk menggambarkan erotisme pertemuan laki dan perempuan di tempat tidur seperti sudah menjadi ciri khasnya. Kecenderungan ini juga bisa dijumpai dalam beberapa cerpen di kumpulan “Luh-Luh”, seperti dalam Luh Tingting, Luh Yuni, Luh Tari, dan Luh Iis.
Berbeda dengan Calonarang, porsi erotisme kini jauh berkurang. Dalam cerpen Luh Tari misalnya erotisme digambarkan ketika Gdé Namah tak mampu melanjutkan hubungan suami istri karena teringat dengan perilaku Luh Tari berselingkuh dengan Pan Péter. Barangkali pembaca akan cepat mengingat artis mana yang diceritakan dalam kisah ini. Di sini erotisme seperti hadir tepat pada tempatnya dan memang diperlukan. Erotisme tak selalu tabu, tak selalu berarti vulgar dan tak senonoh.
Erotisme yang memang diperlukan laksana pemanis cerita. Namun sebagai sebuah gaya, apalagi ciri khas, jebakan pengulangan amat sangat mungkin menanti. Pengulangan yang terus menerus tak pelak menimbulkan kejenuhan dan kebosanan. Ditambah gaya bahasa yang seringkali menggunakan repetisi, pengulangan kata disana sini, serta pemilihan diksi yang memaksakan perpaduan suara akhir suku kata, membuat narasi menjadi berlarat-larat dan bertele-tele serta mengaburkan fokus cerita.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bagaimana pun Made Suarsa tak bermaksud menjadikan ceritanya seperti tayangan infotainment. Dalam pengantar buku ini jelas dimaksudkan agar pembaca bisa belajar dari tokoh-tokoh perempuan tersebut, mana perilaku yang pantas untuk ditiru dan mana yang tidak. Unsur karmaphala juga sangat terlihat di mana siapa yang berbuat tidak baik akan menerima akibat yang tidak baik pula, begitu pun sebaliknya.
Sebagian besar cerpen menggambarkan banyak perempuan mabuk dengan kecantikan dan memanfaatkan kecantikannya untuk hal yang tidak baik. Keserakahan akan uang dan kekayaan kemudian justru membuat hidup mereka hancur. Banyak perempuan juga tak kuat mengendalikan nafsu dan keinginannya sehingga akhirnya terjerumus.
Pelajaraan akan kesetiaan seorang istri terhadap suaminya yang sudah meninggal bisa dipetik dari cerpen Luh Widya (hal. 109), yang mengingatkan pada pasangan artis Widyawati dan Alm Sophan Sophian. Sementara keberhasilan usaha taubat Luh Dolly dalam cerpen Luh Dolly, sehingga menjadi manusia Bali yang jauh lebih pintar membuat sarana upakara daripada orang Bali asli, adalah sebuah teguran bagi masyarakat yang sering lupa pada budayanya sendiri.
Sayangnya pesan-pesan itu seringkali jatuh pada khotbah atau nasehat yang jelas-jelas tersurat, dan lagi-lagi menimbulkan kesan pengulangan dan keseragaman. Narasi yang terkesan “nasehat” kadang bertebaran baik di tengah maupun di akhir cerita. Tidak salah memang, karena bagaimana pun sastra tak bisa menghindarkan dirinya dari khotbah, baik yang disengaja atau tak disengaja, baik yang tersurat maupun tersirat. Sebagai seorang penulis yang begitu produktif, tetap pantas untuk ditunggu eksperimen dan karya-karya Made Suarsa berikutnya. (T)