SELALU terngiang ucapan Joni Ariadinata ketika meminta cerpen-cerpen saya untuk diterbitkan sebagai buku antologi pribadi. Buku? Wah, apakah sudah saatnya?
Itu tahun 2002. Namun, begitulah, pada tahun 2004, terealisasi 2 buku sekaligus: Senapan Cinta (Penerbit KataKita) dan “Bercinta di Bawah Bulan” (Metafor Publishing). Lalu, di tahun 2005 menyusul 2 buah lagi: Aura Negeri Cinta (Lingkar Pena Publishing House), Kincir Api (Gramedia Pustaka Utrama), dan sebuah novel remaja berjudul Selembut Lumut Gunung (Cipta Sekawan Media). Kini telah terbit 16 buku… satu tahun rata2 2 buku.
Kadang-kadang saya tidak menyangka dengan momentum seperti itu. Mungkin karena banyak uluran tangan sahabat juga yang membuat buku-buku itu lalu menyebar sebagai pemberitaan maupun koleksi.
Saya 20 tahun bekerja di perusahaan otomotif (ATPM) Suzuki Mobil. Sangat beruntung karena saya bertugas pada bagian standarisasi gerai Suzuki seluruh Indonesia yang mengawal pembangunan gedung showroom sejak gambar hingga peresmian.
Setidaknya, rata-rata tiga kali keluar kota dalam sebulan. Setidaknya berkali-kali mengunjungi wilayah-wilayah baru di pelbagai daerah. Saya membiasakan diri, sejak dari bandara sudah mengirim SMS kepada para sahabat sesama penulis (pengarang atau jurnalis). Dengan demikian, mereka dapat mengatur waktu untuk bertemu sekadar saling melepas rindu.
Percaya atau tidak, saat saya keliling daerah, selalu berjumpa dengan tunas-tunas cerita baru. Tak hanya ketika melihat sunset di Pantai Pare-Pare, atau memandangi tamasya ikan di dasar Laut Bunaken melalui katamaran. Bahkan bertemu dengan kawan-kawan sastrawan, jurnalis, dan seniman di daerah, membuat hidup ini sangat berwarna.
Ternyata, ketika ide mampet, mengobrol dengan kawan-kawan itu seperti charging baterai dalam pikiran saya. Dari sanalah ilham mengalir. Tinggal: sempat atau tidak menuliskannya di antara waktu yang padat oleh kegiatan formal kantor? Maka jangan lupa: tulis dalam bentuk judul!
Jadi, mohon jangan menolak jika sewaktu-waktu anda menerima telepon dari saya, hanya untuk sekadar makan malam di TIM, atau sama-sama menikmati sate kambing di Bukafe milik Mas Kiki di Duren Tiga. Tentu tak ketinggalan berusaha hadir pada acara-acara yang digelar Bentara Budaya, PDS HB Jassin, atau Teater Salihara. Entah kenapa, bertemu kawan-kawan sastrawan, baik belia maupun sepuh, otak saya jadi berbinar-binar.
Tak lupa juga, selalu saya panas-panasi para kawan untuk terus menulis. Saya bagi alamat e-mail semua redaktur kepada teman sejawat. Pokoknya, ayo menulis! Agar dunia bacaan kita semakin ramai. Dan tentu akan melahirkan sejumlah buku-buku baru lagi. Jangan pikirkan kusala dulu. Yang penting batin kita puas. Yang penting tulisan kita tetap berkualitas dan diterima sebagai karya yang komunikatif.
Dari satu buku (yang disiapkan demikian lama) ke buku yang lain, pada akhirnya mengalir saja. Itulah yang saya sebut momentum. Dan tak terhindarkan, itu semua atas bantuan campur tangan tulus orang lain. Maka sebaik-baik pengarang (sekali lagi menurut saya, tentu) adalah yang memiliki banyak jaringan, dan saling berkomunikasi secara tulus. (T)
Catatan: Tulisan ini bagian 5 dari 5 tulisan. Untuk melihat semua tulisan, klik nama penulis dalam kolom biodata di bawah