DI tengah rapat kantor, tiba-tiba telepon selular bergetar. “Halo.” Setengah berbisik. “Lagi sibuk?” suara di sana. “Lagi meeting, apa kabar?” Ujung-ujungnya: “Ada stok naskah cerpen, nggak? Buat edisi Oktober, sepuluh hari selesai, ya?” Tentu saya jawab: “Ya.”
Saat menemui tamu vendor yang akan mengerjakan standarisasi showroom, ada SMS masuk. Dari Farick Ziat, redaksi majalah Gadis. “Bisa pesan cerpen tema Ramadan?” tulisnya. “Kapan harus jadi?” tanya saya. “Ditunggu Jumat,” jawabnya. Wow! Ini hari Selasa. Dan itu majalah remaja. Tapi saya jawab: “Oke, saya usahakan.”
Atau: “Punya cerpen Lebaran?” tulis Triyanto Triwikromo dari Suara Merdeka. “Punya, dong. Kapan deadline?” tanya saya. “Hehe, punya stok kok tanya batas waktu… minggu depan, ya.” Mungkin Triwikromo di sana benar-benar tertawa. “Baik. Trims.”
Begitulah jawab saya. Ya! Mengapa tidak? Dengan ucapan ‘ya’, saya yakin ada semacam keajaiban yang bekerja ekstra di seluruh kepala saya. Ada stamina yang mengalahkan semua letih. Judul-judul berlintasan seperti meteor. Adrenalin terpompa ke segala arah.
Tapi, jangan keliru, tentu saya meneruskan pekerjaan dulu sampai selesai jam kantor. Kita harus profesional (wah, belagu ya?). Dengan ucapan ‘ya’, seluruh peri yang beterbangan di udara meniupkan pelbagai gagasan. Nah: “Percakapan Sepasang Peri…” Haha, apakah bagus kedengarannya sebagai judul?
Itulah stimulus yang datang dari luar. Setidaknya, istilah produktif tak hanya digenjot dari dalam diri sendiri. Ada saja yang kemudian meminta cerpen. Dan ada saja majalah atau surat kabar yang ternyata telah lama tidak kita jenguk dengan karya. Mungkin Femina, Lampung Post,Suara Karya, Koran Tempo, atau Media Indonesia … Ya.
Rupanya saya tidak melulu menulis untuk sastra koran. Semua lapisan pembaca saya coba kunjungi. Untuk majalah Story (sekarang sudah tutup) tentu harus cerita remaja. Untuk majalah Kartini, harus disesuaikan dengan usia pembacanya. Begitulah. Saya terus menyambar-nyambar ke pelbagai segmen pembaca. Tidak berdosa, kan? Justru enjoy, sepanjang kita mengamalkan karya cerpen yang baik. Apalagi anak saya sudah tiba usia remaja, saatnya memberi mereka bacaan yang tepat. Menurut saya, tentu.
Walaupun sudah menulis di Jurnal Prosa, Kompas, dan Horison, ternyata saya merasakan kenikmatan yang berbeda ketika mengirimkan naskah ke tabloid milik sebuah radio swasta di Jombang. Saya pikir, mereka yang ada di ujung pulau atau dikepung pegunungan, boleh juga membaca cerpen saya.
Redaksinya menelepon, meminta, dan saya harus menghargai harapan itu. Saya tidak pilih-pilih media, kecuali untuk kesesuaian gaya atau tema cerita. Yang ingin saya pertahankan adalah, bagaimana agar untuk setiap media saya tetap menulis dengan bagus. Kembali lagi: menurut ukuran saya, tentu.
Saya memiliki cara untuk membuat diri saya ‘malu’. Saya selalu membuat target di awal tahun. Misalnya tahun ini saya akan menulis 24 cerpen, 120 puisi, satu novel, 12 esai. Saya tulis dan saya kirim melalui SMS kepada para sahabat ketika tiba tanggal 1 Januari. Dan menjelang Desember, saya mulai menghitung atau mengukur prestasi. Apakah tercapai?
Apa pun hasilnya, saya kirim kembali melalui pesan pendek kepada sahabat yang pernah menerima informasi target di awal tahun. Itu menjadi alat untuk evaluasi diri. Mudah-mudahan para sahabat yang selalu menerima informasi itu tidak bosan. (Bukankah tinggal menekan tombol delete, pesan itu pun terhapus). Nah, seandainya luput terlampau jauh, tentu saya malu pada diri sendiri dan kembali mengejar di tahun berikutnya.
Jadilah perajin! Kata Zen Hae: kita ini hanya si tukang cerita. Boleh jadi demikian. Tetapi, seseorang yang telah memiliki keterampilan teknis seperti Seno Gumira, Arswendo, dan Putu Wijaya, tentu bisa menjadi perajin yang berkualitas. Mengapa? Karena wawasan mereka telah meluas, di samping memang sudah terlalu piawai dalam menangkap ilham.
Dengan kata lain, ilham itu tidak ditunggu. Tetapi dikejar! Kita jemput. Dulu, mungkin, seorang seniman dimaklumi saat melamun atau menyendiri. Jika ditanya, sedang apa? Jawabnya, mungkin: “Mencari ilham.” Wah, padahal Ilham sedang ke Surabaya dan entah kapan pulangnya….haha. (T)
Catatan: Tulisan ini adalah bagian 3 dari 5 tulisan. Untuk melihat tulisan lain, klik nama penulis pada kolom biodata di bawah