KELAHIRAN istilah ‘simakrama’ menarik untuk ditelusuri. Awalnya istilah ini yang lebih mengarah pada padanan kata ‘silahturahmi’, yang mencerminkan keinginan untuk berbicara dan saling memahami secara lebih dalam dan mendalam.
Dalam kata ‘simakrama’ terdapat kata ‘sima’ = tatakrama atau pranata, dan ‘krama’ dalam hal ini bermakna ‘cara’, ‘aturan’, ‘runutan’ atau ‘protokoler’. Krama bisa bermakna ‘warga’ juga bermakna ‘prosesi’ dan ‘protokoler’.
‘Simakrama’ lambat laun, seiring berkembangnya pemakaian istilah ini untuk acara ‘sowan politik’, istilah ini pekat dengan nuasa dan muatan keinginan politis, dan dalam prakteknya mulai mengingkari niatan adat dan religius yang awalnya menjadi akar kemunculannya. Ia lebih merupakan pertemuan sempalan atau partisan keorganisasian tertentu yang penuh motif kekuasaan dibanding murni tanpa muatan kekuasaan.
Penemuan istilah ini, kalau kita berpikir positif, awalnya adalah usaha untuk membongkar kebuntuan komuniskasi di tataran warga, krama adat, dan membangun ruang dialog keagamaan, serta upaya memecah kebuntuan sosial lainnya. Simakrama diniatkan menjadi ruang untuk mengasah kemanusiaan.
Istilah ‘simakrama’ kemunculan awalnya, mulai mengemuka sekitar tahun 2000-an awal, terkandung sebuah niatan untuk memberikan sebuah payung untuk menuju “reunifikasi sosial” di tengah masyarakat Bali yang sedang bertumbuh. Dalam istilah ini juga terbuka kemungkinan dan harapan. Hanya saja, di tengah makin gemarnya politisi memakai istilah ‘simakrama’, istilah ini lambat laun menjadi lebih bermakna ‘politis’ dibanding makna ‘ikhtiar memanusiaan’ yang bebas kepentingan.
Maka, begitu kini kita mendengar kata ‘simakrama’, pikiran kita tanpa sadar bertanya: “Apa arah dan konteks politiknya?” Atau miniman kita mulai curiga: “Apa pesan sponsornya?”
Di luar konteks kepentingan politik dan kampanye, sesungguhnya kata ‘simakrama’ masih bisa ada peluang sebagai ajang membuka diri untuk memasuki peluang dan harapan bagaimana simakrama menjadi jalan untuk saling bertukar pikiran, mengumpulkan niat baik dan membaginya, membangun optimisme krama, serta membabar logika-Bali dan memuliakan harkat manusia Bali.
Makna sebuah kata, seperti nasib tumbuhan, maknanya bisa bertumbuh sehat, bisa layu, bahkan bisa berbunga dan berbuah pekat, gelap, masam dan pahit, bahkan beracun. Sejarah dan situasi sosilogis yang membesarkan atau yang menjadi lahan bertumbuhnya sebuah kata atau istilah menjadi variabel penentu ke arah mana makna kata bersangkutan bertumbuh. (T)
19 Agustus 2016