SAYA suka lagu-lagu yang memberikan getaran yang baik pada suasana hati dan hidup saya. Karena itu saya menggunakan aplikasi karaoke di smartphone untuk memudahkan saya menyanyi di mana saja.
Saya menyukai lagu-lagu rohani kristiani, dalam Bahasa Inggris ataupun dalam bahasa Indonesia. Sederhana saja alasannya, karena saya menyukai lagu yang langsung saya mengerti artinya. Saya tidak menyukai semuanya, namun beberapa bisa membuat hati saya tenang dan damai, apalagi jika ada versi bahasa Indonesia, rasanya lebih mengena.
Suatu hari saya membagikannya (share) nyanyian saya di aplikasi tersebut dan dikomentari oleh salah satu pengguna aplikasi yang mungkin adalah seorang kristiani. Komentarnya “Jesus Bless You”
Saya tersenyum sebentar lalu menjawab dengan mengetik “Amen”.
Mendapatkan esensi dari sebuah agama itu sendiri tidak harus menjadi pemeluknya. Apa yang lebih indah selain tersenyum berbahagia ada seseorang di luar sana yang bahkan saya tidak kenal nama dan wajahnya mendoakan saya agar terberkati?
Mungkin ada beberapa yang merasa risih dengan jawaban saya, bahkan sudah merasa risih ketika saya katakan saya menyukai lagu kristiani. Atau bahkan sedari awal sudah menghakimi saya dari membandingkan judul postingan saya dan nama saya sebagai penulisnya.
Tidak hanya lagu kristiani, saya juga sering puasa seperti umat Muslim, saya senang meditasi seperti umat Budha dan tetap memakai bunga dan air seperti umat Hindu. Saya adalah seseorang yang tidak pernah nyaman dengan fanatisme keagamaan, agama apapun itu. Seakan-akan diri ini adalah sebuah label yang berjalan, saya Hindu, saya Islam, dan sebagainya.
Lalu segala tingkah laku dikait-kaitkan dengan agama atau kepercayaannya, terutama hal-hal buruk untuk mendiskreditkan suatu ajaran, membenarkan bahwa ajaran kitalah paling benar dengan berkoar-koar. “Tuh lihat itu peganutnya seperti itu sungguh agama sesat!”
Ketika kita merasa ajaran agama kita yang paling benar, saat itulah kita menjadi salah. Karena perbandingan hanya akan adil apabila kita mempelajari agama lain sedalam agama sendiri. Tak sedikit dari kita hanya tahu permukaannya saja sudah memberikan label kafir, berhala, teroris dan lainnya.
Kita benar-benar lupa ataukah menjadi buta, tidak bisa melihat bahwa banyak orang-orang yang pemahaman agamanya jauh di atas sana, hidup dalam kerukunan, kedamaian, karena mereka sadar agama hanyalah suatu cara. Dan cara yang berbeda tergantung nyamannya masing-masing manusia, saya rasa takkan dipermasalahkan oleh-Nya.
Kita benar-benar lupa ataukah menjadi buta, tidak bisa melihat bahwa perbandingan penganut agama atau kepercayaan yang kita benci itu hanya segelintirnya saja, bisa kita katakan sebagai oknum dari total seluruh penganut agamanya. Sehingga tidak pantas kita menggeneralisasi dengan mengatakan bahwa semuanya sesat termasuk ajaran dan Tuhannya.
Karena kita mungkin lupa dan menjadi buta ketika ada yang menyinggung atau menghina daerah sensitif kita yang sudah kita anut bahkan sejak dalam kandungan mama.
Begitu lelahnya kita memperdebatkan cara (yang bahkan sebagian besar keyakinannya “dipilihkan” oleh orang tua dan geografis tempat tinggalnya), hingga lama-lama kita terlena dalam keyakinan yang kita peluk erat dan mengingkari kita menuju puncak yang sama.
Jesus, Nabi, Awatara, Buddha, dan orang-orang yang dianggap suci semuanya pastilah telah memiliki sebuah pemahaman yang luar biasa hingga kita masih sering berdebat tentang-Nya. Kita berdebat karena belum sampai pada tingkat pemahaman Beliau-Beliau tersebut.
Kita berdebat karena kita masih di dasar gunung, dimana ada banyak pohon dan persimpangan jalan yang membuat kita menduga-duga jalan mana yang Beliau-Beliau lalui agar sampai kepada-Nya.
Namun sayangnya kita tak kunjung melangkahkan kaki, malah bicara saja tak mengambil setapakpun langkah untuk mendaki. Kita hanya berputar-putar dan memaki ke sana ke mari mempersalahkan jalan yang dipilih oleh pendaki-pendaki lainnya, memperdebatkan peta yang Beliau-Beliau berikan secara cuma-cuma dengan berbagai penafsiran yang berbeda.
Agama adalah suatu ilmu kehidupan, yang tak hanya dihafal namun diamalkan. Dan ilmu yang sama bisa membuat satu orang menyatu dengan Tuhannya, satu lainnya lagi terikat pada dunia, lalu ada berbagai kemungkinan tak terhingga yang terjadi pada jutaan orang lainnya.
“Jesus bless You”
“Amen.”
“Jadi kamu Kristen?”
“Bukan.”
“Oh ya, kan kamu Hindu, namamu Putu.”
“Saya bukan Hindu”
“Lalu?”
“Saya manusia, saya bukanlah sebuah agama. Saya menghormati segala ajaran kedamaian dan cinta, siapapun Guru-nya, bagaimana pun cara-Nya.” (T)