DI Bali hanya dua kabupaten yang memiliki danau sekaligus laut: Buleleng dan Tabanan. Bangli punya danau besar tapi tak punya laut. Semua kabupaten lain punya laut, tapi lacur tak memiliki danau. Ibarat buka toko, Buleleng dan Tabanan punya dua barang yang bisa dijual, sementara kabupaten lain hanya punya satu. Artinya, jika dagangannya laris, kedua kabupaten itu sesungguhnya bisa sangat kaya ketimbang kabupaten lain.
Bahkan jika terpaksa harus membandingkan, Buleleng bisa lebih kaya dari Tabanan meski sama-sama punya dua barang dagangan: danau dan laut. Hitung-hitungannya, Buleleng punya dua danau. Danau Tamblingan dan Danau Buyan. Tabanan cuma punya Danau Beratan. Soal laut, panjang pantai di Tabanan tentu saja tak mampu menandingi panjang pinggir laut Buleleng yang mencapai 144 kilometer atau hampir meliputi seluruh sisi utara Pulau Bali.
Jika harus ditambah kekayaan yang lain, Buleleng punya bentangan pegunungan yang menjalar dari bagian atas Kecamatan Gerokgak hingga pucuk-pucuk pedusunan di Kecamatan Tejakula. Pegunungan itu seakan menjadi pembatas antara Bali bagian selatan (yang terdiri dari banyak kabupaten) dan Bali bagian utara (yang sebagian besar diisi wilayah Buleleng. Maka Buleleng-lah satu-satunya kabupaten yang disebut Denbukit — sebelah utara dari bukit.
Tapi benarkah Buleleng itu kaya dengan memiliki modal danau, laut dan pegunungan? Jawabannya ada dua: “tentu saja” atau “mana bisa”. Tentu saja Buleleng kaya jika danau, laut dan pegunungan itu dikelola dengan cermat agar modal paten itu tak akan pernah habis (baca: rusak). Atau, mana bisa kaya jika danau, laut dan pegunungan itu, bukan dikelola namun malah dirusak.
Memang, menjual alam mudah-mudah susah. Mudah, karena danau, laut dan gunung, selalu ada dengan sendirinya tanpa perlu bahan baku untuk membuatnya sebagimana membuat barang-barang kerajinan. Susah, karena sesuatu yang ada dengan sendirinya juga bisa hilang dengan mudah kalau tak ada upaya untuk membuatnya tetap menjadi ada. Danau tentu tak akan bisa disebut danau jika tak ada airnya.
Gunung tak dikenal sebagai gunung jika di puncaknya dipenuhi rumah, vila, hotel, restoran, tanpa ada pohonnya. Misteri keindahan laut pun dengan mudah bisa lenyap jika batas antara laut dan hotel tak pernah tampak secara jelas. Alih-alih jadi kaya, malah bisa jatuh miskin jika segala yang tak pernah diciptakan manusia dibiarkan hilang begitu saja. Karena segala yang tak pernah diciptakan manusia tentu saja tak akan bisa diciptakan kembali oleh manusia.
Hukum penciptaan ini tentu saja sudah dipikirkan oleh Kabupaten Buleleng yang sejak sekitar sepuluh tahun lalu mewacanakan pengembangan konsep pariwisata “nyegara-gunung”, atau dalam bahasa ruwetnya: “ecotourism dan agrotourism”. Danau, laut dan pegunungan sudah amat tepat dijadikan trade mark untuk menyedot wisatawan ke Bali Utara. Sebab, mumpung belum dieksploitasi secara sewenang-wenang, di Bali Utara wisatawan bisa menemukan danau, laut dan pegunungan dalam arti sesungguhnya.
Artinya, danau tetap terlihat sebagai danau tanpa perahu motor, tanpa limbah hotel dan restoran. Danau yang tetap memiliki air jernih, ikan yang riang, dan jukung kayu yang meluncur tenang. Di laut, wisatawan masih bisa melihat terumbu, ikan warna-warni, dan masih terdapat tanjung untuk mengulurkan mata pancing tanpa diganggu satpam hotel.
Konsep “nyegara-gunung” memang sakral dan berbau kuno. Sehingga tak jarang ada investor yang nyeletuk: “Mana mungkin membiarkan danau seperti zaman batu sedangkan kini banyak wisatawan yang ingin dekat dengan alam sekaligus bisa duduk di lobi hotel?”
Celakanya, celetukan itu terkadang bisa menggoda sekaligus merusak konsep “nyegara-gunung” yang sakral itu. Lebih celaka lagi, banyak yang memang tergoda sehingga konsep “nyegara-gunung” diterjemahkan dengan membangun vila di puncak bukit dan di tepi laut. Jika ini terus terjadi, maka konsep “nyegara-gunung” hanya tinggal konsep, suatu saat nanti.
Tak Perlu Investor
Buleleng sesungguhnya tak perlu investor. Dalam pengertian investor yang datang membawa uang banyak lalu membangun hotel megah, restoran mewah, dan tempat-tempat bermain modern di tepi danau, di tengah sawah, di tengah desa atau di bibir pantai.
Karena, jika ada hotel, restoran dan tempat bermain tapi tak diimbangi dengan kemampuan mendatangkan wisatawan, maka yang menjadi turis biasanya orang-orang lokal, misalnya orang yang ingin tampak tenang saat bisa makan di restoran tepi pantai sembari memandang para nelayan di lautan. Meski, mungkin saja nelayan itu salah satu dari keluarganya. Kemampuan mendatangkan investor di bidang pariwisata dan kemampuan mendatangkan wisatawan itu adalah dua hal yang berbeda. Ilmunya beda.
Buleleng tak perlu investor besar, karena sudah memiliki investor yang jumlahnya melimpah. Yakni masyarakatnya sendiri. Danau Tamblingan memiliki masyarakat Catur Desa (Munduk, Gobleg, Gesing, Umajero). Danau Buyan memiliki masyarakat Desa Pancasari dan Desa Wanagiri. Mereka bisa bisa menjadi investor dan mengembangkan kedua danau itu secara gotong-royong, tanpa banyak modal.
Kawasan Danau Tamblingan dan Danau Buyan bisa dikembangkan menjadi kebun raya. Di sekitar danau ditanami pohon-pohon rindang dari berbagai jenis, di bawahnya rumput dipelihara dengan baik. Itu saja. Dan masyarakat bisa melakukan sendiri. Kebun raya di kawasan danau ini bisa bersaing dengan kebun raya yang dikelola LIPI di Bedugul. Bahkan kebun di tepi danau ini bisa lebih “laris” justru karena ada danaunya. Pengunjung bisa memancing, naik jukung, dan sekadar berlarian di tepi air.
Seperti juga di Bedugul, kebun raya di kawasan danau dibebaskan dari pedagang. Di dalamnya tak ada restorant. Pengunjung tentu saja membawa makanan sendiri. Di sekitar Danau Buyan boleh-boleh saja ada pedagang, namun hanya dagangan dari hasil kebun di daerah itu, seperti stroberi dan sayur-mayur. Pengelolanya adalah masyarakat desa di sekitarnya yang hanya mengambil keuntungan dari tiket masuk dan parkir. Jangan anggap remeh karcis masuk. Jika pengunjungnya keluarga dan rombongan dari perusahaan dan lembaga, jumlahnya bisa banyak. Lihat sendiri kebun raya Bedugul.
Belakangan, masyarakat desa Bali Aga di kawasan SCTP-B (Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, Pedawa dan Banyuseri) sedang giat membangun desa. Mereka punya keinginan juga untuk mengembangkan desa mereka menjadi kawasan wisata. Dan mereka memulainya sendiri, mereka menjadi investor bagi desa mereka. Satwa langka dilestarikan, tradisi dan seni-budaya dipelihara dengan baik, pohon-pohon terus ditanam.
Mereka tahu, mereka memerlukan pelancong yang bisa melihat desa mereka, bukan investor besar yang kemungkinan bisa merusak desa. Desa-desa tua itu sudah punya modal besar. Yang diperlukan hanya manajemen pengelolaan agar modal itu bisa menguntungkan desa.
Jika tulisan ini dibaca pakar pariwisata, ahli ekonomi makro, politikus dan teknokrat, mungkin mereka tertawa. Dasar pikir tulisan ini sangat sederhana, tak bisa menjangkau “pikiran besar untuk kemakmuran bangsa”. Pertanyaan yang kerap akan keluar adalah bagaimana bisa meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) jika tak ada investor?
Sesungguhnya PAD kecil tak apa-apa, yang penting makin banyak warga tak menganggantungkan hidupnya kepada pemerintah. (T)